Lompat ke isi

Ochazuke

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 29 November 2017 03.36 oleh HsfBot (bicara | kontrib) (Bot: Perubahan kosmetika)
Ochazuke sebelum dituangi teh

Ochazuke (茶漬け) atau chazuke adalah nama makanan Jepang atau cara makan berupa nasi putih dengan lauk sekadarnya yang dituangi air teh hijau, dashi atau air panas. Yūzuke adalah sebutan lain untuk nasi yang dituangi air panas.

Lauk diletakkan di atas nasi sebelum dituangi air teh (teh hijau atau hōjicha), dashi atau air panas. Lauk yang digunakan misalnya umeboshi, tsukemono, shiozake, nori, tsukudani, shiokara, wasabi, tarako (mentaiko).

Ochazuke merupakan makanan pengisi perut misalnya di antara dua waktu makan atau sewaktu masih lapar sebelum tidur. Di rumah makan tradisional atau di pemandian air panas, tamu sering ditawari ochazuke untuk menetralkan rasa pada mulut sehabis menikmati makanan mewah yang enak-enak.

Sejarah

Konon ochazuke berasal dari makanan yang bisa cepat dimakan oleh pegawai perusahaan dagang di zaman Edo yang selalu sibuk, tetapi lapar dan tidak ada waktu untuk berlama-lama istirahat makan. Kebiasaan makan ochazuke timbul dengan sendirinya karena pegawai bekerja hampir seharian penuh dan sewaktu beristirahat pun masih diawasi atasan. Kantor-kantor banyak yang mempunyai kebiasaan menyediakan asinan sayur (tsukemono) di dalam mangkuk besar dari kayu yang boleh diambil semaunya oleh pegawai sebagai lauk. Kebiasaan ini diperkirakan berhubungan dengan lahirnya kebiasaan menuangkan air teh ke dalam nasi agar makanan bisa cepat habis dan asinan sayur tidak lagi terasa terlalu asin. Pada waktu itu, ochazuke dianggap sebagai makanan kelas bawah. Majikan dan kalangan atas tidak mau makan ochazuke secara terang-terangan, walaupun dimakan juga sebagai pengisi perut kalau terpaksa.

Cara makan nasi dengan dituangi kuah sebetulnya sudah ada sejak zaman Heian. Di dalam literatur klasik Makura no sōshi dan Genji monogatari juga sudah disebut-sebut yūzuke (nasi yang dituangi air panas). Pada abad pertengahan juga sudah dikenal makanan bernama hōhan (芳飯, 法飯) berupa nasi putih atau nasi dengan lauk 7 jenis sayuran yang dipotong-potong kecil dan dituangi dashi. Hōhan adalah salah satu jenis masakan Buddhis (shōjinryōri) yang dimakan biksu di kuil agama Buddha. Hōhan salah satu makanan yang disajikan dalam masakan shōjinryōri dan honzenryōri. Orang yang memakannya bisa minta tambah semangkuk lagi kalau belum kenyang. Di Prefektur Nagano, hōhan hingga sekarang masih disajikan sebagai salah satu jenis masakan Buddhis di kuil agama Buddha seperti Zenkōji. Sampai saat ini di Okinawa masih bisa ditemui makanan sejenis yang disebut sēfan (菜飯) atau nameshi.

Ochazuke instan produksi pabrik yang disebut Ochazuke no moto mulai dikenal di Jepang sejak tahun 1970-an. Kemasan berisi sayuran dikeringkan dengan teknik freeze drying (pengeringan dengan mendinginkan), teh matcha dan dashi dalam bentuk bubuk. Orang yang ingin makan ochazuke tinggal menuangkan isi kemasan ke atas semangkuk nasi dan menyiramnya dengan air panas.

Pada tahun 1990-an, ochazuke instan mulai diproduksi dengan berbagai macam rasa, seperti rasa ramen, rasa masakan Tionghoa hingga rasa teh oolong. Ochazuke instan lengkap dengan arare dimaksudkan untuk meniru ochazuke ala Kyoto yang disebut bubuzuke. Butiran beras yang dibuat arare atau potongan kecil mochi yang digoreng beraroma harum sehingga ditambahkan di atas nasi sewaktu membuat bubuzuke.

Kebiasaan seputar ochazuke

Di Kyoto, tawaran makan Bubuzuke (ochazuke) bagi tamu yang datang bertandang adalah usiran secara halus agar tamu cepat pulang. Tawaran tuan rumah untuk makan ochazuke sebaiknya ditolak tamu dengan sopan dan cepat minta diri. Kalau memang sudah telanjur dihidangkan, ochazuke harus dihabiskan secepatnya, tidak minta tambah, dan harus segera pamit untuk pulang.

Di Jepang, suara yang dikeluarkan sewaktu makan berbagai jenis mi atau makanan berkuah tidak dianggap melanggar kesopanan. Sebaliknya, orang yang makan ochazuke (dan bubur) sambil mengeluarkan suara justru dianggap tidak sopan. Hal ini mungkin disebabkan proporsi kuah yang lebih sedikit dari nasi. Sewaktu makan ochazuke agar tidak bersuara, mangkuk sebaiknya diangkat ke dekat mulut lalu dimiringkan agar nasi masuk ke dalam mulut dengan sendirinya, dan dikunyah sebentar sebelum ditelan. Penggunaan sumpit justru menyebabkan orang harus menyeruput nasi sehingga menimbulkan suara.

Produsen ochazuke instan Nagatanien terus berusaha menghapus mitos makan ochazuke harus tidak bersuara. Sejak tahun 1990-an, iklan ochazuke instan yang ditayangkan di televisi selalu menampilkan pria gagah atau wanita cantik yang makan ochazuke sambil mengeluarkan suara berisik. Iklan serupa juga diudarakan di radio walaupun mengundang kontroversi. Sebagian orang memprotes bunyi orang makan ochazuke yang dianggap tidak sopan, tetapi sebagian lagi mengaku ingin makan ochazuke akibat pengaruh iklan.

Serbaneka

  • Mori Ōgai, sastrawan Jepang ternama di zaman Meiji senang makan ochazuke dengan manju (bakpao isi kacang merah). Manju dibelah empat diletakkan di atas nasi dan disiram dengan air teh hijau.
  • Oda Nobunaga kabarnya sebelum berperang selalu makan ochazuke.

Pranala luar