Lompat ke isi

Gereja Santa Perawan Maria Lourdes, Promasan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 11 Desember 2017 06.57 oleh Abdullah Faqih (bicara | kontrib) (xx)

Gereja Santa Perawan Maria Lourdes Promasan (disebut dental Gereja Promasan) adalah salah satu gereja Katolik tertua yang berada di Promasan, Kalibawang, Kulon Porgo, Yogyakarta. Gereja tersebut mulai dibangun pada 18 Desember 1940. Pembangunan Gereja Promasan berbeda dengan geraja lain yang berada di lokasi yang sama, yaitu Gerej Boro. Gereja Promasan pada awal pembangunnya tidak disertai dengan bangunan pendukung lain, seperti bangunan pastoran atau sekolah. Pembangunan bangunan-bangun baru mulai dilanjutkan setelah ditetapkan sebagai Paroki pada tanggal 1 Januari 1959.

Sejarah Gereja Perawan Mario Lourdes Promasan

Sejarah gereja Perawan Mario Lourdes Promasan atau disingkat menjadi Gereja Promasan juga dirintis pertama kali oleh Romo J. Prennthaler yang kemudian dilanjutkan oleh Romo Jasawiharja bersama dengan Romo Tephema. Gereja Promasan dibangun karena berkaitan dengan persoalan pendidikan. Pada waktu itu, kondisi Sekolah Rakyat Ploso menjadi semakin tidak memadai untuk dilaksanakan peribadatan dan perayaan Ekaristi. Kapasitas bangunan yang ada hanya dapat menampung 450 umat, namun pada perayaan Hari Raya Paskah jumlahnya bisa mencapai 550 umat. Beberapa dari mereka bahkan sampai harus menunggu di ruangan untuk menerima Komuni Kudus. Selain itu, Gereja Promasan juga dibangun untuk menampung jenazah menuju ke Sendang Sono karena tentunya membutuhkan ruangan gereja yang cukup besar.

Semula, Romo Jasawiharja melakukan pembicaraan ringan dengan para tokoh Katolik setempat terkait rencana pembangunan Gereja Promasan. Setelah melewati beberapa perbincangan, mereka akhirnya sepakat untuk membeli tanah milik Mbok Martina Martorejo dan tanah milik Bapak marcelinus Semokariyo. Namun demikian, setelah dilakukan pemeriksaan lokasi, tanah milik mereka ternyata sering kali mengalami bencana tanah longsor. Hal itu tentu menimbulkan kekhawatiran apabila dibangun gereja di atasnya, kemungkinan besar tanah tersebut tidak akan mampu menyokongnya. Akhirnya, lokasi pembangunan gereja disana dibatalkan dan mereka mencari lokasi lain.

Akhirnya, tokoh agama Katolik itu menemukan tanah yang lebih cocok untuk dibangun gereja, yaitu tanah yang berada di Promasan milik Prawiro Semito dan adiknya. Prawiro Semito memberikan tanahnya secara cuma-cuma dengan ganti rugi berupa pemberian tanah yang dulunya batal untul dibangun gereja, yaitu tanah yang berlokasi di Ploso. Pihak pengurus gereja juga diharuskan menanggung sendiri biaya pembinahan rumah milik Prawiro Semito. Setelah dilakukan kesepakatan antar-kedua belah pihak, proses perataan tanah pun akhirnya dilakukan oleh mereka. Setelah itu, mereka juga melakukan pemotongan kayu dan bambu sebagai bahan bangunan. Proses pembangunan tersebut melibatkan seluruh umat Katolik di Promasan, mulai dari orang dewasa hingga anak-anak. Dalam buku “Kenangan 50 tahun Gereja Katolik Santa Perawan Maria Lourdes Promasan” dimuat beberapa material bangunan yang dipergunakan untuk membangun gereja, di antaranya adalah batu, kayu, pasir, batu merah, semen, genting, dan tenaga manusia.

Dalam perkembangannya, pembangunan gereja tersebut sempat terhenti selama beberapa bulan akibat terjadinya Perang Duni II pada tahun 1939. Tertundanya pembangunan gereja disebabkan oleh terputusnya bantuan dana dari pemerintah Belanda. Baru pada tahun 1940, pembangunan dilanjutkan kembali dengan peletakkan batu pertama oleh Romo Superior Misi Jos Van Ball dan peresmian gereja dilakukan pada tanggal 18 Desember 1940 dengan diresmikan oleh Mgr. Soegijapranata, S.J. dengan nama pelindung “Santa Maria yang Menampakan Diri di Lourdes”.

Sebagaimana penjelasan di muka, pemerintah Belanda juga merupakan pihak yang berperan banyak dalam pembangunan Gereja Promasan. Belanda memberikan bantuan berupa lima buah patung serta sibori monstrans dan beberapa pakaian misa untuk melengkapi fasilitas peribadatan di gereja tersebut. Namun demikian, tidak semua fasilitas bantuan tersebut sampai pada pengurus Gereja Promasan. Beberapa patung tidak tersampaikan kepada mereka karena kondisi perang yang tidak memungkinkan dan mempersulit prosesnya. Sehingga, patung yang sampai pada pihak gereja hanya berjumlah tiga buah, yaitu salib besar, patung St. Yusup, dan patung Hati Kudus Yesus.

Dalam perkembangannya, proses peribadtaan di Gereja Promasan juga mengalami kendala ketika pemerintahan Jepang berkuasa di Indonesia. Pemerintaha Jepang menyebabkan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat menjadi semakin sulit. Hal itu berdampak ada kesulitan dalam proses pengajaran agama yang dilakukan di gereja. Pemerintah Jepang bahkan juga membuat ancaman sekaligus pengaturan dalam kehidupan beragama di Indonesia. Peraturan tersebut di antaranya adalah pemungutan pajak bagi para misionaris dan penyitaan fasilitas peribadatan gereja. Beberapa pastor bahkan juga ditahan karena bersekongkol dengan pastor dari Belanda. Gereja Promasan juga terhitung sebagai salah satu gereja yang akan dibumihanguskan oleh pemerintah Jepang. Mendengar kabar itu, Mgr. Soegijapranoto mengabarkan kepada pengurus gereja. Mereka kemudian memindahkan seluruh benda-benda suci yang ada di gereja ke dalam rumah Antonius Sukariyo. Benda-benda tersebut diamankan dengan cara dipendam di dalam tanah. Hal itu dilakukan pada malam hari agar tidak terdeteksi oleh Jepang.

Di tahun 1940-1958, Gereja Promasan kemudian menjadi bagian dari stasi Proki Boro sebagaimana Gereja Boro. Promasan kemudian ditetapkan menjadi Paroki sendiri pada 1 Januari 1959. Dengan adanya ketetapan itu, segala urusan administrasi di Promasan diurus sendiri oleh mereka.

Kondisi Lokasi Bangunan

Sebagaimana yang telah dijabarkan di muka, bangunan Kompleks Misi Boro berdiri di wilayah Kecamatan Kalibawang. Lokasi tersebut berada di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekaligus berbatasan langsung dengan daerah Jawa Tengah, terutama Magelang. Secara lebih rinci, berikut ini adalah penjelasan dari batas-batas wilayah geografis lokasi tersebut:

  • Utara: Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah
  • Selatan: Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo, Minggir, Selaman, Yogyakarta
  • Timur: Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Yogyakarta
  • Barat: Kecamatan Samigaluh dan Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta

Secara umum, lokasi tersebut berada di wilayah Perbukitan Manoreh dengan kontur atau ketinggian yang bervariasi. Wilayah tersebut secara keseluruhan memiliki luas wilayah 5.296.368 ha dengan luas 250,05 ha berada dalam 26-100 meter di atas permukaan laut sedangkan tanah seluas 4900,85 ha memiliki ketinggian sekitar 100-500 meter di atas permukaan air laut. Curah hujan rata-rata yang dialami oleh lokasi tersebut adalah berkisar 240 mm dengan rata-rata haru hujan 11 hh. Di dalam Kecamatan Kalibawang juga terdapat beberapa desa seperti Banjaroyo, Banjarharjo, Banjarsari, dan Banjararum.

Dalam kurun waktu 1930-1940, tanah di Kecamatan Kalibawang masih didominasi oleh lahan gamping yang tandus sebab tanah berupa tanah liat. Setelah kurun waktu itu berlalu, pengelolaan tanah untuk kepentingan pertanian menjadi semakin massif. Berbagai macam jenis tanaman pertanian banyak dibudidayakan oleh penduduk setempat. Beberapa jenis tanaman yang populer adalah padi, jagung, ubi-ubian, kopi, dan kelapa. Bidang pertanian adalah matapencaharian utama masyarakat Kalibawang.

Kondisi Perkembangan Agama Katolik

Perkembangan agama Katolik di wilayah Kalibawang dan wilayah Pegunungan Manoreh secara umum dipengaruhi oleh keberadaan empat pastor Belanda yang bernama Van Lith, Keyzer, S.J., K. Hebrans, L.j., dan Hoevenaars. Mereka memiliki kewajiban untuk menyebarkan agama Katolik ke Pulau Jawa, terutama di Semarang, Demak, Kudus, dan Jepara, serta Muntilan, AMbarawa, Bedono, dan Magelang, sekaligus Yogyakarta.

Meskipun Kalibawang tidak secara spesifik menjadi area persebaran agama oleh empat pastor tersebut, lokasinya yang berdekatan dengan Muntilan secara tidak langsung juga ikut terpengaruh. Pada masa itu juga belum tersedia akses dari Yogyakarta ke Kalibawang sehingga menyebabkan misi Gereja Santa Antonius di Kotabaru, Yogyakarta tidak menjangkau wilayah Kalibawang, melainkan dijangkau oleh misi Paroki muntilan.

Pada awalnya, empat tokoh pribumi dari Kalibawang memeluk agama Katolik, di antaranya adalah Barnabas Sarikromo, Lukas Suratirta, Markus Suradrana, dan Yokanan Surawijaya. Keempat penduduk pribumi tersebut tertarik belajar agama Katolik kepada Van Lith di sekolah misi Muntilan. Pembabtisan kepada keempatnya dilakukan bersamaan dengan pembatisan 174 orang penduduk Kalibawang yang kebanyakan bermatapencaharian sebagai petani. Pembatisan tersebut berlangsung pada tahun 1404 di mata air Sendangsono oleh Van Lith. Selanjutnya, keempat tokoh pribumi tersebut dianggap sebagai tokoh penting dalam penyebaran agama Katolik di Kecamatan Kalibawang serta wilayah Pegunungan Manoreh lainnya.

Setelah proses pembatisan itu selesai, mata air Sendangsono dianggap sebagai tempat untuk berziarah umat Katolik. Di sekitar mata air itu juga terdapat gua yang bernama Mario Lourdes dan merupakan ikon dari lokasi tersebut. Perkembangan misi Katolik dari tahun ke tahun menjadi semakin pesat. Pihak misi Semarang kemudian mengutus Romo Groenwegan, S.J. untuk membimbing umat Katolik di sekitar Kalibawang. Para jemaat di Kalibawang harus beribadah ke gereja di Muntilan oleh sebab belum lengkapnya fasilitas peribadatan yang ada disana. Setiap hari Sabtu dan Minggu, mereka menempuh perjalanan ke Muntilan sekaligus untuk mengikuti sekolah misi dan perayaan Ekaristi. Hal itu mendorong Romo Groenwegen untuk mendirikan Sekolah Rakyat Ploso pada tahun 1918 yang selesai dibangun pada tahun 1922. Sekolah itu tidak hanya berfungsi sebagai lembaga penyelnggaraan pendidikan, melainkan juga berfungsi sebagai kapel stasi.

Dalam perkembangannya, penyebaran agama Katolik di wilayah Kalibawang juga berdampingan dengan penyebaran agama Islam. Secara tidak langsung, hal itu menjadi hambatan bagi perkembangan agama Katolik. Wilayah pedesaan di lereng tenggara Pegunungan Manoreh mulai menerima pengaruh dari ajaran Islam. Salah satu organisasi yang berperan besar dalam perkembangannya adalah Muhammadiyah. Namun demikian, banyak di antara nereka yang juga masih menerima ajaran-ajaran lokal seperti menyembah roh-roh nenek moyang. Meskipun demikian, persebaran agama Katolik di wilayah itu bukan berarti terhenti. Cara penyebaran agama yang dilakukan oleh Romo Prennthaler yang langsung terjun ke masyarakat dinilai lebih menarik. Umat yang memeluk agama Katolik pun menjadi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai misal, antara tahun 1930-1927 jumlah pemeluk agama Katolik yang ada telah mencapai 981 jiwa. Dua tahun kemudian, jumlahnya meningkat menjadi 1.225 jiwa.

Bangunan Gereja Santa Perawan Maria Lourdes Promasan

Sebagaimana Gereja Boro, Gereja Promasan juga dibangun di atas tanah dengan kontur berbukit-bukit yang bagian utaranya lebih tinggi daripada bagian barat. Gereja Promasan berdiri di atas tanah seluas 19,24 x 37,75 m yang di sekitar bangunan gerejanya terdapat permukiman warga dan persawahan, terutama pada sisi selatan gereja. Bagian luar Gereja Promasan adalah bangunan beratap pelana yang dikombinasikan dengan pemakaian atap limas dan piramid pada bagian tertentu. Bagian-bagian tersebut antara lain bagian belakang, lorong-lorong di samping kanan-kiri bangunan, dan menara lonceng. Sementara itu, fasade gereja berupa porch yang berdampingan dengan menara lonceng setinggi 24,25 m serta dinaungi oleh atap limas yang dikombinasikan dengan gabel. Gabel tersebut berhias salib dan tulisan HIS yang merupakan singkatan dari Iesus Hominum Salvator (Yesus Penyelamata Manusia).

Pintu utama gereja merupakan pintu berdaun dua yang berhiaskan list salib. Bagian bawah pintu utama terdapay hiasan berupa tanda salib yang dibubuhkan di atas keramik marmer berwarna putih. Itu adalah sebuah penanda bahwa bangunan yang sedang berdiri di sana adalah sebuah gereja. Di deretan sebelah barat dan timur pintu utama tersebut terdapat jendela persegi panjang berjumlah empat buah; dua buah di deret timur dan dua buah lainnya di deret barat.

Sementara itu, bagian dalam gereja terdiri dari beberapa ruangan seperti ruang depan, panti umat, panti imam, ruang pengakuan dosa, dan ruang sakristi. Ruang depan melingkupi balkon dan fasilitas peribadatan yang terdapat di sisi depan. Fasilitas tersebut adalah kotak persembahan dan bejana kecil untuk tempat air suci. Balkon Gereja Promasan berupa pagar cor setinggi satu meter yang dilapisi pelipit kayu. Balkon tersebut ditopang oleh empat tiang yang juga dilapisi kayu. Lantai balkon dilapisi tegel berwarna abu-abu yang masing-masing berukuran 20 x 20 cm. Panti umat sebagaimana definisi lainnya adalah tempat para jemaat untuk melaksanakan proses peribadatan, baik pernikahan maupun ibadah mingguan. Ruang tersebut dilengkapoi dengan dua blok kursi kayu yang memanjang dari barat-timur serta menyisakan ruang khusus yang dipergunakan oleh jemaat untuk berjalan. Di dalam ruang umat juga terdapat aisle yang ditandai dengan tiang-tiang kayu berjulah dua belas buah yang seolah-olaj membatasi kedua bagian tersebut. Selain panti umat, di dalam bangunan gereja juga terdapat panti imam yang merupakan tempat imam atau pemimpin perayaan liturgy. Panti imam berada pada batur dua tingkat sehingga permukaannya lebih tinggi daripada ruangan sekitar Di samping kanan dan kiri panti imam juga terdapat mimbar yang berbeda satu dengan yang lain. Mimbar di bagian kiri terbuat daric or beton sedangkan mimbar di sebelah kanan terbuat dari kayu. Di antara mimbar tersebut juga terdapat hiasan kayu bertuliskan “Perjamuan Terakhir atau Perjamuan Malam”.

Ruangan di dalam bangunan gereja juga dilengkapi dengan keberadaan ruang sakristi yang merupakan tempat persiapan para imam dan pembantunya sebelum keluar untuk memimpin peribadtan. Ruangan tersebut terletak di pojok barat dan timur panti imam dengan akses berupa pintu bukaan satu yang berhiaskan salib. Di dalam ruangan tersebut terdapat dua buah pintu yang menghubungkan halaman luar dan panti imam. Di dalam ruangan tersebut juga terdapat beberapa perlengkapan yang digunakan oleh imam untuk memimpin peribadatan seperti busana liturgi. Dalam perkembangannya, panti umum justru berubah fungsi menjadi tempat menyimpan perlengkapan yeng berhubungan dnegan peribadatan, seperti buku-buku, tape recorder, dan sound system. Di dalam ruangan tersebut juga terdapat almari baja, almari kayu. Kaca, meja, dan rak untuk tempat buku. Selain itu, bangunan gereja juga dilengkapi dengan ruang pengakuan dosa yang masing-masing terletak di sayap barat dan sayap timur serta dinaungi oleh atap tersendiri. Akses untuk memasuki ruang pengakuan dosa adalah berupa pintu berdaun satu sebagaimana pintu pada ruang sakristi. 350101 bimo wicaksono.

Perubahan Bangunan Gereja Promasan

Di awal pembangunannya, lingkungan di sekitar gereja pada bagian utara dipenuhi dengan rangkaian perbuktian yang ditumbuhi semak dan pepohonan, sedangkan pada bagian selatan berupa area pertanian milik warga. Di awal pendiriannya, bangunan Gereka Promasan juga belum memiliki bangunan pastoran, wisma ibu, dan koperasi. Bahkan, permukiman warga juga belum dibangun di sekitar gereja pada waktu itu. Hingga pada tahun 1959, dibangunlah bangunan-bangunan tersebut, kecuali permukiman warga. Lebih jauh lagi, dahulu, halaman gereja juga belum tertutupi oleh conblock seperti yang terlihat saat ini serta hanya berupa tanah yang diratakan. Sekarang, halaman geraja sudah dilapiri oleh conblock serta tidak lagi menggunakan pagar kayu sebagaimana yang terjadi di awal pembangunannya. Selain itu, bagian ruang peribadatan di dalam gereja juga mengalami perubahan signifikan. Dahulu, ketika peribadatan berlangsung, para jemaat harus duduk di bawah dengan menggunakan tikar. Pada masa itu, di dalam gereja juga belum ada hiasan “Perjalanan Salib” sebagaimana yang terlihat saat ini. Hanya lukisan-lukisan berupa ornament berbahan gips yang menjadi hiasan di dalam ruang peribadatan.

Sementara itu, ruangan panti imam di dalam gereja juga tidak mengalami perubahan yang mencolok. Perubahan yang ada hanya berupa penambahan meja kayu yang terletak di depan altar. Perubahan lainnya adalah pada ornament di meja altar berupa penambahan figure malaikat berbaju adat Jawa yang saat ini terletak di sisi kanan dan kiri meja. Dahulu, di dalam panti imam hanya terdapat satu mimbar yang terbuat dari bahan cor. Saat ini, di ujung kiri panti umam juga ditambah satu buah mimbar yang terbuat dari bahan kayu. Perubahan lain yang terjadi pada bangunan gereja ini adalah perubahan fungsi yang terjadi pada balkon. Dahulu, ketika awal pertama kali dibangun gereja, balkon yang ada hanya berfungsi sebagai tempat koor.


Referensi