Gerakan Jogja Independent
Gerakan Jogja Independent atau disingkat menjadi “Joint” adalah sebuah gerakan politik yang terbentuk pada 20 Maret 2016 di Yogyakarta dan bertujuan untuk membuka ruang partisipasi politik yang luas kepada siapa pun. Dengan kata lain, Joint dibentuk untuk mengakomodasi kelompok-kelompok non-elit yang tidak memiliki ruang ekspresi politik agar dapat berpartisipasi di bidang politik. Joint meyakini bahwa Pemilukada merupakan hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam pembangunan lokal, oleh sebab itu, seluruh lapisan masyarakat memiliki hak yang setara untuk ikut berpartisipasi.
Awal Mula
Joint awal mula didirikan oleh tujuh orang yang hampir seluruhnya adalah seniman. Ke-7 orang tersebut adalah Edi Purjanto dan Ong Hariwahyu yang merupakan seniman dan penggerak masyarakat kebudayaan, Grek Wuryanto yang merupakan pengajar di Universitas Kristen Duta Wacana, Rifki Fauzi dan Arif Budiman yang merupakan aktivis di bidang advertising, Herman Dody yang merupakan seorang motivator dan konsultan di bidang komunikasi, serta Yustina Neni yang juga merupakan seorang seniman. Persoalan strategis yang menjadi awal mula munculnya Gerakan Joint adalah mulai menjamurnya bangunan-bangunan hotel baru di Yogyakarta yang diirngi oleh dampak lanjutan seperti macet akibat semakin banyaknya jumlah kendaraan yang berlalu lalang. Selain itu, munculnya Gerakan Joint juga dilatarbelakangi oleh makin menjamurnya bangunan pasar-pasar modern seperti mall dan pusat perbelanjaan lain di Yogyakarta. Hal itu dinilai sebagai bentuk ketidakberpihakan pemerintah kepada rakyat kecil. Para penguasa dan pemangku kepentingan dianggap banyak melayani partai politik pengusung dan pendukungnya, ketimbang melayani masyarakat. Hal itu membuat Gerakan Joint lahir sebagai bentuk “perlawanan” dalam pemilihan kepala daerah. Secara khusus, Gerakan Joint muncul bersamaan dengan Pemilihan Wali Kota Yogyakarta pada tahun 2012. Sebagaimana namanya “Jogja Independent”, gerakan ini adalah non-partisan dan tidak mengenal istilah kontrak politik sebagaimana “percaturan” politik yang umum dikenal oleh masyarakat.[1]
Gerakan Joint mengandalkan nilai-nilai seperti moral, edukasi, dan politik yang mertabat. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, Gerakan Joint berupaya untuk mengusung calon kepala daerah (walikota dan wakil walikota) melalui jalur independen. Hal itu dilakukan untuk meminimalisir kontrak politik antara calon kepala daerah. Mereka berusaha untuk mengurangi dominasi elit yang banyak berpihak pada partai politik pengusung akibat adanya kontrak politik itu. Tanpa ada kontrak politik alias independen, keberpihakan kepala daerah yang terpilih akan lebih banyak berpihak pada masyarakat umum.[2]
Dalam perkembangannya, ke-7 insiator Gerakan Joint berupaya untuk mengajak sebanyak mungkin pihak untuk ikut bergabung dalam Joint. Mereka bersama-sama ingin mengusung calon walikota tanpa melalui jalur partai politik. Setelah beberapa waktu, terdapat 30 orang pertama yang dinyakatan sebagai punggawa Gerakan Joint. Mereka mendeklarasikan dirinya sebagai bagian dari gerakan itu di Code, Jetis, Yogyakarta. Meskipun demikian, terdapat pihak-pihak lain yang turut mendukung Gerakan Joint, namun tidak mendaftarkan dirinya secara formal sebagaimana ke-30 orang tersebut. Mereka yang berada di luar gerakan berkontribusi dengan memberikan dukungan finansial kepada Gerakan Joint.[1]
Gambaran Umum
Setelah mendeklarasikan diri sebagai sebuah gerakan politik independen, Gerakan Joint merumuskan sebuah visi misi yang digunakan untuk menentukan kriteria pemimpin yang hendak dipilih sekaligus kriteria anggota yang akan bergabung dengan Gerakan Joint.
Visi Gerakan Joint adalah terwujudnya Kota Yogyakarta sebagai pusat dan wahana pembelajaran bagi pengembangan nilai-nilai dan peradaban dan keberlanjutan Indonesia.
Sementara itu, misi Gerakan Joint adalah:
- Meningkatkan peran dan keterlibatan warga untuk membangun kota yang manusiawi
- Mewujudkan Kota Yogyakarta sebagai habitat yang kreatif dan berbudaya
- Mengembangkan tata kelola pemerintahan yang baik dengan melibatkan seluruh warganya
Untuk mewujudkan visi dan misi itu, Gerakan Joint menganggap momentum pemilihan wali kota Yogyakarta adalah saat yang tepat. Perlu digarisbawahi bahwa Gerakan Joint berbeda dengan gerakan politik lain seperti Teman Ahok yang secara khusus mendeklarasikan dirinya mendukunga Basuki Tjahaja Purnama sebagai calon gubernur. Gerakan Joint lebih terbuka kepada siapa pun untuk menduduki posisi strategis, selama mereka sesuai dengan visi, misi dan prinsip-prinsip Joint.[3]
Selain merumuskan visi dan misi tersebut, Gerakan Joint juga merumuskan beberapa prinsip kepemimpinan dan agenda kerja kepemimpinan yang harus dimiliki oleh calon yang hendak diusung, baik sebelum maupun setelah berhasil terpilih sebagai pemangku kepentingan di Yogyakarta. Prinsip kepemimpinan Gerakan Joint adalah berani visioner, berani jujur dan terbuka, berani melawan korupsi, berani memihak kepentingan rakyat, berani kreatif dan berbudaya. Sementara itu, agenda kerja kepemimpinan Joint meliputi kepemimpinan etis, tata ruang dan lingkungan, perempuan dan kesehatan masyarakat, keuangan publik dan perbaikan birokrasi, pendidikan yang membebaskan, antikorupsi dan penegakkan hukum, seni dan politik seni, serta hubungan luar negeri dan politik perkotaan.
Prinsip dan agenda kepemimpinan yang dirumuskan oleh Gerakan Joint akan menjadi pedoman dan pegangan bagi mereka untuk menyeleksi calon yang hendak disaring. Selain itu, mereka juga telah membentuk tim konvensi sendiri untuk bertugas menyeleksi nama-nama yang layak untuk dijadikan kandidat calon walikota yang akan diusung oleh Joint. Tim komite konvensi tersebut terdiri dari lima orang yang memiliki latar belakang profesi berbeda-beda, mulai dari Busyro Muqoddas yang merupakan seorang praktisi hukum, Bambang Eka Cahya Widodo yang merupakan akademisi sekaligus ahli pemilu, Herry Zudianto yang merupakan mantan Walikota Yogyakarta, Yustina Neni yang merupakan seorang seniman, serta Suparman Marzuki yang merupakan praktisi hukum sebagaimana Busyro Muqoddas. Tim komite konvensi tersebut kemudian mencari anggota tim lainnya yang dapat bergabung secara sukarela untuk menjadi tim seleksi. Mereka yang bergabung akan bertugas untuk menganalisis karakter kepemimpinan beserta visi dan misi para kandidat. Terbentuklah ke-9 tim seleksi yang seluruhnya juga berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Mereka adalah Busyro Muqoddas sebagai ketua tim, Suparman Marzuki seorang spesialis di bidang hukum, Zainal Arifin Mochtar seorang spesialis bidang korupsi, Bobi Setiawan seorang spesialis bidang tata ruang dan lingkungan, Budi Wahyuni seornag spesialis bidang perempuan dan kesehatan, Achmad Nurmandi dan Herry Zudianto seorang pakar bidang anggaran publik dan perbaikan birokrasi, ST Sunardi seorang pakar bidang hubungan luar negeri, politik perkotaan, seni dan politik seni, Robby Kusumahara seorang pakar bidang usaha, dan Edi Suadi Hamis seorang pakar bidang ekonomi.[1]
Sebelum maju ke tahap seleksi yang dilakukan oleh ke-9 tim penyeleksi tersebut, para calon kandidat harus mendaftarkan diri terlebih dahulu dengan menyerahkan syarat administrasi sesuai ketentuan Komisi Pemilihan Umum, seperti curriculum vitae, visi dan misi, Kartu Tanda Penduduk, dan kesediaan untuk mengikuti proses kandidasi dalam Gerakan Joint. Gerakan ini tidak hanya membuka diri pada seluruh lapisan masyarakat untuk mencalonkan diri menjadi calon walikota, melainka juga kepada masyarakat yang bersedia untuk mendukung calon-calon Gerakan Joint melalui perekrutan terbuka.
Dalam rangka menyukseskan gerakannya, Joint mengoptimalkan fungsi media sosial untuk menjaring dukungan publik. Beberapa kalangan bahkan ikut mendukung Joint secara finansial melalu pemberian donasi dan lain sebagainya. Hal itu menjadi penting karena Gerakan Joint memiliki mekanisme pendanaan yang berbeda dengan partai politik. Di dalam gerakannya, Joint tidak memberlakukan iuran bulanan ataupun cara-cara transaksional lain. Hal itu rupanya cukup ampuh untuk menarik minat masyarakat untuk bergabung dengan Gerakan Joint. Kelemahannya, mekanisme seperti itu menjadikan gerakan ini kurang berkelanjutan karena tidaka da timbal balik yang jelas yang bisa diberikan kepada masyarakat, selain harapan akan perbaikan di berbagai lini setelah calon walikota usungan Joint terpilih.
Lebih jauh lagi, apabila digambarkan dengan jelas, di dalam struktur Gerakan Joint terdapat berbagai aktor yang menjalankan fungsinya masing-masing. Aktor-aktor tersebut terdiri dari tim inisiator yang merupakan 7 orang pertama penggagas Gerakan Joint; tim seleksi yang terdiri dari 5 orang komite konvensi dan 9 anggota tim seleksi; serta kandidat atau calon Wali kota dan para relawan yang merupakan tim sukses serta masyarakat umum. Dari kelompok aktor-aktor tersebut, dapat diklasifisikan bahwa tim inisiator dan tim seleksi adalah sekelompok orang yang dipilih melalui perekrutan tertutup atau close recruitment. Mereka terpilih karena hasil diskusi atau rembug mengenai keresahan yang sama-sama mereka alami serta kapasitas dan kualitas mereka menyoal bidang-bidang terkait. Sementara itu, aktor yang tergolong dalam kandidat dan relawan terpilih melalui proses perekrutan terbuka atau open recruitment. Gerakan Joint sangat terbuka dengan berbagai lapisan masyarakat untuk bergabung ke dalam kelompok tersebut.
Karakteristik Politik di Kota Yogyakarta
Masyarakat Yogyakarta secara umum dapat dikatakan melek politik. Hal itu dapat dilihat dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menunjukkan bahwa partisipasi pemilih di Yogyakarta menunjukan angka yang cukup tinggi. Pada tahun 2014, partisipasi pemilih pada pemilihan presiden mencapai angka 77,15 persen yang notabene naik dibandingkan pemilu legislatif tahun 2014 yang hanya sekitar 75 persen. Di samping tingginya angka partisipasi politik, masyarakat Yogyakarta juga masih sangat terikat dengan keberadaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat serta dominannya kekuatan Muhammadiyah dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat. Berbagai macam partai politik dan kandidat politiknya tentu, memiliki strategi tertentu dalam rangka memenangkan hati masyarakat.[4]
Sebagai misal, data penelitian Daliyoto (2013) menyebutkan bahwa setiap partai politik di Yogyakarta telah memiliki basis masa di setiap kecamatan. Dalam artian, partai politik itu sudah memetakan akan mendominasi wilayah mana di Yogyakarta. Sebagai contoh, Kecamatan Mantrijeron, Pakualaman, Tegalrejo, Gondokusuman didominasi oleh Partai Demokrat; Kecamatan Kraton, Gondomanan, dan Kotagede didominasi oleh Partai Amanat Nasional; kecamatan Mergangsan, Wirobrajan, Gedongtengen, Jetis didominasi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; sementara Kecematan Ngampilan, Danurejan didominasi oleh Partai Keadilan Sejahtera. [5]
Dengan demikian, wilayah-wilayah tersebut menunjukan bahwa pengaruh partai politik masih sangat kuat di dalamnya. Meskipun masyarakat juga menyadari bahwa keberadaan partai politik di sana tidak mampu menunjukan fungsinya setelah pemilukada atau pemilu berakhir. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Gerakan Joint yang memiliki idealism non-partisan dan menolak adanya kontrak politik. Sementara itu, hampir seluruh kecamatan yang ada di Yogyakarta telah dikuasai oleh partai politik yang dapat dipastikan di dalamnya terdapat kontrak politik antara kandidat yang akan diusung dengan tim sukses dan partai politik pendukungnya. Sebagai contoh adalah calon Wali Kota Yogyakarta 2017. Calon nomor urut satu yaitu Imam Priyono dan Achmad Fadli memperoleh dukungan dari partai koalisi, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Nasdem. Sementara itu, calon nomor urut dua, yaitu Hariyadi Suyuti dan Heroe Poerwadi memperoleh dukungan dari beberapa partai politik seperti Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Demokrat.[5]
Paska Seleksi Kandidat
Pada tahun 2016, Gerakan Joint memilih Garin Nugroho dan Rommy Haryanto sebagai kandidat Walikota da Wakil Walikota Yogyakartatahun 2017. Tugas para tim seleksi setelah terpilih kandidat tersebut tidak berhenti sampai di situ. Mereka harus menjadi tim pengarah untuk merumuskan berbagai strategi penyuksesan calon tersebut menjadi Walikota dan Walikota Yogyakarta. Hal-hal yang perlu dipikirkan adalah mencakup strategi pengumpulan dana, strategi promosi dan kampanye, serta strategi mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Perlu digarisbawahi bahwa jumlah KTP minimal yang harus dikumpulkan Gerakan Joint untuk menyukseskan calonnya maju menjadi Walikota dan Wakil Walikota tidak sedikit.[6]
Dalam penerapannya, mereka kemudian membuat kampanye dengan jargon “Satu KTP untuk Perubahan”. Mereka saling bekerja sama untuk merealisasikan jargon tersebut dengan beberapa macam metode, seperti telepon, berkeliling, hingga melakukan undangan kepada kelompok-kelompok kecil. Hal itu dinilai sebagai startegi mereka untuk “jemput bola”. Selain startegi tersebut, mereka juga melakukan metode sedekah KTP melalui website mereka. Melalui metode-metode tersebut, masyarakat dapat berpartisipasi dalam upaya pemberian dukungan kepada kandidat yang diusung Joint dalam memenangkan kontestasi politik.[6]
Dalam perkembangannya, proses pengumpulan KTP untuk Gerakan Joint juga mengalami beberapa permasalahan. Permasalahan utamanya adalah berkaitan dengan penurunan jumlah relawan mereka. Kebanyakan relawan Joint merupakan mahasiswa aktif. Lambat laun, aktivitas mereka dalam mendukung Joint menjadi menurun karena beberapa faktor, seperti banyaknya tugas kuliah, Kuliah Kerja Nyata (KKN), ujian semester, dan lain sebagainya. Pada saat itu, terdapat pula calon kandidat Joint yang berasal dari dunia kemahasiswaan, yaitu Emmy Yuniarti Rusadi dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Sebelum proses pencalonan, banyak kalangan mahasiswa yang mendukung dia dan secara tidak langsung turut mendukung Gerakan Joint. Namun demikian, setelah ia dinyatakan tidak lolos dan dikalahkan oleh pasangan Garin Nugroho dan Rommy Haryanto, seketika dukungan dari kelompok mahasiswa terhadap Gerakan Joint menjadi sangat berkurang.[3]
Di tengah pasang surut dukungan tersebut, Gerakan Joint masih terus berjuang untuk mewujudkan visi dan misi yang telah mereka rancang. Meskipun demikian, pada akhir periode pengumpulan KTP, Gerakan Joint hanya mampu mengumpulkan 4.027 KTP yang membuatnya tidak mampu mengusung calonnya, yaitu Garin Nugroho dan Rommy Haryanto, maju dalam Pemilihan Walikota Yogyakarta 2017. Kemudian, kandidat calon walikota Yogyakarta yang bertarung hanya ada dua pasang, yang keduanya berasal dari partai politik. Hal itu menunjukkan bahwa Gerakan Joint belum berhasil merealisasikan visi dan misinya. Bahkan calon pasangan walikota yang melaju pun keduanya berasal dari partai politik.[7]
Menurut penelitian Rizka (2017), kegagalan Joint dalam pemilihan walikota menunjukan beberapa sebab. Sebab tersebut yang menjadi asal muasal tidak tercukupinya jumlah KTP minimal yang harus dikumpulkan oleh Joint. Pertama, jumlah relawan Joint masih kurang, bahkan cenderung dianggap terlalu sedikit. Pendanaan yang dimiliki juga jauh dari kata cukup.[3] Sebagaimana diketahui, Joint harus mengumpulkan KTP lebih dari 26.000 untuk memastikan calonnya, yaitu Garin dan Rommy, dapat mengikuti ajang pemilihan walikota. Sementara itu, Gerakan Joint hanya memiliki 15 orang relawan dengan target atau beban kerja yang cukup berat. Hal itu diakui menjadi penyebab semakin sedikitnya jumlah relawan yang bekerja dengan Gerakan Joint. Para relawan tersebut tidak memperoleh tunjangan transportasi dan akomodasi. Penyebabnya tentu saja faktor pendanaan mereka yang tidak berkelanjutan. Menurut penelitian yang sama juga disebutkan bahwa tim inisiator dan tim penyeleksi di Gerakan Joint juga kurang melibatkan para relawan dalam pengambilan keputusan. Mereka kerap kali mengambil keputusan sendiri dan terkesan memisahkan antara relawan dan tim. Hal ini menimbulkan kurangnya ikatan emosional di antara mereka.[3]
Selain itu, penelitian Rizka (2017) juga menyebutkan bahwa faktor masyarakat yang kurang memiliki edukasi politik yang baik juga dinilai menjadi penyebabnya. Masyarakat masih menganggap bahwa politik tidaklah jauh dari uang.[3] Masyarakat terlihat berani meminta uang secara terang-terangan kepada relawan Gerakan Joint yang sedang turun lapangan. Bahkan, ada juga masyarakat yang tidak mau tatap muka secara langsung dengan tim. Beberapa dari anggota masyarakat bahkan secara terang-terangan menutup pintunya ketika relawan atau tim Joint ingin mendatangi rumahnya. Selain kurangnya edukasi politik masyarakat, hal itu juga dapat dinikmati sebagai bentuk ketidakdekatan masyarakat dengan Joint serta kandidat yang hendak diusung oleh mereka. Bahkan, ketika Gerakan Joint melakukan peresmian posko, masyarakat sekitar juga tidak dilibatkan. Hal itu merupakan indikator bahwa Gerakan Joint belum cukup dekat dengan masyarakat.
Persepsi Pemuda
Sebagaimana penjelasan di awal, Gerakan Joint membuka ruang seluas-luasnya kepada seluruh lapisan masyarakat untuk bergabung, baik mencalonkan dirinya sebagai calon Wali kota maupun relawan. Tak terkecuali pemuda, beberapa diantara mereka juga banyak yang bergabung dan mendukung gerakan ini pada awalnya. Menurut beberapa penelitian, para pemuda meyakini bahwa Gerakan Joint adalah sesuatu yang unik dalam rangka merespon situasi pembangunan wilayah di Kota Yogyakarta. Joint juga mereka anggap menawarkan suatu alternatif baru dalam berpolitik dan dianggap mampu menawarkan sistem kaderisasi yang lebih baik daripada partai politik.[8]
Beberapa anak-anak muda juga beranggapan bahwa Gerakan Joint merupakan saran untuk memperbaiki perpolitikan lokal di Yogyakarta yang juga didasari oleh keinginannya memberikan pendidikan politik kepada anak-anak muda. Anaak muda dianggap sebagai masa yang dapat dididik tanpa menggunakan atau berorientasi pada uang, melainkan mengedepankan loyalitas.
Beberapa anak muda yang bergabung ke dalam Gerakan Joint sebagai misal adalah teman-teman dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan alumni Asia Pacific Urban Youth Forum, Yogyakarta Youth Meeting, dan Actual Smile English Club, dan lain-lain. Namun demikian, beberapa anak muda tersebut juga mengalami sedikit kekecewaan mengingat tidak koherennya konsep awal Gerakan Joint dengan impmentasi program yang mereka lakukan. Geraan Joint bertekad menjadi gerakan yang menggalang partisipasi publik secara demokratis. Segala lapisan masyarakat diperkenankan untuk berpartisipasi, baik menjadi calon kandidiat maupun menjadi relawan. Namun demikian, mereka menilai bahwa pemilihan calon Gerakan Joint untuk melaju menjadi calon Walikota dan Walikota Yogyakarta terkesan tidak terlalu Demokrasi. Panitia seleksi tetap memiliki kekuatan dominan untuk menentukan calonnya. Dalam arti kata, keputusan yang mereka ambil tidak sepenuhnya berada di bawah keputusan peserta konvensi.[3]
Referensi
- ^ a b c JOINT. 2016. Kandidat: Kulonuwun Warga Jogja. Diakses melalui www.jogjaindependent2017.com
- ^ JOINT. 2016. Bakal Calon Walikota Joint. Diakses melalui www.jogjaindependent2017.com
- ^ a b c d e f Rizka, Desiana. 2017. Persepsi Pemuda tentang Gerakan Jogja Independent (Joint) dalam Pelaksanaan Pilwalkot Kota Yogyakarta Tahun 2017 dan Implikasinya terhadap Ketahanan Politik Pemuda. Tesis. Program Studi Ketahanan Nasional Universitas Gadjah Mada: Tidak Dipublikasikan
- ^ "Partisipasi Masyarakat Yogya di Pilpres Hanya 77 Persen | Republika Online". Republika Online. Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ a b Daliyoto, S., 2013. Perubahan Pilihan Politik Masyarakat pada Pemilihan Umum Legislatif (Studi Kasus: Perubahan Pilihan Politik Masyarakat Kota Yogyakarta Atas Lima Partai Utama Perolehan Suara Nasional Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Skripsi. Univetsitas Muhammadiyah Yogyakarta
- ^ a b JOINT. 2016. Acara: Tim 10 yang Menjadi Panelis Konvensi. Diakses melalui www.jogjaindependent2017.com
- ^ "BREAKING NEWS: Joint Akhirnya Tamat Sebelum 'Berperang' di Pilkada Yogyakarta - Tribun Jogja". Tribun Jogja. Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ Meiji, N.H.P.2015. Pemuda dan Partai Politik (Studi Mengenai Latar Belakang dan Strategi Anak Muda untuk Bertahan serta Membangun Karir Politik di Dalam Partai PDIP dan PKB pada Pemilu Legislatif 2014. Tesis Universitas Gadjah Mada