Lompat ke isi

Egy Massadiah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 20 Februari 2018 05.19 oleh 51Muhamad (bicara | kontrib) (detail tambahan)

Egy Massadiah adalah seniman dan produser teater Indonesia.[1] Ia memulai kariernya sebagai penulis lepas di sejumlah surat kabar pada 1987-1994 dengan jabatan terakhirnya Redaktur Pelaksana. Di sela tugas-tugas jurnalistik, ia aktif sebagai pemain teater di kelompok Teater Mandiri besutan seniman senior Putu Wijaya.[1] Pada 2007, ia pernah membintangi film yang ia produseri sendiri Lari Dari Blora. Sebagai produser, ia pernah mementaskan "Mega Mega" Karya Arifin C Noer di Gedung Kesenian Jakarta sebagai bagian dari Art Summit Internasional Festival 2013.[2] Ia pernah menjadi sutradara BOM karya Putu Wijaya di Slowakia pada 2012.[3] Ia juga menulis esai dan buku. Buku terbarunya adalah Soekarno Ata Ende yang ia tulis bersama Roso Daras yang merupakan bagian dari pembuatan Film Ketika Bung Di Ende pada 2013 yang ia produseri sendiri [4] dan dibintangi aktris senior Paramitha Rusady.[5] Di luar dunia seniman, ia aktif membantu Wakil Presiden RI Jusuf Kalla atau JK sebagai staf ahli dan pada 2013 menangani pertemuan organisasi perdamaian Centris Asia Pacific Democratic International (CAPDI) di mana JK adalah ketuanya.[6].

Di luar dunia kesenian, Egy merupakan kader partai Golkar[7] dan telah menyelesaikan studi Magister-nya di bidang Komunikasi dari Universitas Paramadina [8].

Pemikiran

Teater ‘stripping’

Egy menginisiasi sebuah ide bahwa teater bisa dipentaskan setiap hari selama seminggu. Pementasan teaternya bisa dilakukan 2 kali dalam 1 hari, di tempat yang berbeda pula. [9] Ide ini berangkat dari lemahnya sistem produksi di dalam kelompok-kelompok teater. Egy menyatakan kelompok ini kesulitan mensejahterakan senimannya. Kelompok teater umumnya fokus pada jalannya sebuah pentas di atas panggung saja namun mengesampingkan manajemen produksi dan pemasarannya.[9][10]

Pementasan teater bisa dilakukan, misalnya di beberapa institusi pendidikan seperti SMA.[10]) Dengan sistem stripping ini, beberapa SMA berbeda bisa menjadi tuan rumah pementasan yang durasinya tidak lama, misalnya satu jam. Karena itu, teater bisa dipentaskan seminggu, sebulan bahkan berbulan bulan. Tetapi, teater juga bisa dilaksanakan dua tiga kali pertunjukan sehari. Egy mengatakan, “Misal SMA 1 pentas pagi, SMA 2 pentas siang, anggaplah SMA pertama memberikan anggaran Rp 2 juta, SMA kedua juga Rp 2 juta, berarti sehari pementasan teater memperoleh dana Rp 4 juta. Kalau main 10 kali memperoleh Rp 40 juta, main 20 kali Rp 80 juta.” [9]

Teater stripping ini juga dapat menjadi medium penyampaian pesan-pesan berharga kepada generasi muda Indonesia, seperti: bahaya narkoba, jiwa kewirausahaan, dan bahaya radikalisme. [9] Pementasan teater strpping ini juga bisa dijalankan bekerjasama dengan organisasi-organisasi terkait seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Perbankan, dan Badan Nasional Penanggulangan Terosime (BNPT).[9]

Hijrah partai politik

Sebagai seorang kader Partai Golkar, [7] Egy memiliki pemikiran bahwa pada umumnya partai politik di Indonesia perlu hijrah.[7] Salah satu implementasi hijrah partai politik ini bagi Egy adalah memaknai dan memandang partai politik seperti perusahaan. Di era modern ini, perusahaan yang besar umumnya adalah mereka yang telah go public atau terbuka. Pemimpinnya pun harus terbuka terhadap masukan dan paham cara menjalankan roda perusahaan di era modern. [11] Hijrah yang ia maksud adalah perlunya perubahan perilaku, karakter, bahasa dan cara berkomunikasi partai politik harus berubah. Pada implementasinya, partai politik di Indonesia perlu fokus pada beberapa aspek. [7]

Pertama, partai perlu merangkul kader-kadernya dari kalangan muda dan memberi kesempatan mereka untuk memimpin partai. Kedua, partai perlu secara simultan memperbaiki strategi komunikasi dan kehumasannya. Ketiga, partai politik harus ramah dengan teknologi informasi. Terakhir, mereka perlu mengedepankan keberpihakan kepada industri kreatif.[7]

Pemikiran ini menjadi bahan kritikannya pada partainya sendiri. Baginya, Golkar pernah menjadi cerminan hijrah politik ketika mendengungkan slogan ‘Golkar Bersih’ di awal era kepemimpinan Airlangga Hartarto.[11] Namun pada realisasinya, Egy melihat banyak hal yang tidak sesuai dengan semangat hijrah partai tersebut. Beberapa hal yang ia kritisi antara lain mayoritas pimpinan diisi oleh kader dari kalangan tua, penempatan kader pada posisi yang tidak sesuai kompetensinya, dan penamaan nomenklatur jabatan yang makna dan artinya sulit dipahami. [11]

Rujukan

  1. ^ a b Seruu. [1] (diakses 1 Agustus 2015)
  2. ^ Tribunnews. "Mega Mega" Karya Arifin C Noer akan Dipentaskan di GKJ (diakses 30 Juni 2015)
  3. ^ Okezone. [2] (diakses 1 Agustus 2015)
  4. ^ Pikiran Rakyat. "Ketika Bung di Ende", Sejarah Perjuangan Bung Karno (diakses 5 Agustus 2015)
  5. ^ Okezone. Paramitha Rusady Pakai Sarung Asli Bu Inggit di Ketika Bung di Ende (diakses 1 Agustus 2015)
  6. ^ Diplomasi Makanan Bugis Ala Jusuf Kalla (diakses 1 Agustus 2015)
  7. ^ a b c d e https://indonesiana.tempo.co/read/121082/2017/12/29/egymassadiah/golkar-airlangga ”Golkar Airlangga"]. (diakses 19 Februari 2018)
  8. ^ Udang Mufidah JK (diakses 12 Februari 2018)
  9. ^ a b c d e http://www.polbis.co ”Menghidupkan Teater Melalui Manajemen Pentas Striping". (diakses 28 Juli 2017)
  10. ^ a b https://www.ngopibareng.id/ "Seniman Teater Bisa Berpenghasilan Lebih Baik. Ikuti Langkah-Langkah Ini!". (diakses 29 Juli 2017)
  11. ^ a b c https://indonesiana.tempo.co/read/122668/2018/02/12/egymassadiah/menafsir-ulang-golkar-bersih#rx4MiqFAZLGrV5wv.41 ”Menafsir Ulang Golkar Bersih?"]. (diakses 19 Februari 2018)