Lompat ke isi

Dalung, Kuta Utara, Badung

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 10 Maret 2018 02.39 oleh Angayubagia (bicara | kontrib) (update infobox dan menambahkan referensi)
Dalung
Negara Indonesia
ProvinsiBali
KabupatenBadung
KecamatanMengwi
Kode pos
80361
Kode Kemendagri51.03.06.2006 Edit nilai pada Wikidata
Kode BPS51.03.06.2006
Luas6,15 km²
Jumlah penduduk19.317 jiwa (2016)[1] 30.228 jiwa (2010)[2]
Kepadatan4.915 jiwa/km² (2010)
Jumlah RW1 Banjar
Jumlah KK4.911


Dalung adalah sebuah desa/kelurahan di wilayah Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali. Awalnya wilayah yang menjadi Desa Dalung sekarang ini merupakan sebagian semak-semak dan tegalan, dan juga terdiri dari tanah persawahan yang subur. Sebelah timurnya adalah sebuah wilayah Desa yang disebut dengan "Padangluah", sekarang dikenal dengan nama "Padangluih". Jaraknya hanya dibatasi dengan sungai yang dikenal dengan nama Sungai Yeh Poh yang mengalir ke Laut selatan Bali.[3]

Sejarah

Cikal bakalnya berdirinya Desa Dalung sangat erat hubungannya dengan Desa Padangluah yang merupakan bagian dari kerajaan Meliling. Kerajaan ini awalnya diperintah oleh I Gusti Gede Meliling, yang merupakan putra ke empat dari Raja Ke III Mengwi yaitu I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng. Pada masa Pemerintahan I Gusti Gede Meliling yang berpusat di Padangluah, situasi kerajaan sangat stabil baik secara ekonomi maupun secara sosial politik. Tidak terdapat cacatan sejarah yang menyatakan terjadinya pergolakan pada masa tersebut. Keadaan ini berubah ketika beliau wafat. Putra-putra Meliling sudah saling berstrategi, dan terasa sudah tidak rukun dan bersatu. Hal ini terjadi tidak terlepas dari adanya provokasi dari pihak kerajaan lain yang mempunyai kepentingan terhadap wilayah yang terkenal subur dan strategis tersebut.

Pergolakan demi pergolakan terjadi, termasuk kekeringan akibat jebolnya terowongan aliran irigasi sehingga aliran air di Dam Gumasih tidak masuk ke wilayah Padangluah dan sekitarnya. Masyarakat mengalami kelaparan yang berat. Konflik multi dimensi tidak dapat dihindarkan. Puncaknya ketika pada masa I Gusti Gede Tibung cucu dari I Gusti Gede Meliling, menjadi Yuwe Raja di Padangluah. Pada waktu itu terjadi kegiatan upacara berkabung (ngaben) I Gusti Gede Tegeh I putra I Gusti Gede Meliling dan ayah dari I Gusti Gede Tibung. Perang saudara tidak dapat dihindari. Saudara tiri I Gusti Gede Tegeh, yaitu I Gusti Gede Mangku dari Tibubeneng melakukan penyerangan terhadap Padangluah, yang menyebabkan Gugurnya I Gusti Gede Tibung di Kwanji.[3]

Wafatnya I Gusti Gede Tibung meninggalkan empat putra laki-laki. Keempat putra tersebut pergi ke Dauh Tukad Yeh Poh (sebelah barat Sungai Yeh Poh, sekarang: Banjar Kaja) bersama anggota keluarganya masing-masing. Keempat putra tersebut adalah I Gusti Gede Tegeh (III), I Gusti Nengah Tegeh, I Gusti Gede Dauh, dan I Gusti Ketut Dauh. Dari tempat ini, mereka menghitung sisa-sisa keluarga dan rakyat yang masih ada. Mereka tidak mau jauh dari Padangluah, agar dapat memantau perkembangan Padangluah dan menyelamatkan rakyatnya yang masih di Padangluah serta memerlukan pertolongan. Ternyata tempat yang paling strategis adalah Dauh Tukad Yeh Poh tersebut (sekarang Banjar Kaja, Dalung). Akhirnya diputuskan untuk tetap tinggal sementara disana sambil membangun strategi lebih lanjut. Perasaan sedih harus kehilangan rakyat, saudara, orangtua, kerabat, sahabat, dan wilayah. Keempat putra I Gusti Gede Tibung berusaha untuk meyakinkan diri dan memperkuat keyakinan tersebut untuk tidak patah semangat. Dalam suasana seperti ini muncul istilah “De Elung” atau "Da Elung" yang berarti "Jangan Patah", kemudian kata-kata itu didengungkan dari mulut kemulut keseluruh masyarakat, untuk membangun mental dan semangat. Maka muncul istilah Dalung yang kemudian menjadi nama Desa yaitu Desa Dalung. Diperkirakan terjadi antara tahun 1823-1825.[3]

Pada lokasi yang kemudian menjadi wilayah Banjar Kaja tersebut dibangun Pura Dalem Tibung yang merupakan “cahaya” Pura Dalem Tibung Kwanji. Untuk menghilangkan “getaran” rasa kawatir akibat suasana perang yang masih melekat, dari Pura tersebut walaupun masih sangat sederhana, mereka bersama rakyatnya sering memohon keselamatan. Rupanya cahaya yang terpancar di Pura Dalem Tibung, sesuai dengan suasana pada masa itu yaitu getaran jengah dan semangat untuk bangkit. Sebab itu, Pura Dalem Tibung diekpresikan sebagai Pura untuk memohon kedigjayaan, wibawa, kekuasaan, dan pengaruh juga pemerintahan. Dari Pura tersebut diperoleh pencerahan, untuk membangun Desa dengan sengker empat pura, yang mengelilingi Desa Dalung. Dan yang paling pertama harus dipertimbangkan adalah pembangunan Pura Kayangan Tiga dan Tempat Pusat Pemerintahan (Jero Gede), yang harus ada dalam lingkaran sengker empat pura. Pada proses sejarah beberapa tahun kemudian konsep Pusat Pemerintahan mulai diwujudkan I Gusti Gede Tegeh dan I Gusti Gede Dauh dan I Gusti Ketut Dauh mulai melihat lokasi lebih baik (sekarang di Banjar Tegeh Dalung) tempat itu sekarang dikenal dengan Jero Gede Sedangkan adiknya yang pemade I Gusti Nengah Tegeh kemudian pergi dan tinggal di Tegaljaya. I Gusti Ketut Dauh memiliki banyak anak, ada yang tinggal di Banjar Lebak, ada juga yang tinggal di Cepaka.[3]

Penduduk

Penduduk desa Dalung terdiri dari 9.976 laki-laki dan 9.341 perempuan dengan sex rasio 92. Tingkat kelahiran selama tahun 2016 sebanyak 117 jiwa dan kematian 85 jiwa. [4]

Referensi

  1. ^ Kecamatan Kuta Utara dalam Angka 2017, hal.21
  2. ^ Penduduk Indonesia menurut Desa 2010
  3. ^ a b c d Diadopsi dari: I Gusti Ngr Agung Eka Teja Kusuma, Dari Padangluah ke Dalung, Edisi Revisi).
  4. ^ Kecamatan Kuta Utara dalam Angka 2017, hal.21

Pranala Luar