Cergam
Untuk lingkup nusantara, terdapat sebutan tersendiri untuk komik seperti diungkapkan oleh pengamat budaya Arswendo Atmowiloto (1986) yaitu cerita bergambar atau disingkat menjadi Cergam yang dicetuskan oleh seorang komikus Medan bernama Zam Nuldyn sekitar tahun 1970.
Sementara itu Dr. Seno Gumira Ajidarma (2002), jurnalis dan pengamat komik, mengemukakan bahwa komikus Teguh Santosa dalam komik “Mat Romeo” (1971) mengiklankannya dengan kata-kata "disadjikan setjara filmis dan kolosal" yang sangat relevan dengan novel bergambar.
Akronim cerita bergambar, menurut “Marcell Boneff” mengikuti istilah cerpen (cerita pendek) yang sudah lebih dulu digunakan, dan konotasinya menjadi lebih bagus, meski terlepas dari masalah tepat tidaknya dari segi kebahasaan atau etimologis kata-nya.
Tetapi menilik kembali pada kelahiran komik, maka adanya teks dan gambar secara bersamaan dinilai oleh Francis Laccasin (1971) sebagai sarana pengungkapan yang benar-benar orisinal. Kehadiran teks bukan lagi suatu keharusan karena ada unsur motion yang bisa dipertimbangkan sebagai jati diri komik lainnya.
Karena itu di dalam istilah komik klasik Indonesia, cerita bergambar, tak lagi harus bergantung kepada cerita tertulis. Hal ini disebut “Eisner” sebagai graphic narration (terutama di dalam film & komik).
Sejak tahun 2006, Cergam juga digunakan sebagai nama penerbitan majalah yang khusus mengulas dan menampilkan cergamis muda. Majalah yang diasuh oleh: Hartono Soenarto, Setya Adyaksa, Iwan Gunawan dan rekan - rekan, mempunyai slogan "Baca: Cergam"!