Lompat ke isi

Maria Catarina Sumarsih

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ibu Sumarsih

Maria Catarina Sumarsih (lahir 5 Mei 1952) adalah ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan) mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat peristiwa Semanggi I.

Ia menamatkan pendidikan Sekolah Rakyat pada tahun 1963 dan melanjutkan ke tingkat Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) dan akhirnya menyelesaikan Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Negeri di Salatiga tahun 1969.[1] Ia menikah dengan Arief Priyadi pada tanggal 5 Desember 1978 dan dikarunia dua orang anak yaitu Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan dan Benedicta Raosalia Irma Normaningsih. Pada tahun 1977 ia pindah ke Jakarta. Hingga tahun 1983 ia mengajar di SMP Budi Murni Jakarta Barat, sampai akhirnya ia diterima bekerja di Sekretariat Jendral DPR RI.

Kehidupan Pribadi

Sumarsih merupakan anak pertama dari enam bersaudara yang dibesarkan di keluarga berbudaya Jawa, dimana orangtua Sumarsih menganut aliran Kejawen.[2] Didorong oleh dampak dari peristiwa pada tahun 1965-1966, warga negara Indonesia diharuskan untuk memeluk salah satu agama yang diakui negara, atau akan dicap sebagai komunis.[2] Atas dasar hal tersebut, Sumarsih memutuskan untuk memeluk agama Katholik. Pada tahun 1976, Sumarsih menikah dengan Arief Priyadi dan dikaruniai 1 anak laki-laki dan 1 anak perempuan yang diberi nama Bernardinus Realino Norma Irawan yang lahir pada tanggal 15 Mei 1978 dan Benedicta Rosalia Irma Normaningsih yang lahir pada tanggal 14 Januari 1980.[3] Pada tahun 1980an, Sumarsih bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Sekretariat Jenderal DPR-RI, dan Arief, sang suami, bekerja sebagai peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS).[4]

Tragedi Semanggi

Pada hari Jum'at, 13 November 1998, Sumarsih mendapat telepon dari Wawan bahwa keadaan sedang genting di depan Universitas Atma Jaya, dengan aparat militer mengepung para mahasiswa yang sedang berunjuk rasa.[5] Lewat telepon itu, Wawan mengabarkan bahwa ia tidak akan pulang. Sekitar pukul 17:00, Sumarsih mendapat telepon kedua yang datang dari teman Wawan bernama Yvone. Dari pembicaraan tersebut, Yvone menanyakan keberadaan Wawan dan Ia mengakhiri pembicaraan dengan berjanji mencari keberadaan Wawan. Tidak lama setelah telepon dari Yvone, Sumarsih mendapat telepon dari Romo Sandiyawan Sumardi SJ yang mengabarkan bahwa Wawan telah tertembak dan telah dibawa ke Rumah Sakit Jakarta.[6] Sumarsih bersama dengan Arief, Irma dan adiknya sampai di Rumah Sakit Jakarta dan segera menuju basement Ruman Sakit. Di ruang jenazah basement Rumah Sakit Jakarta, Wawan telah diletakkan di keranda terbuka, dari kaos putih yang Ia kenakan terlihat lubang bekas penembakan.[5] Dari hasil otopsi yang dilakukan oleh dr. Budi Sampurno, ditemukan bahwa Wawan tewas dengan tembakan peluru tajam. Setelah otopsi, sekitar pukul 00:30, jenazah Wawan diantarkan ke kediamannya.[7] Menurut kesaksian Ita F. Nadia, seorang senior di Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) dan Dian, Wawan tertembak saat ia sedang berusaha menolong salah satu korban yang tertembak di halaman kampus. Dian menambahkan bahwa saat kejadian, Wawan telah bertanya kepada salah satu aparat militer untuk menolong korban dan diperbolehkan. Wawan juga melambaikan bendera putih sebagai simbol posisinya yang netral, akan tetapi Ia tertembak di bagian dada saat ia sedang dalam posisi mengangkat korban sambil menggantung tas yang berisi obat-obatan.[8]

Pejuang HAM

Sumarsih adalah sosok yang berani. Selama bertahun-tahun Sumarsih berjuang bersama suami, Arief Priadi, dan para orang tua korban lainnya, menuntut keadilan atas kematian putranya. Selain melakukan advokasi untuk kasus-kasus pelanggaran HAM, Sumarsih juga pernah melemparkan telur busuk kepada pimpinan Rapat pleno di DPR RI , karena mereka mengeluarkan rekomendasi yang menyatakan kasus Semanggi I dan II, dan kasus Trisakti bukan pelanggaran HAM berat.

Masih banyak kegiatan yang diikuti oleh Sumarsih. Sudah banyak audiensi yang dia lakukan, antara lain ke Presiden, DPR, Komnas HAM, mendatangi Puspom TNI hingga demonstrasi di jalanan. Sudah banyak orasi yang dia lakukan untuk menyuarakan tegaknya HAM. Berbagai diskusi dan kesaksian tentang pelanggaran dia ikuti. Bersama Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Sumarsih mendata kondisi korban pelanggaran HAM di Jakarta. Dengan lancar dia bisa bercerita panjang lebar mengenai kondisi-kondisi korban yang lain. Ibu Sumarsih juga mendampingi para keluarga korban yang lain, agar mereka lebih kuat dan tetap mau memperjuangkan keeadilan yang menjadi hak mereka. Perjuangan Ibu Sumarsih ternyata mendapat dukungan dari banyak pihak. Kenyataan itulah yang semakin menguatkan langkahnya untuk membela korban pelanggaran HAM di Indonesia.

Dia mendapatkan penghargaan Yap Thiam Hien Award Tahun 2004, pada hari Jumat tanggal 10 Desember 2004.

Film

Film dokumenter berdurasi 28 menit ini bercerita tentang perjuangan orang tua korban Tragedi Trisakti (1998), Semanggi I (1998), dan II (1999) dalam upaya mereka meraih keadilan.

Referensi

  1. ^ -, KontraS (2009). Ingatan Yang Menjadi Peluru; Sumarsih, Keluarga Korban Peristiwa Semanggi I. Jakarta: KontraS. hlm. 1. 
  2. ^ a b -, KontraS (2009). Ingatan Yang Menjadi Peluru; Sumarsih, Keluarga Korban Peristiwa Semanggi I. Jakarta: KontraS. hlm. 2. ISBN - Periksa nilai: length |isbn= (bantuan). 
  3. ^ -, KontraS (2009). Ingatan Yang Menjadi Peluru; Sumarsih, Keluarga Korban Peristiwa Semanggi I. Jakarta: KontraS. hlm. 2–3. 
  4. ^ -, KontraS (2009). Ingatan Yang Menjadi Peluru; Sumarsih, Keluarga Korban Peristiwa Semanggi I. Jakarta: KontraS. hlm. 3. 
  5. ^ a b Chamim, Mardiya (2009). Saatnya Korban Berbicara: Menatap Derap Merajut Langkah. Jakarta: Jaringan Solidaritas Untuk Kemanusiaan. hlm. 71–73. 
  6. ^ -, KontraS (2009). Ingatan Yang Menjadi Peluru; Sumarsih, Keluarga Korban Peristiwa Semanggi I. Jakarta: KontraS. hlm. 5. 
  7. ^ -, KontraS (2009). Ingatan Yang Menjadi Peluru; Sumarsih, Keluarga Korban Peristiwa Semanggi I. Jakarta: KontraS. hlm. 7. 
  8. ^ -, KontraS (2009). Ingatan Yang Menjadi Peluru; Sumarsih, Keluarga Korban Peristiwa Semanggi I. Jakarta: KontraS. hlm. 10–11. 

Pranala luar