Njoo Han Siang
Njoo Han Siang adalah seorang perintis perbankan nasional dan perfilman Indonesia. Njoo dikenal sebagai orang yang idealis, unik, dan mempunyai minat yang sangat luas. Ia dikenal sebagai seorang wartawan, pengusaha, pendidik, tokoh pembauran etnis Tionghoa, pecinta seni dan kebudayaan Indonesia serta seorang yang peduli dengan kehidupan sosial dan politik bangsa.
Njoo Han Siang lahir pada tahun 1930 di Yogyakarta dari keluarga Tionghoa totok yang berbicara Bahasa Hokkian dan Jawa dirumahnya. Njoo yang walaupun lahir dari generasi kesatu Tionghoa totok, telah mewarisi nilai-nilai kebudayaan Jawa yang mengalir dalam dirinya. Akulturasi ini telah mewarnai perjalanan hidupnya dimana naluri bisnis yang diwarisi dari orang tuanya berpadu dengan kepeduliannya terhadap Indonesia termasuk dengan kelompok etnisnya sendiri. Lingkaran pergaulan Njoo sangat luas, lintas etnis, agama dan profesi seperti sahabat-sahabatnya yang berasal dari pengusaha, militer, budayawan, politikus, intelelektual, pribumi maupun non-pribumi.
Perintis Perbankan Nasional
Pada tahun 1950 Njoo belajar jurnalistik dan mengawali karis sebagai wartawan foto Sunday Courier, ia bersahabat baik dengan B.M. Diah dan Adam Malik. Pada tahun 1958 Njoo mendirikan maskapai pelayaran PT. Delta Baru dan sekaligus menjadi pengusaha ekspor-impor bahan pangan (beras dan terigu) dengan nama CV. Krisna. Pada tahun 1966 Njoo dengan Suhardiman (pendiri dan ketua SOKSI)dan Thomas Suyatno mendirikan Bank Dharma Ekonomi yang kemudian menjadi Bank Duta, lalu di kemudian hari merger menjadi Bank Permata.
Pada tahun 1969, Njoo membantu Ali Murtopo menjadi pemasok logistik untuk Pepera di Papua. Dari hasil operasi logistik ini, kelompok Ali Murtopo menyisihkan dana untuk membeli Bank Umum Nasional (BUN). BUN didirikan dan dimiliki oleh tokoh-tokoh PNI, di sini Njoo menjadi Presiden Komisaris BUN. Njoo mendirikan Bankers Club Indonesia sebagai wadah para bankir Indonesia dan ia menjabat sebagai ketua umumnya yang pertama (1976).
Pada tahun 1973, Njoo mendirikan perusahan agrobisnis PT. Great Giant Pinneaple Company (GGPC) bersama Lie Siong Thay dan Go Swie Kie. Kemudian bersama dengan Jusuf Wanandi, Sofjan Wanandi, dan Pang Lay Kim (ayah dari Marie Elka Pangestu), Njoo mendirikan perusahan asuransi PT. Maskapai Asuransi Madijo yang berubah namanya menjadi PT. Asuransi Wahana Tata pada tahun 1976.
Pada tahun 1970 Njoo bersama Sri Budoyo memelopori kartu kredit di Indonesia dengan mendirikan Diners Club Indonesia. Di samping itu Njoo juga memiliki sebuah restoran, bar dan night club Golden Gate di Bandar Udara Kemayoran. Di bidang real estate, Njoo mendirikan PT. Darmo Permai di Surabaya (1973) dan PT. Wai Halim di Lampung (1978).
Selain itu Njoo Han Siang juga memprakarsai dan merintis pendirian Akademi Perbankan Nasional yang berkembang menjadi STIE Perbanas dikemudian harinya dan juga pernah menjadi ketua umum Perbanas. Atas jasanya, Njoo Han Siang diabadikan dalam bentuk monumen di depan kampus STIE Perbanas.
Tokoh Perintis Perfilman Indonesia
Selain dikenal sebagai pengusaha yang sukses, Njoo Han Siang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai seorang tokoh perintis perfilman nasional. Pada tahun 1972 ia bersama dengan Wim Umboh (seorang sutradara senior dari etnis Tionghoa Manado yang fasih berbahasa Mandarin dan menjadi penerjemah film bahasa Mandarin ke bahasa Indonesia) dan Aloysius Soegianto (mantan kolonel RPKAD yang pernah berperan dalam operasi Seroja dan deklarasi Balibo di Timtim 1975 dan juga mantan ketua Perkumpulan Kinologi Indonesia) mendirikan PT. Inter Pratama Studio Laboratorium (Inter Studio) di Pasar Minggu dengan tujuan membebaskan diri film Indonesia dari ketergantungan luar negeri.
Inter Studio merupakan sebuah laboratorium film berwarna pertama di Indonesia yang memiliki fasilitas seperti sound recording, sound effects, mixing, music edit, dubbing dan optical effects. Sebelumnya proses perfilman di Indonesia harus diproses di Hongkong atau Tokyo yang membutuhkan biaya tinggi serta makan waktu. Inter Studio ini diharapkan mampu memproduksi film-film nasional secara utuh di Indonesia. Visi Inter Studio ini adalah untuk menghasilkan film bermutu, kultural edukatif, dan bermoto "Masuk Ide , Keluar film" serta menjadikan film Indonesia "Tuan di negeri sendiri" atau "Film Indonesia telah dapat dilahirkan di dalam negeri" atau dapat dikatakan juga sebagai "hardware" dan dapur perfilman Indonesia.
Salah seorang sinematograf yang sering memanfaatkan fasilitas Inter Studio ini adalah Teguh Karya (Liem Tjoan Hok) atau yang biasa dipanggil Steve Liem, pendiri Teater Populer yang sering disebut sebagai "Suhu Teater Indonesia". Teguh juga berhasil meyakinkan produser-produser film dan sutradara muda untuk memanfaatkan jasa Inter Studio ini untuk memproses filmnya. Film-film yang diproses di Inter Studio ini telah berhasil mendapatkan beberapa Piala Citra serta banyak melahirkan film-film terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) dan Festival Film Asia Pasifik (FFAP).
Selain memproduksi film, Njoo juga mendirikan sekolah seni peran bersama Wahyu Sihombing dan Tatiek Maliati di Pusat Perfilman Nasional H. Usmar Ismail, dimana pesertanya bebas uang sekolah bahkan mendapat uang transport dan kost. Murid-muridnya yang pernah mendapatkan pendidikan diantaranya adalah Ray Sahetappy, Ida Leman, Heru Fadila, dan Alan Nuary.
Selain seni sinematografi, Njoo juga mesponsori perkembangan seni musik yang dianggap sebagai infrastruktur penunjang produksi film. Pada tahun 1973 Njoo menyelenggarakan pesta musik "Summer 28" (memperingati hari kemerdekaan RI ke 28) yang diikuti oleh 17 group musik yang tengah populer waktu itu seperti Koes Plus, The Pros, AKA, dan God Bless.
Beberapa Film Hasil Produksi Njoo Han Siang
- Chicha (1976). Film anak-anak ini disutradarai oleh Eduard P. Sirait dan dibintangi oleh Chicha Koeswoyo, Rae Sita, Ade Irawan, dan Ria Irawan serta iringan musik Idris Sardi dan skenario Asrul Sani. Film ini telah memenangkan “Piala Akhnaton" pada Film Festival Cairo II di Mesir.
- November 1828 (1978). Film epik perjuangan Pangeran Diponegoro ini disutradarai
oleh Teguh Karya dan dibintangi oleh Slamet Raharjo, El Manik, Jenny Rachman, Sardono W. Kusumo, dan Maruli Sitompul. Film ini memperoleh 5 Piala Citra dan merupakan film terbaik FFI 1978 serta mendapat predikat "Most Outstanding Historical Presentation Film" di FFAP, Singapura (1979).
- Rembulan dan Matahari (1979). Film yang mengangkat nilai-nilai budaya pedesaan ini disutradarai oleh Slamet Rahardjo.
- Dr. Siti Pertiwi Kembali ke Desa (1979). Film ini disutradarai oleh Amir Prijono dan dibintangi oleh Christine Hakim, El Manik, Joice Erna, Maruli Sitompul, dan Ikranegara.
- Seputih Hatinya Semerah Bibirnya (1980). Film ini disutradarai oleh Slamet Rahardjo dan dibintangi oleh Christine Hakim, El Manik, dan Frans Tumbuan.
- Usia 18 (1980). Film ini disutradarai oleh Teguh Karya dan dibintangi oleh Yessy Gusman dan W.D. Mochtar.
Penghargaan
Njoo Han Siang wafat pada tahun 1985 di usia 55 yahun karena penyakit diabetis. Beliau mempunyai seorang isteri tetapi tidak mempunyai keturunan. Njoo selama hidupnya dikenal sebagai seorang idealis, nasionalis, wartawan, pengusaha, politikus, pecinta seni dan budaya serta aktivis berbagai bidang profesi dan seorang tokoh perfilman nasional.
Atas jasa-jasanya dibidang sinematografi nasional, pada tahun 2004 Njoo Han Siang dianugerahkan "Satya Lencana Wirakarya" oleh Presiden RI [[Megawati Soekarnoputri] dalam acara peringatan Hari Film Nasional.
Selain itu, Departemen Kebudayaan & Pariwisata, melalui Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BPPN) selaku penyelenggara FFI, menganugerahkan Piala Khusus "Njoo Han Siang" kepada produser yang paling banyak memanfaatkan jasa teknik perfilman dalam negeri. Ini dimaksudkan untuk mengenang dan menghargai perjuangan Njoo serta untuk melanjutkan dan memotivasi semangat kemandirian membebaskan perfilman Indonesia dari ketergantungan luar negeri.