Lompat ke isi

Pengguna:Sensicyber

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 14 Agustus 2018 07.23 oleh Sensicyber (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi ' Sejarah Gorontalo melawan VOC Menarik Isu mengenai "Gorontalo Serambi Medinah" setelah saya coba cari Refrensi mengenai Sejarah Gorontalo pada Abad Ke 16, dimana...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Sejarah Gorontalo melawan VOC Menarik Isu mengenai "Gorontalo Serambi Medinah"

setelah saya coba cari Refrensi mengenai Sejarah


Gorontalo pada Abad Ke 16, dimana Raja-Raja Gorontalo

pada saat itu dengan Mati-matian mempertahankan Agama


Islam dan Menolak menerima Agama yang di bawa Oleh

Kaum Penjajah BELANDA. Mungkin berangkat dari Semangat


inilah sehingga para Tokoh Adat dan Pemimpin Gorontalo

ingin membangkitkan Semangat RAJA-RAJA Gorontalo


terdahulu mengenai Budaya Islam di Gorontalo yang ada

sejak Jaman Dahulu. Tapi Saat ini Sosialisasinya masih


terasa kurang kepada Masyarakat dan Slogan ini hanya

terasa di antara para Sesepuh dan Tokoh adat gorontalo


sedangkan Para Kaum Muda tidak mengerti dan masih

banyak tidak mengetahui Sejarah Gorontalo pada Jaman


Dahulu di mana Raja Eyato dan Raja Biya dengan Rela

Mengorbankan Nyawa demi mempertahankan Agama Islam dan


Wilayah Gorontalo.



Dalam sejarah perjuangan rakyat didaerah Gorontalo

yang disusun oleh Yayasan 23 Januari 1942 bekerjasama


dengan IKIP Negeri Manado cabang Gorontalo tanggal 10

Januari 1981 dan diterbitkan oleh PT. Gobel Darma


Nusantara. Hal ini sangatlah besar manfaatnya untuk

generasi kita sekarang pada umumnya dan khususnya bagi


rakyat Gorontalo, karena dengan diterbitkannya buku

sejarah perjuangan rakyat Gorontalo ini, dapatlah kita


mengetahui sepak terjang nenek moyang kita zaman

dahulu, terutama dalam menentang penjajahan Belanda


zaman dahulu.



Dalam sekian banyaknya perlawanan rakyat Gorontalo

pada waktu itu, kita dapat ungkapkan kembali


perlawanan Raja Biya (Raja Selatan: Raja To

Huliyaliyo) yang memerintah Kerajaan Gorontalo menurut


buku sejarah tersebut yang memerintah dari tahun 1677

s/d 1690. Pada zaman Raja Eyato di utara (Raja


Totiloyo) yang memerintah tahun 1673 s/d 1679, maka di

selatan mengalami pergantian dari dari Raja Tiduhulu


(Raja Perempuan) kepada penggantinya Raja Biya (sesuai

ejaan tulisan huruf Arab Pegon) yang memerintah tahun


1677 s/d 1690 (Kerajaan Gorontalo diperintah oleh 2

orang Raja yaitu Raja Lotilayo di utara dan Raja Lo


Huoliyaliyo di Selatan).



Pada waktu itu Raja Eyato diutara dan Raja Biya di

selatan bahu membahu melawan Belanda. Pada tahun 1677


perlawanan Eyato yang ke II (perlawanan I tahun

1674)-perlawanan Raja Eyato yang menghalang-halangi


utusan Belanda ke Gorontalo dan Dumoga sehingga

akhirnya utusan kompeni Belanda kembali ke pangkalan


VOC di Ternate dan melaporkan hasil peninjauan mereka

di Gorontalo sbb:


1. Utusan takut menghadapi serangan-serangan yang


dilakukan oleh rakyat Gorontalo.

2. Rakyat menghalang-halangi pelayaran ke Dumoga.


3. Rakyat membakar dan melarikan perahu-perahu mereka

yang berada di pantai.


4. akyat tidak mengizinkan awak kapal mereka turun ke

darat untuk mengambil air minum.


5. Rakyat telah membuat kubu pertahanan yang kuat di

pinggiran sungai Bone.


6. Rakyat mengancam akan membunuh mereka.



Dari laporan tersebut kompeni Belanda menyimpulkan

bahwa rakyat Gorontalo tidak mau dijajah oleh Belanda.


Raja Eyato selalu menolak dan bersikap acuh tak acuh

terhadap kaum kompeni, maka kompeni Belanda merubah


siasatnya. Diajaklah Raja Eyato berunding di atas

kapal kompeni yang sedang berlabuh dimuara sungai


Bone. Dalam perundingan itu Raja Eyato menolak semua

permintaan kompeni Belanda. Pada saat itu terjadilah


penangkapan atas diri Raja Eyato (1679). Selanjutnya

beliau dibawa ke Ternate yang merupakan pangkalan


kompeni Belanda. Kemudian Raja Eyato diasingkan ke

Ceylon sampai wafatnya dan diberi gelar Ta To Celongi


yang artinya yang di Ceylonkan.



Kemudian selanjutnya perjuangan Raja Biya (Raja

Gorontalo di selatan) 1677-1690.


Raja Biya memerintah kerajaan Gorontalo di selatan


bersama-sama Raja Eyato di utara dan melawan kompeni

Belanda bersama-sama pula. Pada waktu Raja Eyato di


asingkan ke Ceylon maka perlawanan kepada Belanda

diteruskan oleh Raja Biya. Pada tahun 1678, Raja Biya


dipanggil oleh Belanda ke Ternate dan diberi ultimatum

oleh Gubernur R. Padtbrudgge yaitu diajukan empat hal


yang harus diterima oleh Raja Biya:



a. Raja Biya harus mengakui kekuasaan kompeni di

Gorontalo.


b. Rakyat bersama kompeni akan mengusir Spanyol yang

masih bercokol di Sangir Talaud.


c. Rakyat harus tunduk kepada agama yang ditawarkan

oleh kompeni.


d. Raja Biya harus mengikuti dan menganut agama bangsa

penjajah.


Sebagai siasat perjuangan, Raja Biya menerima apa yang


diajukan oleh Gubernur Belanda itu. Namun setelah

kembali ke Gorontalo, Biya berusaha memperkuat


kerajaannya dengan suatu kubu pertahanan pada jalan

yang dilalui oleh kompeni menuju Dumoge. Kubu tersebut


dikenal dengan nama Kubu Padang (Padengo) dipinggir

Sungai Bone, desa Podengo, Kec. Kabila sekarang yang


berjarak + 10 km dari pusat Kerajaan. Tindakan Raja

Biya ini berarti melawan amanat Gubernur Belanda, maka


pada tahun 1681 Gubernur datang sendiri beserta

puluhan serdadu kompeni lengkap dengan persenjataan


dengan kapal perang pada waktu itu dan berlabuh di

muara sungai Bone.


Gubernur mengirim utusan kedarat menuju Kubu


Pertahanan Padengo. Para utusan Gubernur yang

menumpang sekoci turun dipinggir Sungai, dekat dengan


kubu Padengo. Mereka bertemu dengan pasukan rakyat

yang dipimpin oleh Kapitan Laut (Apitalau), sebagai


penguasa laut yang sedang mengawasi kubu pertahanan

itu. Para utusan Belanda itu menyampaikan amanat


Gubernur:



1. Bahwa Gubernur mengirim hormat untuk kedua Raja

Limboto dan Gorontalo.


2. Agar kedua Raja tersebut berkunjung ke kubu untuk

bertemu dengan Gubernur.


3. Kubu tersebut harus dikosongkan untuk dijadikan

tempat perundingan.


4. Selama perundingan berjalan penduduk tidak

diperkenankan berada diantar kubu Padengo dan Dumoga.


5. Bila Pemerintah Kerajaan Gorontalo bersedia damai

dengan kompeni maka tidak akan timbul perang.


6. Bila tidak ada kesediaan untuk berdamai, maka

kompeni beserta seluruh sekutunya akan menghancurkan


kubu pertahanan dengan kekuatan senjata.



Kapitan Laut (Apitalau) yang sedang mengawasi serta

memperkuat kubu tersebut tidak menerima semua tawaran


yang disampaikan oleh para utusan tersebut. Dan utusan

Gubernur Belanda kembali ke kapal menemui Gubernur


tanpa membawa hasil yang diharapkan.



Untuk keduakalinya Gubernur mengirim utusan kedarat,

langsung menghadap Raja Biya dengan amanat agar Raja


Biya mengirim utusan ke kapal. Hal itu dituruti Raja

Biya dan dikirimlah beberapa orang pembesar istana


menghadap Gubernur di kapal. Gubernur menyampaikan

amanat dihadapan para utusan istana, bahwa sebelum


Gubernur turun kedarat, Raja Biya sudah harus diatas

kapal. Karena Raja Biya yang ditunggu tak kunjung


datang, maka turunlah Gubernur dengan menaiki sekoci

dan didampingi empat puluh serdadu bersenjata menuju


ke kubu Padengo. Namun sebelum Padtbrudgge mendarat,

diperintahkan serdadunya mendarat dan bertemu dengan


para penghuni Kubu Padengo.



Tugas serdadu itu untuk mengusir penghuninya keluar,

apabila mereka memperlihatkan sikap acuh tak acuh


apalagi mau menyerang. Karena Penghuni Kubu Podengo

bersikap acuh tak acuh terhadap kedatangan serdadu


kompeni, maka terjadilah perang yang disebut Perang

Kubu Padang (Padengo). Apitalau beserta anggotanya


dapat memukul mundur pasukan kompeni, maka Padtbrudgge

memerintahkan agar awak enam buah kapal Tomini segera


mendarat dan memberi bantuan, namun semua awak kapal

itu takut dan ragu-ragu tidak berani untuk maju.


Serdadu kompeni tidak mudah menghadapi perlawanan


rakyat, beberapa orang serdadu Belanda tewas dan yang

lainnya melarikan diri. Namun Kapitan Krijs De Ronde


bertahan dengan 28 serdadu bertempur satu lawan satu.



Serdadu kompeni tiga kali menyerang kubu Padang

(Padengo) barulah berhasil menguasainya. Pertahanan


kubu Padang menjadi kuat karena perlawanan disamping

Pimpinan Perang Panglima Apitalau juga turut memimpin


Raja Biya, Jagugu Gorontalo dan Limboto Ilato dan

Ishaeni. Pihak kompeni 4 orang tewas yang berpangkat


Kapten dan Mayor dan yang lainnya luka-luka berat.



Dipihak Pasukan Kubu Padang 12 orang terhitung

pembesar Kerajaan Limboto dan Gorontalo gugur dimedan


perang, yang lainnya luka-luka dan dan sisanya lolos

antara lain Raja Biya sendiri, Ilato, Ishaeni, dan


Apitalau sebagai Panglima Perang. Menurut sumber

cerita bahwa Raja Biya lari sampai bersembunyi


dicelah-celah suatu tempat yang disebut Tutulo

(Tulo-tulomayi), karena waktu dicari Belanda , Raja


Biya hanya mengintip dari tempat persembunyiannya.

Akhirnya sampai tahun 1690 Raja Biya dan kawan-kawan


diangkap Belanda dan dibuang ke Ceylon dan Ishaeni ke

Tanjung Harapan (Afika Selatan), sedang Apitalau dan


Ilato tidak diketahui keberadaannya.



Sebagai ganti kerugian atas kematian serdadu Belanda,

maka Kerajaan Limboto dan Gorontalo diwajibkan oleh


Belanda menyerahkan 150 orang budak, 150 belah kayu.

Dan tiap Kerajaan hanya berhak memiliki seorang Raja


dan tidak boleh menggunakan titel Kapitan Laut/Raja

Laut bagi yang menjabat sebagai komandan keamanan


lautan. Namun segala tuntutan atas ganti rugi tersebut

tidak ditaati oleh Kerajaan Gorontalo dan Limboto,


buktinya Kerajaan Gorontalo dan Limboto tetap

menggunakan masing-masing 2 orang Raja yaitu Raja di


utara dan Raja di Selatan baik di Kerajaan Gorontalo

maupun Kerajaan Limboto.


Menurut penuturan dari salah seorang keluarga Raja


Biya, bahwa Raja Biya yang melawan Belanda tersebut

adalah juga Raja Biya yang pada saat itu juga


berkedudukna sebagai Raja Limboto. Hal ini juga dapat

dilihat pada urutan raja-raja Gorontalo dan Limboto


yang dokumennya penulis dapatkan di Mesjid Sultan Amay

(Mesjid tertua di Gorontalo) yaitu kalau di Gorontalo


memerintah pada tahun 1672 ke atas adalah Raja Biya di

utara dan di Limboto di utara juga memerintah Raja


Biya pada tahun 1673 ke atas.



Hal ini juga ditunjukkan oleh gelar Raja Biya dari

Kerajaan Limboto tersebut yang bergelar Dhayludiyn


(kalau ditanyakan sama ahlinya berarti yang

mempertahankan agamanya) atau Tatoagamaliyo,


sebagaimana gelar Raja Biya yang terdapat pada naskah

kuno yang ditulis dengan huruf Arab Pegan. Naskah kuno


tersebut ada penulis simpan. Jadi dapat diambil

kesimpulan bahwa Raja Biya Limboto adalah juga Raja


Biya Gorontalo yang berperang melawan Belanda pada

tahun 1681 seperti tersebut di atas.


Dalam naskah silsilah yang ditulis dengan huruf Arab


Pegon tersebut, bahwa Raja Biya Limboto yang bergelar

Dhayludiyn tersebut kawin dengan putra Delaliwuwo


anak Marsaole Lupoyo dengan Putri Deylomputo, mendapat

anak putri Buwaii. Putri Buwaii bersuami Hakim


Nunuki dan mendapat anak 2 yaitu Walaopulu Butolo dan

Raja Limboto Pangeran Abdullah bergelar Tatotinelo.


Dan Raja Biya Limboto bergelar Dhayludiyn


(Tatoagamaliyo) kawin pula dengan Putri Apiyo anak

dari Oyintu dan Tenihuwato (Tatobodiya), Tenihuwato


adalah anak dari Jagugu Lihawa (Tatolalango) dengan

Putri Wadihulawa. Turunan dari Raja Biya Limboto


bergelar Dhayludiyn (Tatoagamaliyo) pada saat

sekarang ini sudah mencapai generasi ke 8-9. Gelar ini


mungkin diberikan pada sang Raja, karena beliau dan

rakyatnya tidak menuruti untuk mengikuti agama kompeni


Belanda.



Demikianlah semoga sejarah tantang kepahlawanan Raja

Eyato dan Raja Biya ini, dan masih banyak cerita


perlawanan rakyat Gorontalo zaman dahulu, supaya

mengingatkan generasi muda khususnya generasi muda


Gorontalo.