Lokalisasi Kramat Tunggak
Lokalisasi Kramat Tunggak adalah sebuah lokalisasi untuk pelacuran yang pernah ada di daerah Kramat Jaya, Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Namun kini telah ditutup dan diganti dengan Jakarta Islamic Centre. Pada masanya, lokalisasi ini diakui sebagai yang terbesar se-Asia Tenggara.[1]
Sejarah
Sejarah Lokalisasi Kramat Tunggak dimulai dengan peresmian Lokasi Rehabilitasi Sosial (Lokres) Kramat Tunggak oleh Ali Sadikin. Nama Kramat Tunggak berasal dari nama tempatnya, Kramat Jaya, sementara Tunggak berarti pohon yang dipotong untuk dijadikan tambatan nelayan. Panti ini dibangun untuk menyadarkan dan membina para penjaja seks di Jakarta, yang kebanyakan digiring dari Pasar Senen, Kramat, dan Pejompongan.[1]
Lokasi Rehabilitasi Sosial Kramat Tunggak ini terletak di jalan Kramat Jaya RW 019, Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Kotamadya Jakarta Utara. Areal tersebut tepatnya menempati lahan seluas 109.435 m2 yang terdiri dari sembilan Rukun Tetangga.[2]
Namun kenyataannya mucikari justru memanfaatkan berkumpulnya para pekerja seks untuk membujuk mereka kembali kepada profesi semula dan berdirilah berbagai rumah remang-remang di seberang panti. Dan tempat tersebut akhirnya terkenal menjadi tempat pelacuran. Akhirnya tempat tersebut ditetapkan sebagai lokalisasi melalui SK Gubernur DKI Jakarta No. Ca.7/I/13/1970 tanggal 27 April 1970, tentang Pelaksanaan Usaha Lokalisasi/Relokasi Wanita Tuna Susila serta Pembidangan dan Tanggung Jawab, yang ditandatangani oleh Ali Sadikin. Sehingga tempat ini menjadi lokalisasi tempat prostitusi yang sebelumnya tersebar di beberapa tempat, seperti Bina Ria dan Volker, yaitu deretan rel kereta api di kawasan Ancol, Jakarta Utara.[2]
Pada awal pembukaan, hanya terdapat 300 orang PSK dan 76 mucikari. Namun selanjutnya berkembang hingga pada tahun 1980-1990, jumlah WTS telah mencapai lebih dari 2.000 orang di bawah kontrol sekira 258 mucikari. Tempat ini juga menjadi sumber penghidupan bagi lebih dari 700 pembantu pengasuh, sekira 800 pedagang asongan, dan 155 tukang ojek. Belum lagi tukang cuci dan pemilik warung-warung makanan yang bertebaran di sekitarnya. Lahan lokalisasi juga terus berkembang hingga 12 hektare dan dikenal sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara.[1]
Pada tahun 1999, atas ide Gubernur Sutiyoso, akhirnya Lokalisasi Kramat Tunggak akhirnya ditutup dan Jakarta Islamic Centre dibangun di atasnya.
Pembangunan Jakarta Islamic Centre
- Untuk informasi lebih lengkap, kunjungi artikel Jakarta Islamic Centre
Menjelang akhir ditutupnya Lokres Kramat Tunggak tahun 1999, jumlah wanita tuna susila di Kramat Tunggak telah mencapai 1.615 orang WTS di bawah asuhan 258 orang germo/mucikari. Mereka tinggal di 277 unit bangunan yang memiliki 3.546 kamar. Hal ini menimbulkan masalah baru bagi masyarakat di lingkungan sekitarnya dan sekaligus citra Jakarta. Sehingga muncul desakan dari ulama dan masyarakat agar Panti Sosial Karya Wanita (PKSW) Teratai Harapan Kramat Tunggak ditutup.
Desakan diteliti oleh oleh Dinas Sosial bersama Universitas Indonesia untuk mengukur sejauh mana penolakan masyarakat. Dari penelitian tersebut, keluarlah rekomendasi agar Lokres tersebut ditutup. Akhirnya pada tahun 1998 dikeluarkan SK Gubernur KDKI Jakarta No. 495/1998 tentang penutupan panti sosial tersebut selambat-lambatnya akhir Desember 1999. Pada 31 Desember 1999, Lokres Kramat Tunggak secara resmi ditutup melalui SK Gubernur KDKI Jakarta No. 6485/1998. Selanjutnya Pemda Provinsi DKI Jakarta melakukan pembebasan lahan eks lokres Kramat Tunggak.[2]
Dari berbagai usulan bangunan pengganti berupa pusat perbelanjaan, perkantoran, dan lainnya, yang akhirnya dieksekusi adalah pembangunan Jakarta Islamic Centre.