Museum Rumah Cimanggis
Rumah Cimanggis adalah bangunan tua era penjajahan Belanda yang terletak di Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Lokasinya berada di dalam Komplek RRI yang direncanakan akan menjadi area dibangunnya kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).
Bangunan ini sudah berdiri sejak abad ke-18 dan telah beberapa kali kepemilikannya berpindah tangan. Dari yang awalnya dimiliki oleh Yohana van der Parra, istri Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-29 Petrus Albertus van der Parra, rumah Cimanggis kemudian dimiliki oleh sejumlah orang Eropa hingga kemudian menjadian bagian dari tanah milik Radio Republik Indonesia (RRI).
Seiring berjalannya waktu, kondisi Rumah Cimanggis kian memprihatinkan dikarenakan adanya kerusakan di sana-sini yang muncul setelah bangunan itu mulai dikosongkan pada awal 2000-an. Nuansa kusam terlihat di hampir seluruh sisi bangunan dengan dipenuhi tumbuhan liar. Sejumlah bagian runtuh dimakan usia, sedangkan beberapa bagian rumah ada yang dicuri.
Rumah Cimanggis mendapat sorotan dari banyak pihak ketika di lahan RRI dipastikan akan dibangun Universitas Islam Internasional Indonesia. Banyak pihak khawatir pembangunan komplek universitas akan mengorbankan bangunan bersejarah ini meski pada ahirnya Rumah Cimanggis dipastikan tidak akan dirobohkan.
Sejarah
Rumah Cimanggis diperkirakan dibangun sekitar tahun 1771-1775 dan dulunya menjadi tempat tinggal Yohana Van Der Parra, istri kedua Gubernur Jenderal VOC, Petrus Albertus Van Der Parra. Oleh Petrus Albertus Van Der Parra, rumah itu diberikan kepada istrinya sebagai hadiah untuk dijadikan tempat peristirahatan. Yohana kemudian menempati rumah itu hingga wafat.[1]
Gambaran mengenai Rumah Cimanggis didokumentasikan oleh penulis buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta, Adolf Heuken SJ. Menurut keterangan Adolf Heuken, Rumah Cimanggis memiliki atap tinggi dengan halaman yang luas dengan arsitektur yang memadukan gaya dari berbagai negara, di antaranya gaya Inggris dan Prancis. Cimanggis sendiri dipilih sebagai lokasi bangunan karena pada masa lalu Batavia pernah berada dalam keadaan tidak sehat menyusul merebaknya penyakit malaria yang merenggut banyak nyawa. Para pejabat Belanda memilih mendirikan rumah peristirahatan di pinggiran Batavia yang lingkungannya dianggap lebih sehat.[2]
Dibangunnya rumah Van der Parra di Cimanggis turut menggerakan roda perekonomian di daerah sekitarnya. Tidak lama setelahnya, berdiri Pasar Cimanggis sebagai sentra ekonomi masyarakat setempat. Hingga saat ini, Pasar Cimanggis masih ada dan dikenal dengan nama Pasar Pal.
Pasar Pal saat itu bukan hanya sekadar tempat berlangsungnya aktifitas jual-beli, melainkan tempat beristirahat bagi para pengembara yang sedang dalam perjalanan. Biasanya para pengembara yang melalui rute Jakarta-Bogor akan berhenti sejenak untuk mengistirahatkan kuda.[3] Yohana dan Petrus Albertus kemudian wafat. Pasca wafatnya Yohana, kepemilikan rumah berpindah tangan kepada seorang pengusaha bernama David Smith. Setelah David Smith bangkrut, kepemilikan Rumah Cimanggis sempat menjadi tidak jelas. Siapa yang berhak atas Rumah Cimanggis baru diketahui kembali pada 1953 dengan Samuel de Meyer tercatat sebagai pemiliknya. Sebelumnya, tentara Belanda sempat menempati rumah tersebut sebagai markas selama berlangsungnya agresi militer pertama.
Memasuki era orde baru, di sekitar Rumah Cimanggis didirikan tiga pemancar RRI pada 1964. Adanya pemancar RRI membuat fungsi Rumah Cimanggis ikut berubah. Pada 1978, Rumah Cimanggis dijadikan rumah dinas bagi karyawan RRI di mana rumah dibagi menjadi 13 bagian dan setiap bagiannya ditempati satu kepala keluarga.[4] Awal 2000-an, Rumah Cimanggis akhirnya dikosongkan. Sejak saat itu kondisi bangunan mulai tidak terawat dan secara perlahan mengalami kerusakan. Perhatian besar terhadap Rumah Cimanggis baru kembali muncul saat di komplek RRI tempat berdirinya bangunan ini direncanakan akan dibangun UIII.
Pembangunan UIII yang dikhawatirkan akan melenyapkan Rumah Cimanggis mendorong masyarakat dan aktifis untuk bergerak menyerukan penyelamatan bangunan tersebut mengingat nilai sejarah yang ada di dalamnya. Seruan itu utamanya ditujukan kepada Kementerian Agama selaku pemilik lahan serta Pemerintah Kota Depok.
Keinginan publik untuk menyelamatkan Rumah Cimanggis ditanggapi positif. Ketua Harian Komite Pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Komarudin Hidayat memastikan Rumah Cimanggis tidak akan dirobohkan saat UIII dibangun. Ia bahkan menyebut akan dilakukan restorasi bangunan yang bisa dimanfaatkan untuk menambah daya tarik kampus.[5] Sementara itu, Pemkot Depok menetapkan Rumah Cimanggis sebagai bangunan yang dilindungi. Ketetapan ini tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 593/289/Kpts/Disporyata/Huk/2018 pada 24 September 2018 yang dikeluarkan oleh Wali Kota Mohammad Idris.[6]
- ^ https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180122210003-20-270822/rumah-cimanggis-sejarah-depok-dan-jejak-voc
- ^ https://www.bbc.com/indonesia/majalah-42690631
- ^ https://kumparan.com/@kumparannews/kisah-rumah-cimanggis-ditinggali-jenderal-voc-hingga-gelandangan-1539082253100984257
- ^ https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180122210003-20-270822/rumah-cimanggis-sejarah-depok-dan-jejak-voc
- ^ https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-4248845/kampus-uiii-dibangun-rumah-cimanggis-tidak-akan-dibongkar
- ^ https://megapolitan.kompas.com/read/2018/10/01/21551871/rumah-cimanggis-ditetapkan-jadi-cagar-budaya