Lompat ke isi

Tudang Sipulung

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tudang sipulung adalah salah satu tradisi suku Bugis di Provinsi Sulawesi Selatan, merupakan suatu usaha duduk bersama membicarakan dan merundingkan (rapat), dalam memecahkan suatu masalah untuk mencapai suatu hasil kesepakatan melalui budaya musyawarah.

Istilah

Istilah tudang dalam Bahasa Bugis berarti duduk, sedangkan sipulung berarti berkumpul. Dengan demikian secara etimilogi tudang sipulung berarti duduk berkumpul kemudian diartikan sebagai musyawarah. Secara harfiah hal ini berarti berkumpul dengan maksud memusyawarahkan hal-hal yang dianggap penting oleh masyarakat setempat.[1] Tudang sipulung juga bisa diartikan sebagai wadah yang memediasi antara kepentingan masyarakat dengan pemerintah (penguasa). Tradisi tudang sipulung telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat Bugis Makassar, sebagai ruang bersama untuk bermusyawarah dan bermufakat dalam rangka mencari solusi atas persoalan yang tengah dihadapi masyarakat.

Sejarah

Pelaksanaan upacara tudang sipulung Sudah dikenal sejak abad ke XV Masehi di suku Bugis yang tersebar di Provinsi Sulawesi Selatan. Upacara ini diperkenalkan oleh cendekiawan La Pagala atau lebih dikenal dengan nama Nenek Mallomo seperti termuat dalam Lontara.[2][3] Para tetua duduk dan berkumpul bersama untuk membicarakan suatu masalah dan mencari solusinya khususnya permasalahan kehidupan masyarakat yang dilandasi pada pemahaman bahwa hidup bermasyarakat memiliki aturan yang bermasyarakat pula. Artinya, segala sesuatu, baik pemecahan masalah maupun pengambilan suatu keputusan harus dikerjakan dengan cara berembuk atau bermusyawarah sehingga tidak ada satu pihak yang dirugikan dan diselesaikan dengan tudang sipulung, budaya bermajelis.Hasil keputusan melalui tudang sipulung tidak dapat diganggu gugat.[4]

Di bidang pertanian, tudang sipulung dilakukan pada setiap musim tanam, mulanya dipelopori oleh tokoh-tokoh tani dan tokoh adat seperti Pallontara, yaitu orang-orang yang membaca dan mendalami masalah kuno orang Bugis. Papananrang, yaitu orang-orang yang ahli perbintangan tradisional yang melakukan musyawarah dengan maksud agar timbul kesepakatan bersama dalam mengolah, memelihara, dan memetik hasil pertanian. Hasil kesepakatan tersebut bersifat mengikat, sehingga siapa pun yang melanggar dikenakan sanksi makcerak, yaitu memotong hewan piaraan sepeti ayam, kambing, sapi atau kerbau.[5]

Prosesi

Tudang sipulung mempertemukan antara pemerintah dan masyarakat, komunikasi yang terjadi yaitu komunikasi vertikal, komunikasi dari atasan kepada bawahan dan sebaliknya komunikasi dari bawahan kepada atasan. Pelaksanaannya dapat bersifat resmi maupun tidak resmi. Mulai dari tingkat paling kecil dalam keluarga, antar keluarga, dalam kampung, antar kampung, dalam kerajaan hingga antara kerajaan.[6] Tudang sipulung yang sifatnya tidak resmi biasanya dilakukan dalam lingkungan keluarga atau antar keluarga membicarakan persoalan-persoalan keluarga, seperti perkawinan, lamaran dan sebagainya. Sedangkan hal yang menyangkut persoalan masyarakat atau keputusan penting dalam suatu kampung atau kerajaan, biasanya dilaksanakan secara resmi, yang dipimpin oleh seorang matoa (yang dituakan menurut adat) sebagai pemimpin kampungwanua atau raja yang juga di sebut tudang wanua (duduk bersama dalam suatu kampung) yang dihadiri oleh seluruh masyarakat dan para penghulu-penghulu adat pakketenni ade’.[7]

Proses musyawarah untuk mencapai mufakat berlangsung secara demokratis. Pimpinan tudang sipulung yakni arung matoa (ketua adat) berkewajiban meminta pendapat kepada peserta tudang sipulung. Komunikasi yang terlihat pada tudang sipulung ini adalah interaksi baik secara verbal ataupun non verbal antara pemerintah dan masyarakat dengan suasana keakraban dan penuh kekeluargaan. [8] melalui Tudang sipulung komunikasi kelompok dapat berbagi informasi, pengalaman, pengetahuan dengan anggota kelompok, dan bidang-bidang lainnya seperti peternakan, perkebunan, pengairan, dan sebagainya.

Warisan budaya tak benda

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Tudang sipulung Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-perayaan sebagai warisan budaya tak benda Indonesia tahun 2016, di tandai dengan penyerahan sertifikat penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia[9]

Referensi

  1. ^ Dollah, B., Bikuwata, (1994), Tudang Sipulung, sebagai Arena Komunikasi Top-Down dan Bottom-Up. Jurnal Penelitian dan Komunikasi Pembangunan No. 34, Badan Litbang Penerangan Departemen Penerangan RI
  2. ^ Dollah, B Tudang Sipulung sebagai Komunikasi Kelompok dalam Berbagi Informasi jurnal Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BBPPKI) Makassar
  3. ^ Said, Mashadi. 2007. Kearifan Lokal dalam Sastra Bugis Klasik. Jakarta: Fakultas Sastra, Universitas Gunadarma
  4. ^ Mattulada. H.A. 1998. Sejarah, Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar: Hasanuddin University Press.
  5. ^ Dollah, B. Tudang Sipulung sebagai Komunikasi Kelompok dalam Berbagi Informasi. jurnal Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BBPPKI) Makassar
  6. ^ https://makassar.terkini.id/tudang-sipulung-prinsip-berdemokrasi-suku-bugis-makassar/
  7. ^ https://ruslanabdullah61.wordpress.com/2014/10/30/tudang-sipulung-tradisi-budaya-musyawarah-masyarakat-bugis/
  8. ^ Atrianingsi.A Revitalisasi tudang sipulung sebagai media komunikasi vertikal antara masyarakat dan pemerintah di Kabupaten Bone, Jurnal Politik Profetik, Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Indonesia Timur
  9. ^ https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/malam-puncak-penyerahan-sertifikat-penetapan-warisan-budaya-tak-benda/