Lompat ke isi

Suku Da'a

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

suku Da’a merupakan suku nomaden yang mendiami Sulawesi Tengah dan perbatasan Sulawesi Barat. Mereka bermukim di kawasan hutan dan pegunungan, terutama di gunung Gawalise. Suku ini merupakan salah satu dari kelompok sub-suku Kaili. Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Kaili [1]dengan dialeg Da’a. [2]

Asal usul

Masyarakat suku Da’a diidentifikasi memiliki ciri fisik dan kebudayaan non-Austronesia. Hal ini dengan kuat mengindikasikan bahwa Sulawesi telah dihuni manusia modern jauh sebelum kedatangan penutur Austronesia ke pulau itu sekitar 5.000 tahun lalu. Jika dilihat dari bentuk wajah, sebagian masyarakat suku Da’a menyerupai orang Papua, yang termasuk kelompok awal migrasi dari benua Afrika. Mereka tiba di Nusantara sekitar 50.000 tahun silam. Kemungkinan besar, masyarakat Da’a ini memang kelompok Austro-Melanesoid dengan ciri pygmy (berbadan pendek), rambut keriting, dan kulit cenderung gelap.[3][4][5]

Kehidupan

Masyarakat Da’a umumnya tinggal di dataran tinggi wilayah Kabupaten Sigi dan Donggala, Sulawesi Tengah, juga di Bambaira, Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat. Awalnya, suku Da’a hidup secara nomaden dengan berburu dan meramu. Mereka ahli menggunakan sumpit, seperti suku Dayak di Kalimantan. Makanan utama mereka sagu dan ubi jalar. Namun, sebagian masyarakat Da’a telah dipindahkan oleh dinas sosial di dataran rendah sejak 1970-an. Sejak itu, mereka mulai berkebun[6]

Makanan pokok masyarakat Da’a adalah padi ladang, yang ditanam di ladang yang dibuka di hutan lereng-lereng pegunungan. Mereka menyebut padi dengan sebutan nyi’i, sedangkan beras disebut ose, yang di dalam komunitas Kaili padi disebut pae. Siklus tanam padi ladang adalah satu tahun satu kali panen. Pada saat menunggu panen padi, jika masyarakat Da’a kekurangan makanan, mereka juga mencari sagu, kasubi (ubi kayu),toku (ubi jalar), talas, dan loka (pisang). Biasanya sagu didapat dari lembah-lembah sungai yang lembab, sedangkan ubi kayu, ubi jalar, dan talas ditanam di sekitar ladang padi. Pada saat panen padi, mereka mengadakan upacara syukuran yang disebut dengan istilah vunja. Mereka memanen padi dengan menggunakan alat ketam (ani-ani). Setelah itu padi diikat dan dijemur dalam pada para-para yang terbuat dari bambu. Masyarakat Da’a beternak manu (ayam), vavu (babi) untuk dikonsumsi, dan memelihara asu (anjing) untuk berburu. Berbeda dengan komunitas Kaili pada umumnya, mereka tidak mengenal ternak kerbau. Dalam masyarakat Da’a binatang yang paling berharga adalah babi, yang digunakan untuk mas kawin dalam upacara perkawinan. Masyarakat Da’a juga melakukan perburuan di hutan, khususnya berburu anoa, babi hutan, dan burung.[7][8]

Budaya

Segi kebudayaan, suku Da’a berbeda dari kebudayaan Austronesia, yang tidak mengenal domestikasi kerbau sebagaimana suku Toraja yang berdekatan. Mereka juga takut air dan laut, dan sama sekali tidak mengenal budaya membuat perahu. Sangat berbeda dengan kebudayaan Austronesia yang memiliki keahlian melaut. Namun, sekalipun memiliki ciri budaya non-Austronesia, masyarakat Da’a yang berbahasa Kaili dikelompokkan dalam penutur Austronesia Barat (Western Malayo-Polynesian) atau serumpun dengan masyarakat Dayak di Kalimantan.[9][10]

Rumah asli etnik Da’a pada saat ini adalah rumah panggung tinggi yang disebut sou langa (rumah tinggi). Rumah panggung ini dibangun di atas tiang-tiang bambu yang tingginya sekitar 4-15 m di atas permukaan tanah. Dahulu rumah mereka dibangun di atas sebuah pohon (rumah pohon) kayu keras yang batang utamanya lurus dengan banyak cabang yang mendatar, seperti pohon ketapang yang memiliki ketinggian 7-20m. Lantainya terbuat dari anyaman bambu, dindingnya terbuat dari papan, sedankan atapnya terbuat dari anyaman daun kelapa. Kadang-kadang di sekitar tangga masuk terdapat sebuah teras kecil. Rumah biasanya dibagi dua, bagian depan berfungsi sebagai ruang untuk menerima tamu dan ruang tidur orang tua, sedangkan rumah bagian belakang biasanya berfungsi sebagai dapur dan ruang tidur anak-anak. Untuk membangun atau menyelesaikan rumah tinggi tersebut, biasanya membutuhkan waktu sekitar tujuh hari, yang dapat dilakukan oleh satu orang saja.[11][12]

Pakaian masyarakat etnik Da’a dahulu terbuat dari kulit kayu yang diambil dari pohon yang berwarna putih atau disebut malo. Kulit kayu yang akan dibuat bahan pakaian dipukul dengan batu pukul yang disebut batu ike. Pemukul kulit kayu terbuat dari batu lempung yang dibakar dan diambil dari lokasi khusus (singkapan batuan) di daerah pegunungan. Berbeda dengan komunitas Kaili lainnya, masyarakat Da’a tidak mengenal tradisi tenun dan manik-manik.[13]

Kepercayaan

Dahulu suku Da’a bergama animisme yang mempercai adanya roh-roh. prosesi penguburan anggota keluarganya yang meninggal dilakukan di dalam hutan. Mayat dikuburkan dalam peti kayu lengkap dengan pakaiannya. Karena sifat huniannya yang tidak-permanen, maka tidak ada bekas pemakaman masyarakat Da’a dari zaman kuno. Dalam tradisi mereka, apabila ada warganya yang meninggal dunia, mereka akan pindah dari kampung tersebut agar terhindar dari gangguan roh orang yang meninggal itu[14]

Suku Da’a mulai dimukimkan oleh Dinas Sosial di daerah dataran sekitar tahun 1986, dan pada tahun itu pula mereka mulai menganut agama. suku Da'a yang berada di sulawesi barat mayoritas beragama Kristen dan mayoritas yang berada di Sulawesi tengah beragama Islam [15]

  1. ^ [[1]]
  2. ^ https://www.liputan6.com/news/read/73219/suku-daa-antara-tradisi-dan-modernisasi
  3. ^ Anggraeni. 2012. “The Austronesian Migration Hypothesis as Seen from Prehistoric Settlements on the Karama River, Mamuju, West Sulawesi.” Tesis. Canberra: The Australian National University.
  4. ^ Kompas, Senin, 29 Agustus 2016
  5. ^ Simanjuntak, Truman. 2008. “Austronesian in Sulawesi: Its Origin, Diaspora, and Living Tradition.” In Austronesian in Sulawesi, edited by Truman Simanjuntak, 215– 51. Jakarta: Center for Prehistoric and Austronesian Studies.
  6. ^ 2011. “Kehidupan Manusia Modern Awal di Indonesia: Sebuah Sintesa Awal.” Amerta, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi 29 (2): 1–12
  7. ^ 2011. “Kehidupan Manusia Modern Awal di Indonesia: Sebuah Sintesa Awal.” Amerta, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi 29 (2): 1–12
  8. ^ Yuniawati, Dwi Yani, et.al. 2012. “Kajian Pluralisme Budaya Austronesia dan Melanesia Nusantara: Peradaban Penutur Austronesia di Kawasan Lembah Bada, Sulawesi Tengah.” Laporan Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Arkeologi Nasional
  9. ^ Tanudirjo, Daud Aris. tt 2012. “Kedatangan Penutur dan Budaya Austronesia.” In Indonesia dalam Arus Sejarah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
  10. ^ https://www.liputan6.com/news/read/73219/suku-daa-antara-tradisi-dan-modernisasi
  11. ^ Gunawan Tjahjono, Indonesian Heritage: Arsitektur, Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002.
  12. ^ Yuniawati, Dwi Yani, et.al. 2012. “Kajian Pluralisme Budaya Austronesia dan Melanesia Nusantara: Peradaban Penutur Austronesia di Kawasan Lembah Bada, Sulawesi Tengah.” Laporan Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Arkeologi Nasional
  13. ^ Tanudirjo, Daud Aris. tt. Teori dan Metode Penelitian Arkeologi. Yogyakarta: Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
  14. ^ Simanjuntak, Truman, et al. 2008. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Badan Pengembangan Sumberdaya Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.
  15. ^ Umar,Dwi Yani Yuniawati 2016.Keterkaitan Etnik Da'a Di Wilayah Pedalaman Pegunungan Gawalise, Sulawesi Bagian Tengah, Dengan Populasi Australomelanesid Di Sulawesi,Balai Arkeologi Yogyakarta, Jl. Gedongkuning No. 174 Yogyakart