Lompat ke isi

Tembawang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tembawang (dalam daerah bekas perladangan disebut gupung)[1] merupakan suatu bentuk pengelolaan lahan dengan sistem wanatani asli dari masyarakat Suku Dayak dari pedalaman Kalimantan Barat yang dimiliki oleh komunitas adat. Tembawang biasa dibentuk setelah perladangan berpidah di mana sebelum lahan itu ditinggal biasanya ia ditanami pohon buah, penghasil kayu, getah, ataupun rempah-rempah sebagai tanaman obat. Selain ditanam, ada pula tembawang yang tumbuh sendiri secara alami. Selain pada kawasan-kawasan di atas selain perkebunan, dan pekarangan-pekarangan, ia dapat tumbuh pada bekas rumah panjang yang semula dihuni masyarakat adat Dayak.

Menurut direktur Institut Dayakologi Krissusandi Gunui', setiap sub-suku Dayak memiliki nama masing-masing buat tembawang. Di Kabupaten Ketapang, ada yang menamainya dengan sebutan dohas (Dayak Pesaguan, Kayong, dan Gerunggang) serta dahas (Dayak Jalai).[2] Di tempat-tempat lain, tembawang juga memiliki nama kobunt, temawakng, kobun kelokak, juga kampung temawakng.[3]

Pengelolaan

Pada dasarnya, tembawang merupakan satu jenis daripada hutan adat yang tergolong sebagai wanatani kompleks yang dahulunya secara historis pernah dijadikan sebagai kawasan berladang dan pemukiman penduduk,[2] dengan unsur segolongan besar pepohonan, perdu, tanaman musiman, dan/atau rumput. Karena itulah, bisa disimpulkan bekas pemukiman yang ditinggalkan jadi hutan itu akhirnya malah kemudian ditumbuhi tanaman sembarang (biasanya pohon buah, bahan kerajinan, penghasil madu, dan lain-lain) serupa tengkawang, durian, cempedak, dan sebagainya akibat bijinya yang tidak sengaja tumbuh ataupun memang sengaja disebar.[4][5] Meskipun tembawang memang tumbuh dan terbentuk sendirinya, namun ada pula yang dari semula —mengikuti pola pemukiman dan perladangan masyarakat Dayak yang berpindah— menanami lokasi pemukiman itu dengan berbagai jenis tanaman yang dianggap sebagai sumber pangan, bumbu, dan buah-buahan. Ada pula tumbuhan yang muncul alami, seperti nyatoh (Palaquium sp.), tumbuhan liana/merambat, herba, bahkan sampai ke jenis-jenis anggrek.[6]

Tembawang dikelola mengikuti kearifan lokal setempat berikut aturan-aturan sosial setempat yang karenanya, dapat terbentuk keanekaragaman yang menyerupai ekosistem hutan alami.[6] Ia dapat dikelola dalam jumlah orang yang banyak. Ada tembawang umum yang biasanya dikelola oleh penduduk satu desa/lebih,[1] dan ada pula tembawang yang memang khusus dipelihara secara turun temurun diwariskan yang disebut pula dengan nama gupung. Ada pula gupung yang memang, dijadikan sebagai tempat keramat bagi masyarakat lokal dan suatu kebanggaan oleh garis keturunan tertentu.[1] Tembawang sendiri dapat dibagi jadi 4 golongan lagi, yakni tembawang umum seperti di atas, dikelola 1 desa ataupun lebih. Kemudian tembawang waris tua yang dikelola oleh 3-6 kelompok seketurunan. Lalu tembawang waris muda 1-2 generasi yang dimanfaatkan oleh keluarga besar, dan tembawang pribadi yang dimiliki perseorangan.[6]

Pengelolaannya yang dilakukan setiap perkerabatan akan dikenang sebagai anak cucu kerabat pemiliknya meskipun sudah pergi berpencar.[7] Dari sini, dapat diketahui silsilah keluarga turun-temurun, dan di saat musim buah, keluarga dapat akan kumpul bareng untuk makan buah bersama. Karenanya, ia berperan menyatukan keluarga.[2] Manakala ada yang menjual tembawang secara diam-diam, umpamanya pada korporasi sampai beralih fungsi jadi perkebunan, maka retaklah hubungan antar keluarga.[2]

Setiap generasi yang mewarisi tembawang akan menanaminya dengan tanaman baru. Terlebih ketika musim buah, biji buah-buahan akan ditabur di berbagai sudut hutan sehingga tanaman baru akan bermunculan.[2] Selain itu, bisa dikatakan pengelolaan tembawang sangat minimal. Ia tidak membutuhkan tenaga kerja dan modal yang besar. Begitu pula, tak diperlukan pembersihan gulma, pemupukan, apalagi pemberantasan hama penyakit.[6]

Peranan adat

Ada adat-adat yang berlaku dalam pengelolaan tembawang: di Sungai Mawang, sebuah desa di Kabupaten Kapuas Hulu misalnya, memakai peranan Patih, Kepala Dusun sebagai pelaksana hukum adat. Sanksi dan denda dilaksanakan oleh petinggi adat, perangkat desa dan penegak hukum.[8]

Di Desa Tae, Kabupaten Sanggau, ada satu ritual syukuran yang dinamai mpaya, yang dilaksanakan tiap tiba musim buah.[2] Desa yang juga diasuh oleh sistem ketemanggungan juga mengadakan satu upacara ritual adat dinamai nyamut muai. Tujuannya, agar para tamu yang berkunjung beroleh selamat dan dilindungi Yang Maha Kuasa.[9]

Di tempat lain, yakni di hutan adat Tembawang Tampun Juah yang terletak di Desa Lubuk Sabuk, daerah Sanggau juga, ada satu upacara penyambutan yang dinamai rukut atau bupoyo. Hutan ini merupakan tempat bagi dua ketemanggungan dari Suku Dayak Sisakng dan Suku Dayak Iban.[10]

Kekayaan dan potensi

Tantangan, ancaman dan perlindungan

Referensi

  1. ^ a b c FORDA (2011), hlm.1 – 2
  2. ^ a b c d e f Saputra (2019), hlm.15
  3. ^ Pahlevy (2015), "Nasib Pilu Tembawang"
  4. ^ Aini (Januari 2017), hlm.42
  5. ^ Aini, Santoso, & Soekmadi (2016), hlm.99
  6. ^ a b c d Soeharto (2010), hlm.10
  7. ^ Damarjati & Yustiana (2017), "Resep Hidup Damai"
  8. ^ Aini, Santoso, & Soekmadi (2016), hlm.104
  9. ^ Akbary (2016), "Terbelenggu Kawasan"
  10. ^ Pahlevi (2019), "Tembawang Tampun Juah"

Bahan bacaan