Lompat ke isi

Tsunami

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 14 Januari 2005 08.58 oleh Meursault2004 (bicara | kontrib) (Reverted back)
Berkas:800px-Hokusai-fujibig.png
Gambar Tsunami menurut Hokusai, seorang pelukis Jepang dari abad ke 19.

Tsunami (dalam bahasa Jepang: 津波 yang secara harafiah berarti "ombak besar (nami) di pelabuhan (tsu)"), adalah sebuah ombak yang terjadi setelah sebuah gempa bumi, gempa laut, gunung berapi meletus, atau hantaman meteor di laut. Tenaga setiap tsunami adalah tetap, fungsi ketinggiannya dan kelajuannya. Dengan itu, apabila gelombang menghampiri pantai, ketinggiannya meningkat sementara kelajuannya menurun. Gelombang tersebut bergerak pada kelajuan tinggi, hampir tidak disadari apabila melintasi air dalam, tetapi meningkat kepada ketinggian 30 meter atau lebih. Tsunami bisa menyebabkan kerusakan erosi pada kawasan pesisir pantai dan kepulauan.

Kebanyakan kota di sekitar samudra Pasifik, terutama di Jepang tetapi juga di Hawaii, mempunyai sistem peringatan dan prosedur pengungsian sekiranya tsunami yang serius berlaku. Tsunami akan dijangka dengan berbagai lembaga seismologi di seluruh dunia dan perkembangannya dipantau melalui satelit.

Bukti menunjukkan tidak mustahil berlakunya megatsunami, yang akan menyebabkan sebagian besar pulau tenggelam ke dalam laut.

Penyebab terjadinya tsunami

Berkas:Skema tsunami.gif
Skema terjadinya tsunami

Tsunami dapat terjadi jika terjadi gangguan yang menyebabkan perpindahan sejumlah besar air, seperti letusan gunung api, gempa bumi, longsor maupun meteor yang jatuh ke bumi. Namun, yang umum diketahui karena rekaman lengkap sains yg sudah dimiliki adalah tsunami akibat gempa bumi bawah laut. Dalam rekaman sejarah banyak tsunami yg diakibatkan oleh gunung meletus, misalnya ketika meletusnya Gunung Krakatau.

Gerakan vertikal pada kerak bumi, dapat mengakibatkan dasar laut naik atau turun secara tiba-tiba, yang mengakibatkan gangguan kesetimbangan air yang berada di atasnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya aliran energi air laut, yang ketika sampai di pantai menjadi gelombang besar yang mengakibatkan terjadinya tsunami.

Gerakan vertikal ini dapat terjadi pada patahan bumi. Lempeng samudera yang lebih rapat menelusup ke bawah lempeng benua dalam suatu proses yang disebut subduksi, dan gempa bumi subduksi sangat efektif menghasilkan tsunami.

Tanah longsor yang terjadi di dasar laut serta runtuhan gunung api juga dapat mengakibatkan gangguan air laut yang dapat menghasilkan tsunami. Demikian pula halnya dengan benda kosmis atau meteor yang jatuh dari atas. Jika ukuran meteor atau longsor ini cukup besar, dapat terjadi megatsunami yang tingginya mencapai ratusan meter.

Sistem Peringatan Dini

Banyak kota-kota di sekitar Pasifik, terutama di Jepang dan juga Hawai, mempunyai sistem peringatan dan prosedur evakuasi untuk menangani kejadian tsunami. Bencana tsunami dapat diprediksi oleh berbagai institusi seismologi di berbagai penjuru dunia dan proses terjadinya tsunami dapat dimonitor melalui satelit.

Perekam tekanan dasar yang menggunakan buoy sebagai alat komunikasinya, dapat digunakan untuk mendeteksi gelombang yang tidak dapat dilihat oleh pengamat manusia pada laut dalam. Sistem sederhana yang pertama kali digunakan untuk memberikan peringatan awal akan terjadinya tsunami pernah dicoba di Hawai pada tahun 1920-an. Kemudian, sistem yang lebih canggih dikembangkan lagi setelah terjadinya tsunami besar pada tanggal 1 April 1946 dan 23 Mei 1960. Amerika serikat membuat Pasific Tsunami Warning Center pada tahun 1949, dan menghubungkannya ke jaringan data dan peringatan internasional pada tahun 1965.

Salah satu sistem untuk menyediakan peringatan dini tsunami, CREST Project, dipasang di pantai Barat Amerika Serikat, Alaska, dan Hawai oleh USGS, NOAA, dan Pacific Northwest Seismograph Network, serta oleh tiga jaringan seismik universitas.

Hingga kini, sistem prediksi tsunami masih merupakan ilmu yang tidak sempurna, dalam arti belum dapat sepenuhnya mendeteksi kejadian tsunami. Meskipun episenter dari sebuah gempa bawah laut dan kemungkinan kejadian tsunami dapat cepat dihitung, namun bagaimana mengetahui seberapa besar perpindahan massa air yang terjadi, masih tidak mungkin dapat dihitung. Sehingga, sering terjadi peringatan palsu.

Tsunami dalam sejarah

Pranala Luar