Lompat ke isi

Arjuna Wisada Yoga

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Arjuna Wisada Yoga adalah sebuah bab dalam kitab Bhagawadgita. Bab ini menceritakan keragu-raguan dalam diri Arjuna, setelah ia menyaksikan saudara, guru, sahabat dan kerabatnya yang siap untuk bertempur di Kurukshetra. Ia menyadari dampak peperangan yang akan terjadi, dan dianggap bertentangan dengan ajaran Dharma. Bab ini juga menggambaran situasi dan kondisi yang berlangsung menjelang perang di Kurukshetra, perang saudara terbesar dalam sejarah umat manusia.

Pertentangan ajaran dharma yang terjadi dalam diri Arjuna, antara lain adalah:

  • Ahimsa
  • larangan membunuh guru sebagai dosa besar (mahāpataka)
  • ajaran Wairagya, sebagai sistem pencapaian tujuan moksa
  • kemerosotan moral dan musnahnya tradisi leluhur, sebagai ekses terjadinya peperangan
  • kekacauan dalam sistem warnasrama-dharma termasuk persepsi timbulnya kekacauan dalam jatidharma dan dharma

Atas pemikiran bahwa peperangan itu bertentangan dengan dharma, Arjuna mengharapkan bimbingan dari Kresna untuk keluar dari kebingunggan ini.

Uraian dalam Bhagawad Gita

Arjuna Dalam Keragu-raguan dan Kehilangan Harapan

Di tanah lapang kebenaran, di tanah lapang dari kerajaan Kuru, sewaktu putra – putra-Ku berkumpul bersama – sama dengan putra – putra Pandu dengan keinginan berperang, apa yang telah diperbuatnya, O Sanjaya?

Ada dua pasukan

  • Sanjaya berkata :

Jadi setelah Duryodhana menyaksikan tentara daripada Pandawa yang telah teratur dan siap sedia untuk berperang, beliau lalu segera mendekati gurunya yaitu Drona, dan berkata sebagai berikut :

"Saksikanlah, O Guru, kekuatan tentara dari putra – putra Pandu yang telah siap sedia diatur oleh Dhrestadyumna, sisya Paduka yang bijaksana, yaitu putra dari Drupada. Turut serta pula para pahlawan yang keahliannya, kebesarannya dalam hal panah – memanah sama dengan Bhima dan Arjuna di dalam peperangan sebagai Satyaki, Wirata dan Drupada pahlawan kereta yang besar. Dhrishtaketu, Cekitanah dan raja dari Kasi yang wiryawan, gagah perkasa, juga prajurit, Kuntiboja dan Saibya adalah orang – orang yang terkemuka. Yudamanyu, yang kuat dan Uttamauja yang wirawan dan juga putra dari Subadra dan putra – putra dari Drupadi semuanya adalah pahlawan – pahlawan kereta yang besar. Ketahui juga, O Dwijati utama, pemimpin – pemimpin dari tentaraku yang paling terkemuka diantara kita. Aku ingin menyebutkan namanya sekarang untuk diketahui. Paduka sendiri, Bhisma, Karna dan Kripa, yang selalu unggul didalam peperangan, Aswatama, Wikarna dan juga putra dari Somadhata. Dan banyak pahlawan lainnya yang menyerahkan jiwanya untuk kepentinganku. Mereka dipersenjatai dengan bermacam–macam senjata dan semuanya mahir dalam peperangan. Inilah tentara kita yang dibela oleh Bhisma dan tak terbilang jumlahnya, sedangkan tentara mereka yang dibela oleh Bhima adalah terbatas jumlahnya. Oleh karena itu semua hendaknya membantu Bhisma, berdiri teguh pada semua bagian depan dalam kedudukannya masing – masing."


Peniupan Sankhakala

Untuk menggembirakan Duryodhana, maka Bhisma yang kuat dan yang tertua diantara para Kuru lalu berteriak dengan keras bagai singa dan meniup sankhakala. Dan dengan mengikuti Bhisma lalu segera terompet dan tambur dan serompet dari tanduk lembu, berbunyi tiada putus – putusnya, gemuruhlah suaranya. Dan sesudah berada di dalam kereta yang besar, yang ditarik oleh kuda putih, Madhawa dan Pandawa (Krishna dan Arjuna) lalu meniup terompetnya yang terkeramat. Krishna meniup Pancajanya, Arjuna (Dhananjaya), Dewadatta dan Bhima (Wrikodara) yang dengan hati yang keras sankhakala yang luar biasa itu dengan nama Paundra. Semua kejadian ini menyatakan bahwa mereka sudah siap sedia untuk bertempur. Raja Yudhistira, putra dari Kunti, meniup terompetnya yang bernama Anantawijaya dan Nakula dan Sahadewa juga meniup terompetnya dengan nama Soghosa dan Manipushpaka. Dan raja dari Kasi yang ahli dalam panah – memanah, Srikandi prawira yang besar, Dhrestadyumna dan Wirata dan Satyaki yang tak dapat ditaklukkan. O raja – diraja, Drupada dan putra – putra dari Drupadi dan putra dari Subadra yang bersenjatakan kuat dari segala pihak masing–masing meniup sankhakala. Suara yang guruh – gemuruh itu, yang melalui angkasa dan ini merobek – robek hati dari putra – putra Dhrestarastra.


Arjuna meninjau ke medan

O Maharaja, dengan melihat putra – putra Dhrestarastra yang telah teratur pada tempatnya siap sedia untuk berperang dan penembakan akan dimulai, maka Arjuna dengan Dwaja memakai simbol Hanuman (monyet) mengambil panahnya dan lalu berkata kepada Krishna sebagai berikut :

"O Achyuta, tempatkanlah keretaku diantara kedua tentara itu supaya aku dapat melihat mereka yang berdiri di sini dan mempunyai keinginan untuk berperang di medan perang ini, dengan siapa aku harus mengadu jiwa. Karena aku ingin melihat mereka yang berkumpul di sini, siap untuk berperang dan berhajat, benar untuk mencapai kemenangan di dalam peperangan ini demi cinta mereka pada putra Dhrestarastra yang berpikiran jahat itu."

Jadi dengan ucapan Arjuna ini, Krishna lalu menarik kereta yang terbaik ke antara dua pasukan tentara, O Dhrestarastra. Di hadapan Bhisma, Drona dan semua raja – raja lalu berkata :

“ O Arjuna lihatlah para Kuru berkumpul di sini”.

Di sana Arjuna melihat berdiri pada kedua belah pihak, nenek – nenek, mertua – mertua dan paman – paman, kakak – kakak, dan saudara sepupu, kepunyaannya sendiri anak – anak dan cucu – cucu, teman – teman, guru – guru dan juga teman – teman yang lainnya. Jadi setelah melihat semua kaum keluarga berdiri teratur, Arjuna lalu berbicara dengan berduka – cita, diliputi dengan penuh rasa belas kasihan. Ia diliputi oleh rasa maha kasih dan menyatakan ini dalam kesedihan.

Duka cita Arjuna :

“O Krishna, setelah aku melihat kaum keluargaku hadir di sini, ingin berperang anggota badanku tidak berdaya lagi dan mulut menjadi kering dan rambut tak bergerak lagi. Panah Gandiwa tergelincir dari tanganku dan kulit terbakar. Juga aku tak dapat berdiri tegak dan pikiranku goncang. Aku melihat ciri – ciri yang tidak baik. O Krishna, pun juga aku tak melihat adanya suatu kebaikan dengan membunuh orang – orangku di dalam peperangan. Aku tak mengingini kemenangan, kerajaan dan kesukaan. Apakah gunanya kerajaan itu bagi kita, O Krishna dan apakah pula gunanya kesenangan dan hidup ini?. Untuk kepentingan mereka kita mengingini kerajaan, kenikmatan dan kepuasan, kini semua mereka itu pada berdiri di sini di dalam medan perang, mempertaruhkan jiwa dan kekayaannya. Guru – guru, bapak – bapak, putra – putra, dan juga nenek – nenek, laki – laki, paman – paman dan mertua – mertua, cucu – cucu dan ipar – ipar dan keluarga lainnya. O Krishna, aku tak ingin membunuh mereka, meskipun aku tebunuh olehnya. Meskipun untuk kekuasaan di Tri Loka apalagi hanya untuk kekuasaan di bumi ini saja. Kenikmatan apakah yang akan dilimpahkan atas diri kita setelah membunuh putra – putra Dhrestarastra?. Hanya dosalah balasannya atas diri kita jika membunuh penjahat – penjahat ini. Jadi tidaklah patut kita membunuh putra – putra Dhrestarastra yaitu keluarga kita. Sesungguhnya, O Krishna, bagaimanakah kita dapat bergembira dengan jalan membunuh orang – orang kita? Mereka dengan pikiran diliputi oleh perasaan loba dan tamak tidak melihat kesalahan dalam menghancurkan keluarga dan juga tidak tahu berdosalah jika berduhaka terhadap teman. Tapi kita, O Krishna, yang mengetahui bahwa menghancurkan keluarga itu dosa, apakah sebabnya kita tidak mempunyai kebijaksanaan untuk dapat melepaskan diri dari perbuatan durhaka itu. Keluarga yang di dalam keadaan keruntuhan, Dharmanya menemui ajalnya. Jika Dharma menemui ajalnya seluruh keluarga diliputi perasaan Adharma. Dan jika Adharma meliputi suasana, O Krishna maka para wanita dari kaum keluarga menjadi jatuh moralnya dan bila para wanita moralnya jatuh, O Krishna, maka terjadilah kekacauan alam manusia. Kekacauan alamnya ini, adalah sebenarnya alam neraka bagi keluarga dan juga bagi mereka yang menghancurkannya. Karena jiwa dari leluhur mereka tidak ada yang menghaturi sajen. Ini adalah menunjukkan upacara yang dinamakan Sradha didalam agama Hindu. Yang terpenting didalam upacara ini adalah memberikan sumbangan yang berupa buah pikiran yang berguna kepada keluarga dari yang meninggal dan kepada semua mereka yang telah menduduki Pitra Loka, tempat yang buat sementara waktu, segera sesudah meninggal. Upacara ini disertai dengan sajen yang nyata. Orang – orang yang miskin juga diberi makanan disini yang maksudnya agar mereka dapat memperoleh kebahagiaannya. Dari perbuatan yang salah dari mereka yang merusak keluarga dan mengacaukan keadaan alam manusia, maka lenyaplah jati dharma dan kula dharma yang dari zaman dahulu. O Krishna, kita dapat mendengar, bahwa tinggal di dalam neraka adalah tak dapat disingkirkan bagi mereka yang kula dharmanya telah menemui kehancuran. Aduh, sungguh besar dosa yang kita perbuat dengan mengambil keputusan untuk membunuh keluarga sendiri yang didorong oleh perasaan loba untuk kepuasan kerajaan. Adalah sebetulnya jauh lebih baik jika putra – putra dari Dhrestarastra dengan memegang senjata, membunuh aku dalam peperangan, selama aku tinggal diam yang tanpa senjata dan tanpa perlawanan.

Sanjaya berkata :

“Jadi setelah berbicara di medan perang, Arjuna sambil membuang panah dan busurnya lalu terhenyak di atas tempat duduk kereta dengan pikiran yang susah dan sedih”.