Lompat ke isi

Perang dagang Jepang–Korea Selatan 2019

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 8 Agustus 2019 02.17 oleh Yayan550 (bicara | kontrib) (membuat artikel Perang dagang Jepang dan Korea Selatan)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Perang dagang Jepang-Korea Selatan 2019 adalah konflik perdagangan antara Jepang dan Korea Selatan yang disebabkan oleh keputusan Pemerintah Jepang untuk membatasi beberapa ekspor bahan kimia ke Korea Selatan pada 1 Juli 2019. Hal ini dipicu oleh keputusan Mahkamah Agung yang memerintahkan beberapa perusahaan Jepang untuk membayar ganti rugi terhadap korban tenaga kerja paksa Jepang pada Perang Dunia II.[1]

Latar Belakang

[[Berkas::NO, BOYCOTT JAPAN.png|jmpl|logo "NO, BOYCOTT JAPAN" (TIDAK, BOIKOT JEPANG), menandakan bahwa warga Korea Selatan memboikot barang dan jasa yang berasal dari Jepang, di mana lingkaran merah, mewakili Bendera Jepang, umumnya dikenal sebagai Hinomaru. Kalimat itu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi "Jangan pergi, jangan membeli"]] Jepang dan Korea Selatan adalah dua ekonomi besar dunia, masing-masing peringkat ke-3 dan ke-11, dalam hal PDB. Korea Selatan, produsen chip memori terbesar di dunia, dan Jepang, pemasok terbesar material penting dalam produksi chip, sejauh ini merupakan negara terpenting dalam melahirkan beberapa produk teknologi seperti smartphone, Televisi dan Komputer pribadi. Keduanya merupakan negara tetangga dan negara sekutu utama Amerika Serikat di Asia Timur.

Jepang dan Korea Selatan mulai menjalin hubungan diplomatik mereka pada bulan Desember 1965 setelah penandatanganan perjanjian normalisasi yang terjadi pada bulan Juni di tahun yang sama. Kendati mereka memiliki hubungan yang begitu dekat, hubungan antar kedua negara tersebut sempat memburuk karena banyak perselisihan yang melibatkan mereka, seperti Sengketa Karang Liancourt (sengketa mengenai masalah kepemilikan Dokdo, yang dikenal sebagai Takeshima dalam bahasa Jepang), Penolakan pemerintah Jepang untuk meminta maaf kepada Korea atau membayar ganti rugi Perang Dunia II terhadap korban para wanita penghibur Korea, serta banyak sengketa lainnya yang melibatkan kedua negara. Meskipun kedua negara sepakat untuk menandatangani perjanjian tentang penyelesaian masalah "wanita penghibur" selama Perang Dunia II, yang bersifat final dan tidak dapat dibatalkan pada 28 Desember 2015, pemerintah Moon Jae-in, pada 21 November 2018, membatalkan perjanjian tersebut secara sepihak dan menutup yayasan yang didanai Jepang yang dibentuk pada Juli 2016 untuk membiayai penyelesaian perjanjian kontroversial tersebut.[2]

Perlu diketahui Korea Selatan adalah negara dimana Samsung Electronics, LG Electronics dan SK Hynix berasal, perusahaan yang berperan dalam memproduksi dua pertiga dari produksi chip dunia. Di Jepang, ada 3 perusahaan (JSR Corporation, Showa Denko, dan Shin-Etsu Chemical) yang memproduksi 90% dari Fluorinated polyamide dan resist di seluruh dunia, bahan yang pertama digunakan untuk pembuatan layar LCD dan OLED untuk memproduksi televisi, dan yang kedua merupakan bahan baku chip, yang ujung-ujungnya digunakan untuk pembuatan Handphone, dan 70% dari Hidrogen berfluorida, yang digunakan untuk membersihkan chip dalam memproduksi perangkat ponsel sejenis smartphone. Dengan kata lain, Korea Selatan dan Jepang memiliki peran yang cukup penting dalam memproduksi semikonduktor dan layar tampilan untuk kepentingan pembuatan Ponsel, Televisi, dan barang elektronik lainnya.[3]

Hubungan diplomatik kedua negara kemudian semakin memburuk pada akhir 2018 setelah Mahkamah Agung Korea Selatan mengeluarkan putusan memerintahkan beberapa perusahaan Jepang, termasuk Mitsubishi Heavy Industries dan Nippon Steel & Sumitomo Metal, untuk memberikan kompensasi ganti rugi kepada keluarga Korea Selatan yang diperlakukan tidak adil dan dipaksa secara ilegal untuk memasok tenaga kerja untuk kepentingan perang Jepang dalam menghadapi sekutu dalam Perang Dunia II, seperti membangun kapal dan pesawat terbang pada tahun 1944.[4] Keputusan tersebut membuat Pemerintah Jepang meradang, karena mereka mengklaim bahwa masalah itu sudah diselesaikan di bawah perjanjian normalisasi hubungan antara kedua negara pada tahun 1965.[5]


Kronologi

Pada tanggal 1 Juli 2019, Pemerintah Jepang mengumumkan akan memperketat ekspor bahan kimia yang sangat penting bagi industri semikonduktor Korea Selatan, yang berlaku pada 4 Juli 2019. Pengetatan ini memberikan batasan termasuk proses perizinan yang bisa memaksa para eksportir dari Korea Selatan untuk meminta persetujuan otoritas terkait untuk setiap pengiriman bahan baku termasuk bahan-bahan kimia yang sensitif yang membutuhkan waktu hingga 90 hari. Wakil Sekretaris Kabinet Yasutoshi Nishimura telah mengklarifikasi bahwa pembatasan tersebut demi alasan keamanan nasiona saat ini. Tetapi Korea Selatan menolak dengan tegas pembatasan ini dan mengatakan bahwa pemerintah Jepang melakukan "pembalasan ekonomi" terhadap masalah yang diputuskan oleh Mahkamah Agung Korea Selatan.[6][7]

Dalam Konferensi pers mengenai pengetatan ekspor, Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang (METI) memberi alasan kurang dipercayanya sistem kontrol ekspor Korea Selatan, sebagai pembenaran atas tindakan tersebut. Meskipun Kementerian tersebut belum memberikan contoh spesifik,[8] beberapa laporan media, terutama dari media massa Jepang mengklaim bahwa Korea Selatan mungkin telah menyerahkan bahan kimia terbatas ke Uni Emirat Arab, Iran, atau Korea Utara yang pada hakikatnya bahan bahan tersebut digunakan untuk pembuatan Senjata nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya. Korea Selatan dengan tegas membantah laporan tersebut.[9]Kesalahan pengutipan: Tag <ref> harus ditutup oleh </ref>

Lihat juga

Sentimen Anti-Jepang Sentimen Anti-Korea Perselisihan Jepang-Korea Perang Dunia II Perang dagang Amerika Serikat–Tiongkok 2018 Ianfu Kejahatan Perang Jepang

  1. ^ "MA Korsel Perintahkan Perusahaan Jepang Bayar Budak Era PD II". SindoNews.com. 30 Oktober 2018. Diakses tanggal 31 Oktober 2018. 
  2. ^ "South Korea Signals End to 'Final' Deal With Japan Over Wartime Sex Slaves". New York Times. 21 November 2018. Diakses tanggal 22 November 2018. 
  3. ^ "Samsung Dalam Pusaran Konflik Korea Jepang (Bagian 1)". Selular.id. 15 Juli 2019. Diakses tanggal 16 Juli 2019. 
  4. ^ "Mitsubishi Heavy ordered to compensate forced S Korean war workers". BBC News. 2018-11-29. 
  5. ^ "S. Korea oourt orders Japan's Mitsubishi to pay compensation for wartima labor". Washington Post (dalam bahasa Inggris). 2018-11-29. Diakses tanggal 2018-11-30. 
  6. ^ "Japan to restrict semiconductor-related exports to S. Korea". The Mainichi. Diakses tanggal 5 August 2019. 
  7. ^ "Japan moves to curb exports to South Korean tech firms, in escalation of forced labour row". South China Morning Post. 1 July 2019. Diakses tanggal 30 July 2019. 
  8. ^ "The Latest: Japan blames S.Korea export control 'weaknesses'". Associated Press. 12 July 2019. Diakses tanggal 2019-07-30. 
  9. ^ "Japan,'surprised' by South Korean response to export control, accuses Seoul of trying to make the issue about free trade". The Japan Times. 10 July 2019.