Lompat ke isi

Perang dagang Jepang–Korea Selatan 2019

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 24 Agustus 2019 22.26 oleh 36.65.44.170 (bicara)
Perang Dagang Jepang–Korea Selatan
Tanggal1 Juli 2019 – sekarang
LokasiJepang dan Korea Selatan
Hasil Masih berlangsung
Pihak terlibat

 Jepang

 Korea Selatan

Perang dagang Jepang-Korea Selatan 2019 (bahasa Korea: 2019년 한일 무역분쟁, Jepang: 2019年 日韓経済戦争 Perang Ekonomi Jepang-Korea Selatan 2019[note 1], bahasa Inggris: Japan-South Korea trade war of 2019) adalah konflik perdagangan antara Jepang dan Korea Selatan yang disebabkan oleh keputusan Pemerintah Jepang untuk membatasi beberapa ekspor bahan kimia ke Korea Selatan pada 1 Juli 2019. Hal ini dipicu oleh keputusan Mahkamah Agung yang memerintahkan beberapa perusahaan Jepang untuk membayar ganti rugi terhadap korban tenaga kerja paksa Jepang pada Perang Dunia II.[1]

Latar Belakang

Perdana Menteri Jepang, Shinzō Abe
Presiden Korea Selatan Moon Jae-in

Jepang dan Korea Selatan adalah dua ekonomi besar dunia, masing-masing peringkat ke-3 dan ke-11, dalam hal PDB. Korea Selatan, produsen chip memori terbesar di dunia, dan Jepang, pemasok terbesar material penting dalam produksi chip, sejauh ini merupakan negara terpenting dalam melahirkan beberapa produk teknologi seperti smartphone, Televisi dan Komputer pribadi. Keduanya merupakan negara tetangga dan negara sekutu utama Amerika Serikat di Asia Timur.

Jepang dan Korea Selatan mulai menjalin hubungan diplomatik mereka pada bulan Desember 1965 setelah penandatanganan perjanjian normalisasi yang terjadi pada bulan Juni di tahun yang sama. Kendati mereka memiliki hubungan yang begitu dekat, hubungan antar kedua negara tersebut sempat memburuk karena banyak perselisihan yang melibatkan mereka, seperti Sengketa Karang Liancourt (sengketa mengenai masalah kepemilikan Dokdo, yang dikenal sebagai Takeshima dalam bahasa Jepang), Penolakan pemerintah Jepang untuk meminta maaf kepada Korea atau membayar ganti rugi Perang Dunia II terhadap korban para wanita penghibur Korea, serta banyak sengketa lainnya yang melibatkan kedua negara. Meskipun kedua negara sepakat untuk menandatangani perjanjian tentang penyelesaian masalah "wanita penghibur" selama Perang Dunia II, yang bersifat final dan tidak dapat dibatalkan pada 28 Desember 2015, pemerintah Moon Jae-in, pada 21 November 2018, membatalkan perjanjian tersebut secara sepihak dan menutup yayasan yang didanai Jepang yang dibentuk pada Juli 2016 untuk membiayai penyelesaian perjanjian kontroversial tersebut.[2]

Perlu diketahui Korea Selatan adalah negara dimana Samsung Electronics, LG Electronics dan SK Hynix berasal, perusahaan yang berperan dalam memproduksi dua pertiga dari produksi chip dunia. Di Jepang, ada 3 perusahaan (JSR Corporation, Showa Denko, dan Shin-Etsu Chemical) yang memproduksi 90% dari Fluorinated polyamide dan resist di seluruh dunia, bahan yang pertama digunakan untuk pembuatan layar LCD dan OLED untuk memproduksi televisi, dan yang kedua merupakan bahan baku chip, yang ujung-ujungnya digunakan untuk pembuatan Handphone, dan 70% dari Hidrogen berfluorida, yang digunakan untuk membersihkan chip dalam memproduksi perangkat ponsel sejenis smartphone. Dengan kata lain, Korea Selatan dan Jepang memiliki peran yang cukup penting dalam memproduksi semikonduktor dan layar tampilan untuk kepentingan pembuatan Ponsel, Televisi, dan barang elektronik lainnya.[3]

Hubungan diplomatik kedua negara kemudian semakin memburuk pada akhir 2018 setelah Mahkamah Agung Korea Selatan mengeluarkan putusan memerintahkan beberapa perusahaan Jepang, termasuk Mitsubishi Heavy Industries dan Nippon Steel & Sumitomo Metal, untuk memberikan kompensasi ganti rugi kepada keluarga Korea Selatan yang diperlakukan tidak adil dan dipaksa secara ilegal untuk memasok tenaga kerja untuk kepentingan perang Jepang dalam menghadapi sekutu dalam Perang Dunia II, seperti membangun kapal dan pesawat terbang pada tahun 1944.[4] Keputusan tersebut membuat Pemerintah Jepang meradang, karena mereka mengklaim bahwa masalah itu sudah diselesaikan di bawah perjanjian normalisasi hubungan antara kedua negara pada tahun 1965.[5] Keputusan tersebut didahului pada 30 Oktober 2018, dimana Perusahaan Jepang diperintahkan untuk membayar ganti rugi sebesar 100 juta won ($88.000 Dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 1,3 miliar) (kurs Dolar per Oktober 2018 Rp. 15.000, kurs 1 Won Korsel per Oktober 2018 Rp.13.37).[6] Para pengamat mengatakan Keputusan tersebut memiliki dampak yang sangat luas terhadap hubungan diplomatik kedua negara, baik secara politik maupun secara ekonomi karena perusahaan Jepang yang terlibat dalam tuntutan yang sama dapat menghadapi masalah serupa.

Pada 9 Januari 2019, Pengadilan Korea Selatan memerintahkan penyitaan aset Perusahaan Jepang yang bernama Mitsubishi Heavy Industries karena perusahaan tersebut menolak untuk membayar ganti rugi kepada para korban kerja paksa yang dilakukannya pada masa perang.[7] Keputusan itu diprotes oleh Jepang karena mereka menyesalkan keputusan pengadilan negara itu dan mempertimbangkan membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional.

Kronologi

Spanduk yang berisi logo "NO, BOYCOTT JAPAN" (Bahasa Indonesia: TIDAK, BOIKOT JEPANG), yang terpampang di kota Mokpo. Spanduk ini menandakan kekecewaan warga Korea Selatan terhadap kebijakan Pemerintah Jepang

Pada tanggal 1 Juli 2019, Pemerintah Jepang mengumumkan akan memperketat ekspor bahan kimia yang sangat penting bagi industri semikonduktor Korea Selatan, yang berlaku pada 4 Juli 2019. Pengetatan ini memberikan batasan termasuk proses perizinan yang bisa memaksa para eksportir dari Korea Selatan untuk meminta persetujuan otoritas terkait untuk setiap pengiriman bahan baku termasuk bahan-bahan kimia yang sensitif yang membutuhkan waktu hingga 90 hari. Wakil Sekretaris Kabinet Yasutoshi Nishimura telah mengklarifikasi bahwa pembatasan tersebut demi alasan keamanan nasional saat ini. Tetapi Korea Selatan menolak dengan tegas pembatasan ini dan mengatakan bahwa pemerintah Jepang melakukan "pembalasan ekonomi" terhadap masalah yang diputuskan oleh Mahkamah Agung Korea Selatan.[8][9]

Dalam Konferensi pers mengenai pengetatan ekspor, Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang (METI) memberi alasan kurang dipercayanya sistem kontrol ekspor Korea Selatan, sebagai pembenaran atas tindakan tersebut. Meskipun Kementerian tersebut belum memberikan contoh spesifik,[10] beberapa laporan media, terutama dari media massa Jepang mengklaim bahwa Korea Selatan mungkin telah menyerahkan bahan kimia terbatas ke Uni Emirat Arab, Iran, atau Korea Utara yang pada hakikatnya bahan bahan tersebut digunakan untuk pembuatan Senjata nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya. Korea Selatan dengan tegas membantah laporan tersebut.[11] [12]

Pada tanggal 2 Agustus, Jepang membuat keputusan untuk menghapus Korea Selatan dari apa yang disebut sebagai "daftar putih", sebuah daftar yang mencakup negara-negara yang mendapat perlakuan khusus dalam perdagangan.[13]Keputusan ini kemudian dituangkan secara resmi di situs publikasi pemerintah Jepang, KAMPO pada 7 Agustus. Keputusan ini akan berlaku pada tanggal 28 Agustus 2019, 21 hari setelah dipublikasikan secara resmi.[14] Jepang membantah hal tersebut merusak hubungan diplomatik dengan Korea Selatan, tetapi bisa dilihat oleh Korsel memiliki implikasi yang sangat besar bagi ekonominya yang sedang berjuang.

Pada 12 Agustus, Korea Selatan mengumumkan mengeluarkan Jepang dari daftar mitra negara terfavorit yang memilik pelakuan khusus dalam hal perdagangan. Korea Selatan beralasan bahwa tindakan ini dianggap sebagai balasan atas tindakan Pemerintah Jepang dalam hal serupa.[15] Menteri Perindustrian Korsel Sung Yun-mo mengatakan Jepang akan masuk dalam daftar yang baru dibuat untuk negara-negara yang belum menjalankan sistem kontrol ekspor. Artinya, Jepang perlu menerapkan prinsip-prinsip dagang internasional. Keputusan pemerintah Korsel ini akan berlaku pada 1 September 2019.[16]

Reaksi

Berkas:Peace statue comfort woman statue 위안부 소녀상 평화의 소녀상 (3) (22609310033).jpg
Patung budak kerja paksa di depan Kedubes Jepang di Seoul. Isu ini menjadi isu utama yang melatarbelakangi adanya Perang dagang kedua negara

Pemerintah

Sebagai akibat dari Keputusan Pemerintah Jepang yang membatasi ekspor ke Korea Selatan, Pemerintah Korea Selatan memanggil dubes Jepang untuk Seoul sebagai penolakan atas pemberlakuan kebijakan ekspor Jepang. Kementerian Luar Negeri juga menanggap tindakan tersebut sebagai hal yang tidak bisa diterima.[17]

Presiden Korsel Moon Jae-in, dalam pertemuan darurat kabinet merespons keputusan dikeluarkan negara tersebut dari daftar mitra ekspor terpercaya oleh Jepang pada 2 Agustus, memberikan pernyataan tegas kepada Jepang bahwa negara mereka tidak akan dikalahkan lagi oleh Jepang dan bersumpah akan mengambil tindakan tegas terhadap keputusan tersebut.[18]

Masyarakat

Masyarakat Korsel, merasa tidak terima akan keputusan Pemerintah Jepang, mengadakan aksi unjuk rasa di depan kedubes Jepang di Seoul pada 5 Juli, menyerukan memboikot produk dan jasa Jepang.[19] Kemudian rakyat Korsel mengadakan aksi menyalakan lilin sebagai bentuk protes atas keputusan Pemerintah Jepang pada bulan Juli dan Agustus, terutama pada tangga 15 Agustus, pada peringatan 74 tahun merdekanya Korea dari jajahan Jepang, dimana hampir 30.000 orang terlibat unjuk rasa yang berpusat di tiga tempat itu.

Pada 19 Juli dan 2 Agustus terjadi aksi bakar diri yang dilakukan oleh dua pria Korsel yang terjadi di depan bekas Kedubes Jepang, yang pertama dilakukan oleh seseorang yang berusia 78 tahun dan tewas ditempat kejadian,[20][21] dan yang kedua dilakukan oleh kakek yang berusia 72 tahun yang saat itu tengah dalam kondisi kritis.[22] Polisi yang berada di lokasi kejadian menemukan sebuah tas yang kemungkinan milik pria tersebut. Usai diperiksa, isi tas itu ada memo dan selebaran yang mengkritik Jepang atas keputusannya untuk memperketat kendali atas ekspor teknologi tinggi ke Korea Selatan. Pada selebaran itu juga ada sumpah untuk melawan Tokyo sampai Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe meminta maaf. Selain itu, polisi juga menemukan sebuah buku almarhum Kim Bok-dong, yang merupakan salah satu korban perbudakan seksual militer Jepang selama Perang Dunia II.[23]

Pada 22 Juli, terjadi insiden dimana 7 orang menerobos Konsulat Jenderal Jepang di Busan. Mereka menyerukan Jepang harus meminta maaf dan memegang plakat yang mengkritik keputusan Jepang dan menempelkannya di depan konsulat jenderal negara itu. Ketujuh orang itu ditahan polisi atas kejadian ini.[24]

Dampak

Terhadap Korea Selatan

Keputusan Jepang yang memberlakukan pengetatan ekspor ke negaranya secara langsung memiliki dampak negatif terhadap perekonomian Korea Selatan, dimana negaranya sangat bergantung pada ekspor. Bahkan ekspor Korea Selatan pada bulan Juli 2018 anjlok 11% secara tahunan. [25]

Bank Sentral Korea Selatan, Bank of Korea kemudian secara tidak terduga melakukan pemangkasan suku bunga acuannya dari 1,75% menjadi 1,5% pada 18 Juli 2019.[26] Bank of Korea juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonominya menjadi 2,2% dari sebelumnya 2,5%.[27]

Masakapai yang berasal dari Korea Selatan, melihat dari adanya penurunan jumlah penumpang akibat aksi boikot produk Jepang, memutuskan untuk mengurangi dan bahkan menangguhkan penerbangan dari Korea Selatan ke beberapa kota di Jepang. Sebagai contoh, maskapai terbesar di negaranya Korean Air memutuskan untuk menghentikan penerbangan dari Busan ke Sapporo mulai 3 September 2019. Maskapai berbiaya murah, T'way Air akan menghentikan penerbangan regulernya dari Korea Selatan ke 3 bandara di Pulau Kyushu.[28] Anak Perusahaan dari Korean Air, Jin Air, juga mengurangi penerbangan ke Jepang sebanyak 40 persen mulai 26 Oktober. Dengan demikian, maskapai ini hanya mengoperasikan rute ke Jepang sebanyak 78 kali penerbangan dari sebelumnya 131 kali penerbangan.[29]

Terhadap Jepang

Perusahaan Jepang sangat terpukul akibat kebijakan pembatasan ekspor yang kemudian dibalas oleh boikot masyarakat Korsel terhadap produk Jepang, hal ini bisa dilihat dari penjualan beberapa perusahaan Jepang yang rontok akibat hal itu.

Dalam industri otomotif, Penjualan mobil Jepang di Korea Selatan rata-rata menyusut pada bulan Juli. berdasarkan data Asosiasi Pemasok dan Distributor Korea (KAIDA) menunjukkan bahwa penjualan Toyota turun 32%, sedangkan Penjualan Mobil Honda turun 34%. Kemudian Penjualan mobil Lexus, yang merupakan merek impor terbesar ketiga di Korea Selatan setelah Mercedes dan BMW juga mengalami penurunan penjualan sebanyak 25% dari bulan sebelumnya meski masih naik 33% dari tahun sebelumnya.[30] Honda dan Toyota enggan berkomentar atas hal ini.[31] Tetapi perusahaan otomotif Jepang khawatir bahwa penurunan ini masih berlanjut di bulan Agustus.

Uniqlo, yang memiliki 190 toko yang ada di Korea Selatan, melaporkan bahwa penjualan produk-produk di negaranya menurun tajam setelah adanya aksi pemboikotan oleh Masyarakat Korea Selatan. Namun pemilik Uniqlo, Fast Retailling menolak untuk menyebut besaran nilainya.[32]

Perang dagang antar kedua negara juga berpengaruh pada jasa penerbangan antar-negara. Hal ini terlihat dari Jumlah penumpang yang berada di Bandara Internasional Narita yang berada di luar pusat kota Tokyo. Jumlah warga Korea Selatan yang tiba di Bandara Narita, Jepang, turun drastis. Sebagaimana dikutip oleh NHK, jumlah penumpang dari Korea Selatan hanya 12.000 orang atau turun 35 persen dari jumlah penumpang tahun 2019. Sebaliknya, penumpang yang pergi dari Bandara Narita ke Seoul bertambah sebanyak 4,3 persen dari tahun sebelumnya (2018), menjadi 58.000 orang.[33]

Pembatalan GSOMIA oleh Korea Selatan

Pemerintah Korea Selatan, melalui Dewan Keamanan Nasional Istana Biru, memutuskan membatalkan pakta kesepakatan kerjasama berbagi intelijen dengan Jepang pada 22 Agustus. Kesepakatan tersebut dinamakan GSOMIA (General Security of Military Information Agreement/Perjanjian Informasi Militer Keamanan Umum) sebuah perjanjian yang memfasilitasi pembagian informasi tentang ancaman nuklir dan rudal Korea Utara.[34] Perjanjian itu ditandatangani oleh kedua negara pada 23 November 2016 dan otomatis diperpanjang jika tidak ada siapapun pihak yang ingin membatalkan perjanjian itu. Kim You-geun, Wakil Direktur Dewan Keamanan Nasional mengatakan bahwa Jepang telah melakukan 'perubahan besar' dalam lingkungan kerja sama keamanan bilateral sebagai akibat dari keputusan Jepang yang melakukan pengetatan ekspor.[35] Pejabat tersebut menyatakan melanjutkan kesepakatan kerja sama ini, yang diteken untuk memfasilitasi pertukaran informasi sensitif militer antara kedua negara, tidak lagi sejalan dengan kepentingan nasional kami.[36]

Mendengar keputusan Pemerintah Korsel itu, Pemerintah Jepang memprotes keras pernyataan tersebut. Perdana Menteri Shinzo Abe menyanyangkan keputusan sepihak Korsel dan seharusnya menurut dia keputusan tersebut tidak boleh terjadi.[37]

Sedangkan Pemerintah Amerika Serikat mengaku kecewa berat atas keputusan ini. Juru bicara Pentagon Letnan Kolonel Dave Eastburn mengatakan bahwa AS telah menyatakan "keprihatinan dan kekecewaan yang kuat" atas keputusan Korea Selatan untuk mengakhiri pakta intelijen dengan Jepang. Dia menambahkan bahwa berbagi data intelijen sangat penting untuk kerja sama pertahanan di wilayah tersebut. AS, Korsel dan Jepang lebih kuat dan lebih aman ketika ketiga negara bekerja bersama.[38]

Lihat juga

Catatan

Referensi

  1. ^ "MA Korsel Perintahkan Perusahaan Jepang Bayar Budak Era PD II". SindoNews.com. 30 Oktober 2018. Diakses tanggal 31 Oktober 2018. 
  2. ^ "South Korea Signals End to 'Final' Deal With Japan Over Wartime Sex Slaves". New York Times. 21 November 2018. Diakses tanggal 22 November 2018. 
  3. ^ "Samsung Dalam Pusaran Konflik Korea Jepang (Bagian 1)". Selular.id. 15 Juli 2019. Diakses tanggal 16 Juli 2019. 
  4. ^ "Mitsubishi Heavy ordered to compensate forced S Korean war workers". BBC News. 29 November 2018. 
  5. ^ "S. Korea oourt orders Japan's Mitsubishi to pay compensation for wartima labor". Washington Post (dalam bahasa Inggris). 29 November 2018. Diakses tanggal 30 November 2018. 
  6. ^ "Korsel Tuntut Perusahaan Jepang Beri Ganti Rugi ke Eks Budak Perang Dunia II". Liputan6.com. 31 Oktober 2018. 
  7. ^ "Korsel Aset Perusahaan Jepang Terkait Kerja Paksa Masa Perang". VOA Indonesia. 9 Januari 2019. 
  8. ^ "Japan to restrict semiconductor-related exports to S. Korea". The Mainichi. Diakses tanggal 5 August 2019. 
  9. ^ "Japan moves to curb exports to South Korean tech firms, in escalation of forced labour row". South China Morning Post. 1 July 2019. Diakses tanggal 30 July 2019. 
  10. ^ "The Latest: Japan blames S.Korea export control 'weaknesses'". Associated Press. 12 July 2019. Diakses tanggal 2019-07-30. 
  11. ^ "Japan,'surprised' by South Korean response to export control, accuses Seoul of trying to make the issue about free trade". The Japan Times. 10 July 2019. 
  12. ^ "Update of METI's licensing policies and procedures on exports of controlled items to the Republic of Korea". Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang. 1 Juli 2019. Diakses tanggal 30 Juli 2019. 
  13. ^ "Jepang bantah perubahan status dagang rusak hubungan dengan Korea Selatan". VOA News. 2 Agustus 2019. 
  14. ^ "Jepang Hapus Korsel dari Daftar Tujuan Ekspor Terpercaya". Gatra. 2 Agustus 2019. 
  15. ^ "Korsel Hapus Jepang dari Daftar Mitra Dagang Utama". Kompas. 12 Agustus 2019. 
  16. ^ "Giliran Korsel 'Tendang' Jepang dari Mitra Ekspor Favorit". CNN Indonesia. 12 Agustus 2019. 
  17. ^ "Jepang Perketat Ekspor Bahan Teknologi Tinggi ke Korsel". Republika. 1 Juli 2019. 
  18. ^ "Presiden Korea Selatan: Kami Tidak Akan Dikalahkan Lagi oleh Jepang". Liputan6.com. 2 Agustus 2019. 
  19. ^ "Seruan Boikot Produk Jepang Merebak di Korsel". Republika. 6 Juli 2019. 
  20. ^ "Kakek Korea Selatan Bakar Diri di Depan Kedubes Jepang". Tempo.co. 19 Juli 2019. 
  21. ^ "Pria Korsel Bakar Diri hingga Tewas di Depan Kedubes Jepang". INews.id. 19 Juli 2019. 
  22. ^ "Pria 72 Tahun Asal Korea Selatan Bakar Diri karena Marah dengan Jepang". Okezone.com. 2 Agustus 2019. 
  23. ^ "Kesal dengan Ketegangan Antara Korea-Jepang, Warga Korea Selatan Bakar Diri". Warta Ekonomi. 2 Agustus 2019. 
  24. ^ "7 Warga Korea Selatan Terobos Masuk Konsulat Jepang di Busan". Okezone.com. 22 Juli 2019. 
  25. ^ "Ekspor Korea Selatan Merosot 8 Bulan Beruntun". CNBC Indonesia. 1 Agustus 2019. 
  26. ^ "Bank Sentral Korea Pangkas Suku Bunga Acuan". Bisnis Indonesia. 18 Juli 2019. 
  27. ^ Nam-ku, Jeong (19 Juli 2019). "Bank of Korea to lower benchmark interest rate". Hankyoreh. 
  28. ^ "Permusuhan Semakin Dalam, Korean Air Hentikan Terbang ke Jepang". Tempo.co. 24 Agustus 2019. 
  29. ^ "Maskapai Jin Air Kurangi Penerbangan ke Jepang Sebanyak 40%". KBS World Indonesia. 24 Agustus 2019. 
  30. ^ "Kena Aksi Boikot, Penjualan Mobil Jepang di Korsel Merosot". Kumparan. 5 Agustus 2019. 
  31. ^ "Hubungan memanas, penjualan mobil Jepang di Korea Selatan anjlok". Kontan. 5 Agustus 2019. 
  32. ^ "Penjualan Uniqlo Anjlok di Korsel". Koran Jakarta. 10 Agustus 2019. 
  33. ^ "Jumlah Penumpang Korea di Bandara Narita Anjlok". Gatra. 24 Agustus 2019. 
  34. ^ "South Korea Ends Pact to Share Military Information With Japan". Wall Street Journal. Diakses tanggal 23 Agustus 2019. 
  35. ^ "Korsel Akan Setop Kerja Sama Intelijen Militer dengan Jepang". CNN Indonesia. 23 Agustus 2019. 
  36. ^ "Hubungan Intel Korsel-Jepang Putus, Picu Kekhawatiran atas Korut". Medcom.id. 23 Agustus 2019. 
  37. ^ "PM Jepang Sangat Menyayangkan Pemutusan Sepihak Kesepakatan Kerja Sama dengan Korsel". Tribunnews.com. 23 Agustus 2019. 
  38. ^ "Korsel Hentikan Kerja Sama Intelijen dengan Jepang, AS Kecewa Berat". SindoNews.com. 23 Agustus 2019. 


Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "note", tapi tidak ditemukan tag <references group="note"/> yang berkaitan