George VI dari Britania Raya
Raja George VI dari Britania Raya | |||||
---|---|---|---|---|---|
Raja Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia Utara dan Wilayah Persemakmuran; Kaisar India | |||||
Berkuasa | 11 Desember 1936 – 6 Februari 1952 | ||||
Penobatan | 12 Mei 1937 | ||||
Pendahulu | Edward VIII | ||||
Penerus | Elizabeth II | ||||
Perdana Menteri | Lihat daftar
| ||||
Kaisar India | |||||
Berkuasa | 11 Desember 1936 – 14 Agustus 1947 | ||||
Pendahulu | Edward VIII | ||||
Penerus | posisi dihapuskan | ||||
Kelahiran | Pondok York, Rumah Sandringham, Norfolk, Inggris | 14 Desember 1895||||
Kematian | 6 Februari 1952 Rumah Sandringham, Norfolk, Inggris | (umur 56)||||
Pemakaman | 15 Februari 1952 Kapel St.George, Istana Windsor | ||||
Pasangan | Elizabeth Bowes-Lyon | ||||
Keturunan | Elizabeth II dari Britania Raya Margaret, Pangeran Wanita Snowdon | ||||
| |||||
Wangsa | Wangsa Windsor | ||||
Ayah | George V | ||||
Ibu | Mary dari Teck |
George VI (terlahir dengan nama Albert Frederick Arthur George; 14 Desember 1895 – 6 Februari 1952) merupakan raja Kerajaan Britania Raya dan Irlandia Utara dari 1936 hingga 1952, serta Maharaja India dari 1936 hingga 1947. Ia dikenal sebagai simbol determinasi Inggris dalam memenangkan Perang Dunia II melawan Jerman.
Dikenal sebagai "Bertie" diantara keluarga dan teman-teman dekatnya, George VI lahir pada saat masa kekuasaan nenek buyutnya Ratu Victoria, dan diberi nama seperti kakek buyutnya Albert dari Saxe-Coburg dan Gotha. Sebagai anak kedua dari Raja George V, ia tidak diharapkan menjadi pewaris takhta kerajaan karena Kerajaan Britania Raya sudah memiliki pewaris yaitu kakaknya, Edward. Saat menginjak usia remaja ia menjalani pendidikan di sekolah angkatan laut. Kemudian ia masuk AL dan AU selama Perang Dunia I. Pada tahun 1920, ia diberi gelar Adipati York. Ia menikahi Lady Elizabeth Bowes-Lyon pada tahun 1923 dan memiliki dua anak, Elizabeth (kemudian menjadi Ratu Elizabeth II) dan Margaret. Pada pertengahan dekade 1920-an, ia menjalani terapi bicara karena kondisi gagap yang dideritanya, yang mana kondisi ini tidak pernah sepenuhnya disembuhkan.
Kakak George naik takhta menjadi Edward VIII setelah kematian ayah mereka pada tahun 1936. Lalu, Edward dihadapkan pada pilihan antara tetap menjadi raja atau menikahi sosialita Amerika Serikat Wallis Simpson yang berstatus janda. Karena Edward akhirnya memilih turun takhta dan menikahi Simpson, George lalu naik takhta menjadi raja ketiga dalam Dinasti Windsor.
Pada tahun 1939, Imperium Britania dan Persemakmurannya – kecuali Irlandia – mendeklarasikan perang terhadap Jerman Nazi. Diikuti dengan perang terhadap Kerajaan Italia dan Kekaisaran Jepang pada tahun 1940 dan 1941. Raja dan keluarganya tetap di London selama serangan The Blitz dan hal itu membuat popularitas mereka melambung, karena selain tetap berada di London ia juga hadir dalam masa sulit tersebut bersama dengan warga biasa. Inggris dan sekutunya memenangkan perang pada tahun 1945, namun Imperium Inggris tidak berlanjut dan Irlandia memutuskan memisahkan diri dari persemakmuran dan diikuti kemerdekaan kemerdekaan India dan Pakistan pada tahun 1947. George menanggalkan gelar Kaisar India pada Juni 1948 dan memakai gelar baru sebagai Kepala Persemakmuran. Ia mengidap penyakit yang berhubungan dengan perilaku sebagai perokok berat. Ia meninggal di Sandringham House pada tahun 1952 dan digantikan oleh putrinya sebagai Ratu Elizabeth II.
Kehidupan awal
Raja George VI lahir di York Cottage, tepatnya di Pemukiman Sandringham, Norfolk, saat masa kekuasaan nenek buyutnya Ratu Victoria.[1] Ayahnya adalah Pangeran George, Adipati York (kemudian menjadi Raja George V), yang merupakan anak kedua yang masih hidup dari Pangeran dan Putri Wales (kemudian menjadi Raja Edward VII dan Ratu Alexandra). Ibunya adalah Permaisuri Adipati York (kemudian menjadi Ratu Mary), adalah anak tertua dan anak perempuan satu-satunya dari Francis, Adipati Teck, dan Mary Adelaide, Permaisuri Adipati Teck.[2] Tanggal kelahirannya di 14 Desember 1895, adalah peringatan 34 tahun meninggalnya kakek buyutnya, Albert dari Saxe-Coburg dan Gotha.[3] Tidak yakin atas reaksi Ratu Victoria dalam menerima kabar ini karena kabar bahagia terjadi bersamaan dengan peringatan berkabung, Pangeran Wales menulis kepada Adipati York bahwa keadaan ratu agak tertekan. Dua hari kemudian, ia mengirim surat lagi yang berisi bahwa ia menyarakan pada Adipati York untuk mengajukan pada ratu kalau anak tersebut diberi nama Albert.[4]
Ratu Victoria kemudian terobati dengan adanya pengajuan nama tersebut dan mengirim surat pada Permaisuri Adipati York: "Aku tidak sabar menanti untuk melihat ia yang baru (Albert), yang terlahir pada hari yang sedih namun menjadi kebahagiaan buatku, karena ia akan dipanggil dengan nama kesayangan yang mana nama tersebut bagiku adalah yang paling hebat dan paling bagus".[5] 3 bulan kemudian, ia dibaptis dengan nama "Albert Frederick Arthur George" di Gereja St Mary Magdalene, Sandringham. Orang tua baptisnya adalah: Ratu Victoria (nenek buyutnya yang mana diwakili oleh neneknya Putri Wales); Adipati Agung Mecklenburg dan istrinya (kakek-paman dan nenek-bibi dari pihak ibu yang diwakili oleh kakeknya Adipati Teck dan bibinya dari jalur ayah Putri Maud dari Wales); Permaisuri Kaisar Frederick (nenek-bibi nya dari jalur ayah yang diwakili oleh bibinya Putri Victoria dari Wales); Pangeran Mahkota Denmark (kakek-pamannya yang diwakili kakeknya Pangeran Wales); the Adipati Connaught (kakek-pamannya); Permaisuri Adipati Fife (bibi dari jalur ayah); dan Pangeran Adolphus dari Teck (paman dari jalur ibu).[6] Didalam keluarganya ia memiliki panggilan julukan "Bertie".[7] Neneknya, Permaisuri Adipati Teck tidak menyukai pemberian nama Albert pada cucunya dan ia berharap bahwa nama terakhirnya bisa digunakan, atau dalam bahasanya "bisa menggantikan (nama) yang kurang disukai (tersebut)".[8] Saat kelahirannya Albert berada pada urutan keempat dalam garis suksesi takhta setelah kakeknya, ayahnya dan kakaknya, Edward.
Pada masa mudanya ia adalah seseorang yang sakit-sakitan dan sering digambarkan sebagai seseorang yang "mudah sekali ditakut-takuti dan agak mudah menangis".[9] Orang tuanya lalu memisahkannya dari pengasuh sehari-hari yang menjadi norma umum pada keluarga aristokrat saat itu dimana anak-anak harus dijaga oleh para pengasuh. Ia juga memiliki kondisi gagap yang tidak hilang sampai beberapa tahun lamanya. Meskipun ia adalah seorang kidal, ia dipaksa untuk bisa menulis dengan tangan kanannya, yang mana adalah aturan baku pada saat itu.[10] Ia menderita penyakit kronis pada perutnya karena terlalu sering menggunakan bidai penegak yang menyakitkan untuk meluruskan postur kakinya yang bengkok.[11] Ratu Victoria meninggal pada 22 Januari 1901, dan Pangeran Wales menggantikannya sebagai Raja Edward VII. Pangeran Albert lalu naik tingkat di posisi ketiga dalam garis suksesi takhta setelah ayahnya dan kakaknya.
Pendidikan dan karier militer
Pada tahun 1909, Albert menjalani pendidikan di Kolese Angkatan Laut Kerajaan Inggris Osborne, sebagai kadet angkatan laut. Pada tahun 1911 ia berada pada posisi paling bawah dalam ujian akhirnya, namun begitu ia tetap melanjutkan pendidikan ke Kolese Angkatan Laut Kerajaan Inggris Dartmouth.[12] Ketika kakeknya, Raja Edward VII, meninggal pada tahun 1910, ayahnya naik takhta menjadi Raja George V. Edward kemudiaan menjadi Pangeran Wales, dan Albert naik tingkat ke posisi ke-2 dalam garis suksesi takhta.[13]
Albert melewati 6 bulan pertama dari tahun 1913 di kapal pelatihan HMS Cumberland di kawasan Hindia Barat dan pantai timur Kanada.[14] Ia kemudian menjadi perwira muda di kapal HMS Collingwood pada 15 September 1913, He spent three months in the Mediterranean, namun tidak pernah bisa mengatasi mabuk lautnya.[15] Tiga minggu setelah pecahnya Perang Dunia I ia dievakusi secara medis menuju Aberdeen, dimana disana ia menjalani operasi pengangkatan usus buntu yang dilakukan oleh Sir John Marnoch.[16] Ia memperoleh status MiD (dipuji karena hasil kerjanya) karena aksinya sebagai petugas kapal Collingwood dalam Pertempuran Jutlandia (31 Mei – 1 Juni 1916), yang merupakan pertempuran laut terbesar saat itu. Namun, ia tidak melanjutkan perannya dalam perang karena penyakit ulkus peptikum yang dideritanya, dimana ia dioperasi pada November 1917.[17]
Pada Februari 1918 ia ditunjuk sebagai penanggung jawab pelatihan siswa di Cranwell. Dengan pembentukan Angkatan Udara, Albert dipindahkan dari AL ke AU (RAF).[18] Ia menjabat sebagai komandan skadron siswa ke-4 di Cranwell sampai Agustus 1918,[19] sebelum ditugaskan di sekolah kadet angkatan udara di St Leonards-on-Sea. Ia menyelesaikan pelatihan terbang dwimingguannya dan menjadi komandan skadron Wing Kadet.[20] Ia adalah orang pertama dari keluarga kerajaan Inggris yang tersertifikasi menjadi pilot.[21]
Albert lalu ingin pergi ke daratan utama Eropa saat perang masih berlanjut dan mengirimkan pengajuan kepada staf Jenderal Trenchard di Prancis. Pada tanggal 23 Oktober, ia menerbangkan pesawatnya melewati kanal Inggris menuju ke Autigny.[22] Pada masa-masa akhir PD I, ia bekerja sebagai staf pada Independent Air Force di markasnya di Nancy, Prancis.[23] hingga pembubaran institusi tersebut pada November 1918, ia tetap berada di daratan utama Eropa sebagai staf Angkatan Udara hingga selama dua bulan sebelum kembali lagi ke Inggris.[24] Ia mengiringi Raja Albert I dari Belgia pada hari kembalinya ke Brussel setelah perang pada 22 November. Pangeran Albert lalu lulus kualifikasi menjadi pilot RAF pada 31 Juli 1919 dan dipromosikan menjadi pemimpin skadron esok harinya.[25]
Pada Oktober 1919, Albert berkuliah di Trinity College, Cambridge, dimana disana ia mempelajari sejarah, ekonomi dan ilmu kewarganegaraan selama setahun,[26] dengan seorang sejarawan R. V. Laurence sebagai "mentor resmi".[27] Pada 4 Juni 1920 ayahnya memberinya gelar Adipati York, Earl Inverness dan Baron Killarney.[28] Ia lalu lebih banyak melakukan tugas-tugas kerajaan. Mewakili ayahnya dalam tur ke tambang batu bara, pabrik-pabrik dan depo depo kereta api. Karena tugasnya yang sering berada di area industri ia mendapat julukan "Pangeran Industri".[29] Kondisi gagapnya ditambah dengan pribadinya yang cenderung pemalu membuatnya tidak terlalu mengemuka dibanding kakaknya, Edward. Namun, ia suka aktivitas fisik dan bermain bola tenis. Ia pernah bermain di Kejuaraan Wimbledon dalam skema ganda putra dengan Louis Greig pada tahun 1926, namun kalah pada putaran pertama.[30] Ia menaruh ketertarikan pada perbaikan lingkungan kerja dan menjadi presiden dari Komunitas Kesejahteraan Industri. Ia menggelar kamp musim panas tahunan untuk para remaja pada periode antara 1921 hingga 1939 yang diikuti para remaja dari latar belakang sosial yang berbeda.[31]
Pernikahan
Pada saat itu seorang anggota keluarga kerajaan diharapkan untuk menikahi seseorang yang juga dari kalangan kerajaan, maka hal ini menjadi halangan bagi Albert untuk memiliki kebebasan dalam memilih calon istri. Pada April 1920, Albert harus terpaksa menghentikan niatnya untuk mendekati sosialita Australia Lady Loughborough yang sudah menikah, dengan janji dari raja akan diberikan gelar Adipati York.[32][33] Pada tahun yang sama ia bertemu dengan Lady Elizabeth Bowes-Lyon, anak bungsu dari Earl Strathmore dan Kinghorne. Ia lalu memutuskan untuk menikahinya.[34] Lady Elizabeth Bowes-Lyon menolak lamaran Pangeran Albert dua kali pada tahun 1921 dan 1922, karena ia tidak mau kebebasan yang ia miliki hilang kala menjadi keluarga kerajaan.[35] Setelah hubungan yang rumit dan berlarut-larut akhirnya Elizabeth bersedia untuk menikahinya.[36]
Mereka menikah pada 26 April 1923 di Westminster Abbey. Pernikahan Albert yang tidak dilakukan dengan seseorang dari kalangan kelahiran kerajaan merupakan suatu tanda modernisasi.[37] BBC yang baru terbentuk saat itu berharap dapat merekam dan menyiarkan acara ini di radio, namun Kapitel Abbey menolak usulan ini (walaupun beberapa Dekan, seperti Herbert Edward Ryle, menyetujui usulan tersebut).[38]
Dari Desember 1924 hingga April 1925, Adipati dan Permaisuri Adipati menjalani tur ke Kenya, Uganda, dan Sudan, melewati Terusan Suez dan Aden. Selama perjalanan tur mereka melakukan permainan besar berburu.[39]
Karena kondisi gagapnya, Albert sangat menghindari berbicara di depan umum.[40] Setelah pidato penutupannya di Eksebisi Imperium Inggris di Wembley pada 31 Oktober 1925, yang dianggap sebuah cobaan berat bagi ia dan orang-orang yang mendengar pidatonya,[41] ia lalu berkonsultasi dengan Lionel Logue, terapis bicara kelahiran Australia. Adipati York dan Logue melakukan pelatihan pernafasan dengan ditemani oleh Permaisuri Adipati.[42] Setelah beberapa lama, ia mampu berbicara di depan umum dengan keragu-raguan yang agak berkurang.[43] Ketika penyampaian bicaranya membaik, Adipati York membuka Parlemen di Canberra, Australia, dalam tur pada tahun 1927.[44] Perjalanannya kali ini yang bertujuan ke Australia, Selandia baru dan Fiji membawanya melewati Jamaika, dimana disana Albert bermain tenis ganda berpasangan dengan, Bertrand Clark, yang berkulit hitam, dimana hal tersebut masih belum lumrah saat itu dan dianggap sebagai wajah perlakuan setara antar ras.[45]
Adipati York dan permaisurinya memiliki dua anak yaitu: Elizabeth (yang dipanggil "Lilibet" oleh orang-orang di keluarganya) yang lahir pada 1926, dan Margaret yang lahir pada tahun 1930. Keluarga ini hidup saling dekat dan mencintai di rumah mereka di 145 Piccadilly, London.[46] Satu keributan terjadi saat Perdana Menteri Kanada, R. B. Bennett, mempertimbangkan Adipati York sebagai Gubernur Jenderal Kanada pada tahun 1931 – dalam sebuah pengajuan yang ditolak Raja George V berdasarkan masukan dari Sekretaris Negara Urusan Negara Persemakmuran, J. H. Thomas.[47]
Menjadi raja dengan enggan
Raja George V memiliki kekhawatiran yang parah mengenai putra mahkotanya Pangeran Edward, ia berkata "Setelah aku meninggal, anak ini (Edward) akan menghancurkan dirinya sendiri dalam dua belas bulan" dan "Aku berdoa pada Tuhan agar anak tertuaku tidak akan pernah menikah dan tidak ada halangan untuk Bertie dan Lilibet menuju takhta."[48] Pada 20 Januari 1936, George V meninggal dunia dan Edward menggantikannya sebagai raja dengan nama Raja Edward VIII. Dalam ritual Penjagaan Para Pangeran, Pangeran Albert dan ketiga saudaranya (sang raja baru, Pangeran Henry, Adipati Gloucester, dan Pangeran George, Adipati Kent) bergantian berdiri disamping jasad ayah mereka dalam peti tertutup saat pembaringan kenegaraan, di Istana Westminster.
Karena Edward saat itu belum menikah dan tidak memiliki anak, maka Albert menjadi pewaris takhta. Kurang dari setahun kemudian, pada 11 Desember 1936, Edward turun takhta karena ingin menikahi, Wallis Simpson, yang pernah cerai dari suami pertamanya dan sedang dalam proses perceraian dari suaminya yang kedua. Edward telah dinasehati oleh Perdana Menteri Stanley Baldwin bahwa ia tidak dapat terus menjadi raja jika menikahi wanita yang pernah bercerai dengan dua mantan suami yang masih hidup. Ia lalu turun takhta dan Albert menjadi raja, yang mana bagi Albert ini adalah posisi yang sulit ia terima.[49] Sehari sebelum Edward turun dari takhtanya, Albert menuju ke London untuk menemui ibunya, Ratu Mary. Albert menulis dalam buku hariannya, "Ketika aku mengatakan kepadanya (Ratu Mary) apa yang terjadi, Aku merasa hancur dan menangis terisak seperti anak kecil."[50]
Pada hari turun takhta, Oireachtas, parlemen Negara Bebas Irlandia, menghilangkan semua penyebutan secara langsung monarki yang berkuasa dari konstitusi Irlandia. Hari esoknya, disahkan Undang-undang Hubungan Eksternal, yang memberikan monarki yang berkuasa kekuasaan terbatas (bahkan batas yang ketat untuk monarki yang berkuasa untuk meberi nasehat kepada pemerintahan) untuk menunjuk perwakilan diplomatik untuk Irlandia atau terlibat dalam perjanjian luar negeri yang dilakukan Irlandia. Dua undang-undang ini secara esensi membuat Negara Bebas Irlandia menjadi sebuah republik tanpa menghilangkan ikatan mereka sebagai anggota Persemakmuran.[51]
Di sisi lain, gosip beredar ke seluruh penjuru Inggris yang menyatakan bahwa Albert secara fisik dan psikis tidak memiliki kemampuan untuk menjalankan tugas sebagai raja. Albert sendiri sebenarnya juga mengkhawatirkan hal ini. Tidak ada bukti yang ditemukan untuk mendukung rumor bahwa pemerintah akan mempertimbangkan akan melewati Albert agar adiknya Pangeran George bisa menjadi raja.[52]
Awal kekuasaan
Albert menggunakan nama regnal "George VI" untuk mempertegas keberlanjutan dari ayahnya dan untuk memperbaiki kepercayaan diri kerajaan.[53] Awal kekuasaan George VI diawali dengan pertanyaan mengenai pendahulunya, mengenai gelar, gaya dan posisinya yang belum mendapat kepastian. Edward disebut sebagai "Yang Mulia Kerajaan Pangeran Edward" dalam siaran turun takhtanya,[54] namun George VI merasa bahwa dengan turun takhta dan meninggalkan kekuasaan, Edward telah kehilangan hak untuk menyandang gelar dan gaya kerajaan termasuk "Yang Mulia Kerajaan".[55] Untuk mengatasi masalah ini, langkah pertama yang dilakukan George sebagai raja adalah memberi kakaknya tersebut gelar "Adipati Windsor" dengan gaya "Yang Mulia Kerajaan", namun dibuat juga surat paten mengenai pembentukan kadipaten ini dimana isinya mencegah pemilik gelar Adipati Windsor memberikan gelar kepada istri dan anak-anaknya. Sehingga, istri dan anak-anak Adipati Windsor tidak berhak atas gelar kerajaan. George VI dipaksa untuk membeli properti kerajaan seperti Istana Balmoral dan Sandringham House dari Edward, karena status bangunan tersebut adalah kepemilikan pribadi dan tidak otomatis diwariskan kepadanyaa sebagai Raja.[56] Tiga hari setelah menjadi raja, bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-41, ia menjadikan istrinya sebagai permaisuri yang baru (menggantikan Ratu Mary), dan dengan penghargaan Order of the Garter.[57]
Penobatan George VI di Westminster Abbey dilakukan pada 12 Mei 1937, pada tanggal dimana seharusnya dilakukan penobatan Edward VIII. Berbeda dengan tradisi biasanya, Ibu Suri Ratu Mary menghadiri upacara penobatan untuk menunjukkan dukungan kepada anaknya tersebut.[58] Tidak ada acara Durbar yang diadakan di Delhi untuk George VI, seperti yang terjadi saat penobatan George V, karena biaya dari acara tersebut menjadi tanggungan dari Pemerintah India.[59] Munculnya gerakan nasionalisme India membuat bahwa pesta kerajaan seperti itu akan diredam sebisa mungkin,[60] dan ketidakhadiran Inggris yang cukup lama disana membuatnya menjadi tidak diinginkan dalam periode sebelum Perang Dunia II. Dua tur ke luar negeri dilakukan, ke Prancis dan Amerika Utara, keduanya menjanjikan keuntungan strategis yang lebih besar jika terjadi perang.[61]
Perang Dunia II
Pada September 1939, Kerajaan Britania Raya dan para Dominionnya kecuali Irlandia mendeklarasikan perang terhadap Jerman Nazi.[62] Raja George VI dan permaisurinya memutuskan untuk tetap tinggal di London, meskipun Jerman melakukan serangan bom. Mereka secara resmi tinggal di Istana Buckingham selama perang, walaupun mereka biasanya menghabiskan malam di Kastil Windsor.[63] Malam pertama the Blitz di London pada 7 September 1940, membunuh lebih dari seribu warga sipil, kebanyakan di kawasan East End.[64] Pada 13 September, Raja dan Ratu nyaris terbunuh kala dua bom Jerman mendarat di halaman Istana Buckingham saat mereka berasa disana.[65] Dalam nada menantang, Ratu berkata: "Aku bersyukur kami telah dibom. Hal ini membuatku merasa kami bisa melihat East End di depan mata kami."[66] Keluarga kerajaan digambarkan berbagi bahaya dan kesusahan yang sama dengan seluruh negeri. Mereka tunduk pada aturan penjatahan yang ditetapkan pemerintah, dan Ibu Negara Amerika Serikat Eleanor Roosevelt berkomentar mengenai makanan jatah yang disediakan dan air mandi yang terbatas pada saat kunjungan ke Istana dalam kondisi yang tidak diberi pemanas saat musim dingin dan diberi lapisan papan perlindungan.[67] In August 1942, the King's brother, the Duke of Kent, was killed on active service.[68]
Pada tahun 1940, Winston Churchill menggantikan Neville Chamberlain sebagai Perdana Menteri, walaupun secara pribadi George lebih suka untuk menunjuk Lord Halifax menjadi Perdana Menteri.[69] Setelah kecemasannya pada awal pemerintahan Churchill karena penunjukkan Lord Beaverbrook ke dalam Kabinet, ia dan Churchill malah mnejadi dekat dan digambarkan sebagai "hubungan personal terdekat dalam sejarah Inggris modern antara Monarki dan Perdana Menteri".[70] Setiap Selasa dalam empat tahun setengah sejak September 1940, keduanya bertemu secara pribadi untuk makan siang dan mendiskusikan perang baik secara rahasia maupun terang-terangan.[71] Raja George VI telah menuangkan banyak dari yang mereka diskusikan dalam buku hariannya, dimana itu merupakan satu-satunya sumber yang menceritakan apa yang mereka bicarakan.[72]
Selama perang, Raja dan Ratu memberikan suntikan moral melalui kunjungan yang mereka lakukan di penjuru Inggris. Mereka mengunjungi wilayah yang terkena bom, pabrik amunisi, dan para pasukan. Raja mengunjungi pasukan militer di luar negeri untuk pertama kalinya di Prancis pada Desember 1939, lalu ke Afrika Utara dan Malta pada Juni 1943, Normandy pada Juni 1944, bagian selatan Italia pada Juli 1944, dan Negara-negara Dataran Rendah pada Oktober 1944.[73] Kemunculan mereka yang sering dan terlihat tanpa lelah menjadikan mereka sebagai simbol perlawanan nasional.[74] Pada sebuah pertemuan di tahun 1944, Kepala Staf Jenderal Imperium, Marsekal Lapangan Sir Alan Brooke, mengemukakan bahwa setiap saat ia bertemu Marsekal Lapangan Sir Bernard Montgomery, ia berpikir bahwa Montgomery bekerja melebihi apa yang ia telah kerjakan. Raja menjawab: "Kau harusnya khawatir, ketika aku bertemu dengannya, aku selalu berpikir ia sudah melebihiku!"[75]
Pada tahun 1945, warga yang berkumpul berteriak "Kami mau Raja!" di depan Istana Buckingham dalam perayaan Hari Kemenangan di Eropa. Dalam suasana yang sama seperti saat Raja mengundang Chamberlain setelah mengumumkan perdamaian dengan Jerman (yang mana dilanggar Jerman dan meletuslah PD II), Raja mengundang Churchill ikut serta bersama keluarga kerajaan di langkan istana untuk tampil di depan umum.[76] Pada Januari 1946, George menghadiri pertemuan pertama Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang diadakan di London, dan mengatakan "kita berkeyakinan pada kesetaraan hak pada laki-laki dan perempuan dan untuk negara besar maupun kecil".[77]
Dari imperium menjadi persemakmuran
Masa kekuasaan Raja George VI menjadi saksi proses pembubaran Imperium Britania. Dalam Statuta Westminster 1931 telah dijabarkan perubahan dari Dominion menjadi beberapa negara-negara berdaulat yang terpisah. Proses transformasi dari sebuah imperium menjadi asosiasi negara-negara independen yang dikenal dengan nama Persemakmuran, dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia II.[78] Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Clement Attlee, India Britania menjadi dua dominion independen India dan Pakistan pada 1947.[79] George menanggalkan gelar Kaisar India, dan menjadi Raja India dan Raja Pakistan. Pada tahun 1950 ia berhenti menjadi Raja India ketika negara tersebut berubah menjadi republik di dalam Persemakmuran dan menjadikannya memiliki jabatan baru sebagai Kepala Persemakmuran; George tetap menjadi Raja Pakistan hingga kematiannya. Beberapa negara meninggalkan persemakmuran seperti Burma pada Januari 1948, Palestina (yang terbagi menjadi Israel dan sebuah negara Arab) pada Mei 1948 dan Republik Irlandia pada tahun 1949.[80]
Pada tahun 1947, Raja George dan keluarganya menjalani tur ke Afrika bagian selatan.[81] Perdana Menteri Uni Afrika Selatan, Jan Smuts, menhadapi pemilihan umum dan berharap modal politik dari kunjungan Raja.[82] Raja George terkejut ketika diarahkan untuk hanya menyalami orang kulit putih saja,[83] dan menyebut pengawal Afrika Selatannya sebagai "Gestapo".[84] Meskipun telah dikunjungi Raja, Smuts kalah dalam pemilihan umum pada tahun berikutnya, dan pemerintahan yang baru mencanangkan kebijakan ketat mengenai segregasi rasial.
Penyakit dan kematian
Tekanan yang dialami saat perang berpengaruh terhadap kesehatan Raja,[85][86] hal ini diperparah dengan kebiasaannya sebagai perokok berat[87] mengakibatkan berkembangnya kanker paru-paru dan beberapa penyakit lainnya, seperti arteriosklerosis dan penyakit Buerger. Sebuah tur kerajaan yang dijadwalkan menuju Australia dan Selandia Baru ditunda karena Raja menderita penyumbatan pembuluh darah di kaki kanannya, yang dapat mengakibatkan diamputasinya kaki kanan Raja. Hal ini diatasi dengan prosedur operasi yang benar pada Maret 1949.[88]
Anak sulungnya, Elizabeth, sebagai pewaris takhta, mengambil alih tugas kerajaan saat kesehatan ayahnya mulai menurun. Tur yang sempat tertunda ditata kembali dan Elizabeth bersama suaminya, Adipati Edinburgh, menggantikan posisi Raja dan Ratu. Raja George VI cukup sehat untuk membuka Festival Britania pada Mei 1951, namun pada 23 September 1951, paru-paru kirinya diangkat oleh Clement Price Thomas setelah ditemukan adanya tumor ganas didalamnya.[89] Pada Oktober 1951, Elizabeth dan Philip pergi dalam tur sepanjang satu bulan ke Kanada; perjalanan tur ini sempat ditunda sepekan karena penyakit Raja. Pada Upacara Pembukaan Parlemen di bulan November, pidato dari singgasana yang biasanya dilakukan oleh Raja, dibacakan mewakili dirinya oleh Lord Chancellor, Lord Simonds.[90] Pidato siaran Natal Raja pada tahun 1951 direkam dalam beberapa bagian lalu disatukan.[91]
Pada 31 January 1952, meskipun telah mendapat masukan dari beberapa orang dekatnya, Raja George pergi ke Bandar Udara London[a] untuk melihat Elizabeth dan Philip berangkat untuk tur mereka ke Australia melewati Kenya. Pada pukul 07:30 GMT pagi hari tanggal 6 Februari, ia meninggal di tempat tidurnya di Sandringham House yang terletak di Norfolk.[93] Ia meninggal karena trombosis koroner.[94] Anak perempuannya itu lalu langsung kembali ke Inggris dari Kenya sebagai Ratu Elizabeth II.[95]
Selama dua hari dari tanggal 9 Februari peti matinya disemayamkan di St Mary Magdalene Church, Sandringham, sebelum dibawa untuk pembaringan kenegaraan di Istana Westminster pada 11 Februari.[96] Pemakamannya dilakukan di Kapel St George, Kastil Windsor, pada tanggal 15.[97] Ia awalnya dimakamkan di Royal Vault hingga dipindahkan ke Kapel Memorial Raja George VI di dalam Kapel St George pada 26 Maret 1969.[98] Pada tahun 2002, lima puluh tahun setelah kematiannya, jasad jandanya, Ibu Suri Elizabeth dan abu dari anak keduanya Putri Margaret, yang mana keduanya meninggal pada tahun yang sama, dimakamkan bersama di dalam kapel bersama dengan jasad Raja George VI.[99]
Peninggalan
Anggota parlemen dari Partai Buruh George Hardie, berkata bahwa krisis turun takhta pada tahun 1936 "melakukan lebih untuk gerakan republikanisme daripada propaganda selama 50 tahun".[100] George VI menulis surat pada kakaknya Edward bahwa akibat dari turun takhta Edward, ia harus menanggung beban duduk di "singgasana yang goyah" dan mencoba "membuatnya teguh kembali".[101] Ia menjadi raja dimana kepercayaan publik kepada kerajaan sedang berada di titik yang paling rendah. Selama ia berkuasa, rakyat Inggris mengalami kesusahaan kala perang, dan kekuasaan imperiumnya terkikis. Namun, ia adalah seseorang yang bertanggung jawab atas tugasnya dan menyayangi keluarganya. Dan dengan menujukkan keberanian dirinya, ia berhasil mengembalikan kepercayaan dan popularitas kerajaan.[102][103]
Salib George dan Medali George dicetuskan oleh Raja George VI selama Perang Dunia II untuk memberi penghargaan terhadap warga sipil yang telah melakukan hal yang luar biasa dan berani.[104] Ia menganugerahi Salib George pada seluruh "benteng pulau di Malta" pada tahun 1943.[105] Ia dianugerahi Ordre de la Libération oleh Pemerintah Prancis pada tahun 1960 secara anumerta, sebagai satu dari dua orang (penerima lainnya adalah Churchill) yang diberi medali ini setelah tahun 1946.[106]
Colin Firth memenangkan Aktor Terbaik Oscar dalam penampilan aktingnya sebagai Raja George VI dalam The King's Speech, film yang juga memenangkan Film Terbaik Oscar.
Gelar, gaya, penghargaan dan lambang
Gelar dan gaya
- 14 Desember 1895 – 28 Mei 1898: Yang Mulia Pangeran Albert dari York
- 28 Mei 1898 – 22 Januari 1901: Yang Mulia Pangeran Albert dari York
- 22 Januari 1901 – 9 November 1901: Yang Mulia Pangeran Albert dari Cornwall dan York
- 9 November 1901 – 6 Mei 1910: Yang Mulia Pangeran Albert dari Wales
- 6 Mei 1910 – 4 Juni 1920: His Yang Mulia Pangeran Albert
- 4 Juni 1920 – 11 Desember 1936: Yang Mulia Adipati York
- 11 Desember 1936 – 6 Februari 1952: Yang Mulia Raja
- Di India Inggris, 11 Desember 1936 – 14 Agustus 1947: Yang Mulia Raja, Kaisar India[107]
George memegang banyak gelar sepanjang hidupnya, yang diwariskan sebagai cicit, cucu anak anak raja. Sebagai raja, ia hanya disebut sebagai Sang Raja atau Yang Mulia. Dalam posisinya sebagai raja, George secara otomatis memegang posisi sebagai Panglima tertinggi (Bahasa Inggris : Commander-in-chief).
Lambang
Sebagai Adipati York, George memakai lambang Kerajaan Inggris yang ditambahkan dengan label argent tiga titik, dimana titik yang berada ditengah terdapat azure sebagai penumpu – berbeda dari yang pernah dianugerahkan kepada ayahnya George V, saat masih menjadi Adipati York, dan yang kemudian dianugerahkan kepada cucunya Pangeran Andrew, Adipati York. Sebagai raja, George memakai lambang Kerajaan Inggris yang tidak memiliki tambahan.[108]
Lambang sebagai Adipati York | Lambang sebagai Raja Britania Raya (kecuali Skotlandia) | Lambang raja yang digunakan di Skotlandia | Lambang raja yang digunakan di Kanada |
Keturunan
Nama | Lahir | Meninggal | Menikah Tanggal | Pasangan |
Anak | |
---|---|---|---|---|---|
Ratu Elizabeth II | 21 April 1926 | 20 November 1947 | Pangeran Philip, Adipati Edinburgh | Charles, Pangeran Wales Anne, Putri kerajaan Pangeran Andrew, Adipati York Pangeran Edward, Earl dari Wessex | |
Putri Margaret | 21 Agustus 1930 | 9 Februari 2002 | 6 Mei 1960 Bercerai 11 Juli 1978 |
Antony Armstrong-Jones, Earl Snowdon ke-1 | David Armstrong-Jones, Earl of Snowdon ke-2 Lady Sarah Chatto |
Leluhur
Catatan
Referensi
- ^ Rhodes James, p. 90; Weir, p. 329
- ^ Weir, pp. 322–323, 329
- ^ Judd, p. 3; Rhodes James, p. 90; Townsend, p. 15; Wheeler-Bennett, pp. 7–8
- ^ Judd, pp. 4–5; Wheeler-Bennett, pp. 7–8
- ^ Wheeler-Bennett, pp. 7–8
- ^ The Times, Tuesday 18 February 1896, p. 11
- ^ Judd, p. 6; Rhodes James, p. 90; Townsend, p. 15; Windsor, p. 9
- ^ Bradford, p. 2
- ^ Wheeler-Bennett, pp. 17–18
- ^ Kushner, Howard I. (2011), "Retraining the King's left hand", The Lancet, 377 (9782): 1998–1999, doi:10.1016/S0140-6736(11)60854-4, PMID 21671515
- ^ Matthew, H. C. G. (2004), "George VI (1895–1952)", Oxford Dictionary of National Biography
- ^ Bradford, pp. 41–45; Judd, pp. 21–24; Rhodes James, p. 91
- ^ Judd, pp. 22–23
- ^ Judd, p. 26
- ^ Judd, p. 186
- ^ "Royal Connections", Aberdeen Medico-Chirugical Society, diakses tanggal 16 January 2019
- ^ Bradford, pp. 55–76
- ^ Bradford, p. 72
- ^ Bradford, pp. 73–74
- ^ Wheeler-Bennett, p. 115
- ^ Judd, p. 45; Rhodes James, p. 91
- ^ Wheeler-Bennett, p. 116
- ^ Boyle, Andrew (1962), "Chapter 13", Trenchard Man of Vision, St James's Place London: Collins, hlm. 360
- ^ Judd, p. 44
- ^ Heathcote, Tony (2012), The British Field Marshals: 1736–1997: A Biographical Dictionary, Casemate Publisher, ISBN 978-1783461417
- ^ Judd, p. 47; Wheeler-Bennett, pp. 128–131
- ^ Wheeler-Bennett, p. 128
- ^ Weir, p. 329
- ^ Current Biography 1942, p. 280; Judd, p. 72; Townsend, p. 59
- ^ Judd, p. 52
- ^ Judd, pp. 77–86; Rhodes James, p. 97
- ^ Henderson, Gerard (31 January 2014), "Sheila: The Australian Ingenue Who Bewitched British Society – review", Daily Express, diakses tanggal 15 March 2015
- ^ Australian Associated Press (28 February 2014), A Sheila who captured London's heart, Special Broadcasting Service, diakses tanggal 14 March 2015
- ^ Rhodes James, pp. 94–96; Vickers, pp. 31, 44
- ^ Bradford, p. 106
- ^ Bradford, p. 77; Judd, pp. 57–59
- ^ Roberts, Andrew (2000), Antonia Fraser, ed., The House of Windsor, London: Cassell & Co., hlm. 57–58, ISBN 978-0-304-35406-1
- ^ Reith, John (1949), Into the Wind, London: Hodder and Stoughton, hlm. 94
- ^ Judd, pp. 89–93
- ^ Judd, p. 49
- ^ Judd, pp. 93–97; Rhodes James, p. 97
- ^ Judd, p. 98; Rhodes James, p. 98
- ^ Current Biography 1942, pp. 294–295; Judd, p. 99
- ^ Judd, p. 106; Rhodes James, p. 99
- ^ Shawcross, p. 273
- ^ Judd, pp. 111, 225, 231
- ^ Howarth, p. 53
- ^ Ziegler, p. 199
- ^ Judd, p. 140
- ^ Wheeler-Bennett, p. 286
- ^ Townsend, p. 93
- ^ Bradford, p. 208; Judd, pp. 141–142
- ^ Howarth, p. 66; Judd, p. 141
- ^ Judd, p. 144; Sinclair, p. 224
- ^ Howarth, p. 143
- ^ Ziegler, p. 326
- ^ Bradford, p. 223
- ^ Bradford, p. 214
- ^ Vickers, p. 175
- ^ Bradford, p. 209
- ^ Bradford, pp. 269, 281
- ^ Judd, pp. 171–172; Townsend, p. 104
- ^ Judd, p. 183; Rhodes James, p. 214
- ^ Arnold-Forster, Mark (1983) [1973], The World at War, London: Thames Methuen, hlm. 303, ISBN 978-0-423-00680-3
- ^ Churchill, Winston (1949), The Second World War, II, Cassell and Co. Ltd, hlm. 334
- ^ Judd, p. 184; Rhodes James, pp. 211–212; Townsend, p. 111
- ^ Goodwin, Doris Kearns (1994), No Ordinary Time: Franklin and Eleanor Roosevelt: The Home Front in World War II, New York: Simon & Schuster, hlm. 380
- ^ Judd, p. 187; Weir, p. 324
- ^ Judd, p. 180
- ^ Rhodes James, p. 195
- ^ Rhodes James, pp. 202–210
- ^ Weisbrode, Kenneth (2013), Churchill and the King, New York: Viking, pp. 107, 117–118, 148, 154–155, 166. ISBN 978-0670025763.
- ^ Judd, pp. 176, 201–203, 207–208
- ^ Judd, p. 170
- ^ Reagan, Geoffrey (1992), Military Anecdotes, Guinness, hlm. 25, ISBN 978-0-85112-519-0
- ^ Judd, p. 210
- ^ Townsend, p. 173
- ^ Townsend, p. 176
- ^ Townsend, pp. 229–232, 247–265
- ^ Townsend, pp. 267–270
- ^ Townsend, pp. 221–223
- ^ Judd, p. 223
- ^ Rhodes James, p. 295
- ^ Rhodes James, p. 294; Shawcross, p. 618
- ^ King George VI, Official website of the British monarchy, 12 January 2016, diakses tanggal 18 April 2016
- ^ Judd, p. 225; Townsend, p. 174
- ^ Judd, p. 240
- ^ Rhodes James, pp. 314–317
- ^ Bradford, p. 454; Rhodes James, p. 330
- ^ Rhodes James, p. 331
- ^ Rhodes James, p. 334
- ^ About Heathrow Airport: Heathrow's history, LHR Airports, diakses tanggal 9 March 2015
- ^ 1952: King George VI dies in his sleep, BBC, 6 February 1952, diakses tanggal 29 May 2018
- ^ Judd, pp. 247–248
- ^ The day the King died, BBC, 6 February 2002, diakses tanggal 29 May 2018
- ^ "Repose at Sandringham", Life, Time Inc, hlm. 38, 18 February 1952, ISSN 0024-3019, diakses tanggal 26 December 2011
- ^ Zweiniger‐Bargielowska, Ina (2016), "Royal death and living memorials: the funerals and commemoration of George V and George VI, 1936–52", Historical Research, 89 (243): 158–175, doi:10.1111/1468-2281.12108
- ^ Royal Burials in the Chapel since 1805, Dean & Canons of Windsor, diarsipkan dari versi asli tanggal 27 September 2011, diakses tanggal 15 February 2010
- ^ Mourners visit Queen Mother's vault, BBC News, 10 April 2002, diakses tanggal 2 March 2018
- ^ Hardie in the British House of Commons, 11 December 1936, quoted in Rhodes James, p. 115
- ^ Letter from George VI to the Duke of Windsor, quoted in Rhodes James, p. 127
- ^ Ashley, Mike (1998), British Monarchs, London: Robinson, hlm. 703–704, ISBN 978-1-84119-096-9
- ^ Judd, pp. 248–249
- ^ Judd, p. 186; Rhodes James, p. 216
- ^ Townsend, p. 137
- ^ List of Companions (PDF), Ordre de la Libération, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 6 March 2009, diakses tanggal 19 September 2009
- ^ "The Gazette of India – Extraordinary" (PDF), Press Information Bureau of India – Archive, diakses tanggal 6 July 2017
- ^ Velde, François (19 April 2008), Marks of Cadency in the British Royal Family, Heraldica, retrieved 22 April 2009