Lompat ke isi

Bubuhan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 20 Februari 2006 07.49 oleh *drew (bicara | kontrib) (sedikit copyedit, perlu di{{rapikan}}kan)

Bubuhan adalah unit kesatuan famili atau kekerabatan biasanya sampai derajat sepupu dua atau tiga kali, bersama-sama para suami atau kadang-kadang dengan para isteri mereka. Anggota bubuhan tinggal di rumah masing-masing, (dahulu) dalam suatu lingkungan yang nyata batas-batasnya. Diantara anggota bubuhan ini terdapat seseorang yang menonjol sehingga dianggap sebagai pemimpin bubuhan yang disebut tatuha bubuhan. Pemukiman terbentuk dari satu atau beberapa bubuhan.

Pengislaman bubuhan

Suku bangsa Melayu — yang menjadi inti masyarakat Banjar — memasuki daerah ini ketika dataran dan rawa-rawa yang luas — yang kini membentuk bagian besar Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah — masih merupakan teluk raksasa yang jauh menjorok ke pedalaman.

Suku bangsa Melayu ini,- dengan melalui laut Jawa-memasuki teluk raksasa tersebut, lalu memudiki sungai-sungai yang bermuara ke sana, belakangan menjadi cabang-cabang sungai Negara, yang semuanya berhulu di kaki Pegunungan Meratus. Mereka disertai kelompok bubuhan-nya, dan oleh elit daerah, juga diikuti warga bubuhannya, dan demikianlah seterusnya sampai bubuhan rakyat jelata di tingkat bawah.

Dengan masuk Islam-nya para bubuhan, kelompok demi kelompok, maka dalam waktu relatif singkat Islam akhirnya telah menjadi identitas orang Banjar dan merupakan cirinya yang pokok, meskipun pada mulanya ketaatan menjalankan ajaran Islam tidak merata.

Dapat dikatakan bahwa pada tahapan permulaan berkembangnya Islam tersebut, kebudayaan Banjar telah memberi bingkai dan Islam telah terintegrasikan ke dalamnya; dengan masuk Islamnya bubuhan secara berkelompok, kepercayaan Islam diterima sebagai bagian dari kepercayaan bubuhan.

Menurut Alfani Daud (1997 : 50),pada dasarnya masyarakat Banjar merupakan penganut Islam yang taat, walaupun terdapat pengaruh kepercayaan lama. Corak keislaman orang Banjar mencakup konsepsi-konsepsi dari imigran-imigran Melayu yang menjadi nenek moyang orang Banjar, dari sisa-sisa kepercayaan Hindu, dan sisa-sisa kepercayaan Dayak yang ikut membentuk suku bangsa Banjar.

Pemerintahan bubuhan tempo dulu

Kenyataan bahwa bubuhan memeluk Islam secara berkelompok telah memberikan warna pada keislaman masyarakat kawasan ini, yaitu pada asasnya diintegrasikannya kepercayaan Islam ke dalam kepercayaan bubuhan, yaitu kepercayaan yang dianut oleh warga bubuhan yang sama terjadi pada masyarakat Dayak Bukit sampai setidak-tidaknya belum lama berselang.

Kelompok bubuhan dipimpin oleh warganya yang berwibawa. Sama halnya dengan masyarakat balai saat ini, kepala bubuhan yang pada masa kesultanan sering disebut sebagai asli, berfungsi sebagai tokoh yang berwibawa, sebagai tabib, sebagai kepala pemerintahan dan mewakili bubuhan bila berhubungan dengan pihak luar, sama halnya seperti kepala balai yang biasanya seorang balian, bagi masyarakat Dayak Bukit sampai belum lama ini.

Ketika terbentuk pusat kekuasaan, kelompok masyarakat bubuhan diintegrasikan ke dalam ke dalamnya; kewibawaan kepala bubuhan terhadap warganya diakui. Biasanya sebuah kelompok bubuhan membentuk sebuah anak kampung, gabungan beberapa masyarakat bubuhan membentuk sebuah kampung, dan salah satu kepala bubuhan yang paling berwibawa diakui sebagai kepala kampung itu.

Untuk mengkoordinasikan beberapa buah kampung ditetapkan seorang lurah, suatu jabatan Kesultanan di daerah yang dahulu disebut banua, yaitu biasanya seorang kepala bubuhan yang berwibawa pula.

Beberapa lurah dikoordinasikan oleh seorang lalawangan, suatu jabatan yang mungkin dapat disamakan dengan jabatan bupati di Jawa pada kurun yang sama. Dengan sendirinya seorang yang menduduki jabatan yang formal sebagai mantri atau penghulu merupakan tokoh pula dalam lingkungan bubuhannya.

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa sistem pemerintahan pada masa kesultanan, dan mungkin regim-regim sebelumnya, diatur secara hirarkis sebagai pemerintahan bubuhan. Di tingkat pusat yang berkuasa ialah bubuhan raja-raja, yang terdiri dari sultan dan kerabatnya ditambah pembesar-pembesarkerajaan (baca:mantri-mantri).

Pada tingkat daerah memerintah tokoh-tokoh bubuhan, mulai dari lurah-lurah, yang dikoordinasikan oleh seorang lalawangan; berikutnya ialah kepala-kepala kampung, yang adalah seorang tokoh bubuhan, semuanya yang paling berwibawa di dalam lingkungannya, dan membawahi beberapa kelompok rakyat jelata pada tingkat paling bawah. Peranan bubuhan ini sangat dominan pada zaman sultan-sultan. dan masih sangat kuat pada permulaan pemerintahan Hindia Belanda. Belakangan memang dilakukan perombakan-perombakan; jabatan kepala pemerintahan di desa (kampung) tidak lagi melalui keturunan, melainkan melalui pendidikan.

Rujukan