Lompat ke isi

Tanpa anak

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 24 Oktober 2019 09.50 oleh Tulsi (bicara | kontrib) (fixing doi from hijacked website, see here)


Childfree adalah sebuah keputusan atau pilihan hidup untuk tidak memiliki anak, baik itu anak kandung, anak tiri, ataupun anak angkat.

Penggunaan istilah Childfree untuk menyebut orang-orang yang memilih untuk tidak memiliki anak ini mulai muncul di akhir abad 20.

Bagi kebanyakan masyarakat dan dalam sejarah manusia pada umumnya, keputusan untuk menjadi childfree sangatlah sulit dan tidak diharapkan. Ketersediaan alat kontrasepsi yang tepercaya sejalan dengan persiapan matang untuk kehidupan pada hari tua membuat childfree menjadi pilihan di berbagai negara maju meskipun keputusan ini mendapatkan penilaian negatif bagi sebagian masyarakat.

Sejarah

Istilah Childfree dibuat dalam bahasa Inggris di akhir abad ke 20.[1]

St. Augustine sebagai pengikut kepercayaan Maniisme, percaya bahwa membuat anak adalah suatu sikap tidak bermoral, dan dengan demikian (sesuai sistem kepercayaannya) menjebak jiwa-jiwa dalam tubuh yang tidak kekal.[2] Untuk mencegahnya, mereka mempraktikkan penggunaan kontrasepsi dengan sistem kalender.[2]

Keyakinan Umum

Para pendukung gaya hidup childfree (e.g. Corinne Maier, Penulis asal Paris dalam bukunya "No Kids: 40 Reasons For Not Having Children") mengutip beragam alasan[3] dalam pandangan mereka:

  • sudah banyak tanggung jawab sosial dan keluarga, seperti menjadi perawat atau pengasuh utama dari orang tua, saudara atau pasangan yang disabel.
  • masalah finansial
  • kurangnya akses untuk mendukung jaringan dan sumber daya.
  • untuk kesejahteraan pribadi
  • adanya masalah kesehatan, termasuk kelainan genetik[4]
  • ketakutan bahwa aktivitas seksual akan berkurang[5]
  • beragam ketakutan (misalnya, pengalaman disekap atau kekecewaan) sama seperti ketakutan bagi seorang anak
  • kerusakan atau masalah dalam suatu hubungan
  • ketakutan akan perubahan fisik akibat kehamilan, childbirth experience,[6] dan masa pemulihan (misalnya berkurangnya daya tarik fisik)
  • keyakinan bahwa seseorang bisa memberikan kontribusi besar pada kemanusiaan lewat usahanya, bukan lewat cara membuat anak.
  • kesadaran akan ketidakmampuannya untuk menjadi orang tua yang sabar dan bertanggungjawab.
  • pandangan bahwa keinginan untuk membuat anak adalah suatu bentuk narcissism
  • tidak ada pasangan yang cocok
  • keyakinan bahwa adalah suatu tindakkan yang kurang tepat untuk membawa seorang anak yang tidak diinginkan ke dunia ini.
  • keyakinan bahwa adalah suatu tindakan yang kurang tepat untuk sengaja membuat anak sementara di luar ada banyak anak yang butuh diadopsi.
  • kepedulian akan dampak negatif pada lingkunan yang bisa mengancam seperti overpopulation, pollution, dan kelangkaan sumber daya alam.
  • antinatalism, keyakinan bahwa membuat manusia-manusia baru ke dalam dunia adalah suatu sikap immoral yang dilakukan turun termurun.
  • keyakinan akan kondisi bumi yang terus memburuk ke arah negatif sehingga menolak untuk membawa seorang anak ke dalam situasi yang kian memburuk tersebut (global warming effects,perang, kelaparan) Segala peristiwa buruk tersebut dapat membawa anak hidup dalam penderitaan hingga kematian.
  • keyakianan bahwa manusia cenderung memiliki anak karena alasan yang salah. (misalnya, ketakutan, tekanan sosial dari norma atau aturan budaya)
  • mengikuti ajaran agama yang menolak memiliki anak[7]
  • tidak suka pada anak-anak
  • ketidakyakinan akan stabilitas hubungan orang tua.
  • tidak tertarik
  • keyakinan bahwa mereka terlalu tua untuk punya anak
  • orientasi karier

Data Statistik dan penelitian

Berdasarkan pakar ekonomi David Foot dari University of Toronto, tingkat pendidikan seorang wanita adalah faktor paling penting dalam menentukan apakah dia memutuskan mau punya anak: makintinggi tinggi tingkat pendidikan, makin sedikit keinginan untuk memiliki anak. (atau, jika dia mau, makin sedikit jumlah anak yang ingin dimiliki) Secara keseluruhan, para peneliti telah mengobservasi bahwa para pasangan yang childfree lebih berpendidikan, dan mungkin karena hal ini, mereka cenderung ingin dipekerjakan dalam bidang manajemen dan profesional, pada kedua belah pihak atau pasangan untuk mendapatkan penghasilan yang tinggi dan untuk tinggal di are urban. Mereka juga cenderung kurang religius, dan tidak mengikuti aturan peran gender umum yang konvensional.[8]

Pendidikan

Di antara wanita berusia 35–44, wanita childfree yang tidak pernah menikah (82.5%) sedangkan wanita childfree menikah (12.9%). Ketika kelompok yang sama dianalisis berdasarkan tingkat pendidikan, meningkatnya level pendidikan berkorelasi dengan meningkatnya keinginan childfree: tidak lulus SMA (13.5%), lulus SMA (14.3%), pendidikan tinggi tanpa gelar (24.7%), Associate Degree (11.4%), S1 (18.2%) and S2/S3 (27.6%).[9][10]

Referensi