Lompat ke isi

Pemerintahan Nasional Direorganisasi Republik Tiongkok

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 11 November 2019 07.37 oleh Glorious Engine (bicara | kontrib) (Glorious Engine memindahkan halaman Republik Tiongkok-Nanjing ke Rezim Wang Jingwei)
Republik Tiongkok

中華民國
Zhōnghuá Mínguó
Chūka Minkoku
1940–1945
Semboyan和平反共建國
"Perdamaian, Anti-komunisme, Pembangunan Nasional"
Hujau gelap: Republik Tiongkok-Najing pada tahun 1939. Hijau terang: Mengjiang (dimasukkan sebagai wiayah pada tahun 1940).
Hujau gelap: Republik Tiongkok-Najing pada tahun 1939.
Hijau terang: Mengjiang (dimasukkan sebagai wiayah pada tahun 1940).
StatusNegara boneka Jepang
Ibu kotaNanking
Bahasa yang umum digunakanTionghoa
Jepang
PemerintahanRepublik
Presiden 
• 1940–1944
Wang Jingwei
• 1944–1945
Chen Gongbo
Wakil Presiden 
• 1940–1945
Zhou Fohai
Era SejarahPerang Dunia II
• Didirikan
30 Maret 1940
• Dibubarkan
10 Augustus 1945
Kode ISO 3166CN
Didahului oleh
Digantikan oleh
Pemerintahan Reformasi Republik Tiongkok
Pemerintahan Sementara Republik Tiongkok
Mengjiang
Republik Tiongkok (1912-1949)
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Pemerintahan Reorganisasi Nasional adalah nama pemerintahan kolaborator yang didirikan di Tiongkok dari tahun 1940-1945.[2] Pemerintahan dan negara ini dipimpin oleh mantan anggota Kuomintang (KMT) Wang Jingwei.

Wang Jingwei adalah pemimpin sayap kiri dari faksi Kuomintang yang dinamakan Kaum Reorganisasi. Kelompok ini sering bertentangan dengan Chiang Kai-shek. Setelah jatuhnya ibu kota Nanjing ke tangan tentara Jepang, pemerintahan Nasionalis terpaksa melarikan diri ke Chongqing. Pada tanggal 30 Maret 1940, pembelot-pembelot yang berada di bawah pengawasan tentara Jepang membentuk pemerintah kolaborator dan diklaim sebagai perwakilan yang sah dari Republik Tiongkok. Pemerintah Reorganisasi Nasional dibentuk dari pemerintahan korlaborator sebelumnya yang ada di Tiongkok utara dan tengah, yaitu Pemerintahan Reformasi Republik Tiongkok yang berbasis di Tiongkok timur, Pemerintahan Sementara Republik Tiongkok di Tiongkok utara, dan pemerintah Mengjiang yang ada di Mongolia Dalam, meskipun dalam kenyataannya Tiongkok Utara dan Mongolia Dalam relatif bebas dari pengaruh PRN. Meskipun menggunakan simbol-nama dan simbol negara yang sama dengan Pemerintahan Nasionalis di Chongqing, namun pemerintah ini hanya mendapat pengakuan internasional oleh negara pentandatangan Pakta Anti-Komintern, sedangkan Pemerintahan Nasionalis terus diakui oleh seluruh dunia sebagai satu-satunya wakil RT yang sah.

Republik Tiongkok yang dipimpin Pemerintahan Reorganisasi Nasional secara efektif adalah salah satu dari beberapa negara boneka dibawah kendali Jepang selama Perang Tiongkok-Jepang Kedua (1937-1945), dan PRN dimaksudkan untuk menyaingi legitimasi Pemerintah Nasionalis. Pemerintahan Reorganisasi Nasional menyatakan perang terhadap Sekutu pada tanggal 9 Januari 1943. Pada akhirnya, negara ini dan pemerintahannya dibubarkan menyusul kekalahan militer Jepang di akhir perang pada Agustus 1945.

Etimologi

Rezim ini juga secara tak resmi dikenal sebagai Pemerintahan Nasionalis Nanjing (Hanzi: ; Pinyin: Nánjīng Guó Mín Zhèng), Rezim Nanjing, atau dinamakan sesuai nama pemimpinnya Rezim Wang Jingwei (Hanzi: ; Pinyin: Wāng Jīngwèi Zhèngquán). Nama lain yang digunakan adalah Republik Tiongkok-Nanjing, Tiongkok-Nanjing, atau Tiongkok Baru.

Batas-batas politik

Secara teori, Pemerintahan Reorganisasi menguasai seluruh wilayah Tiongkok dengan pengecualian Manchukuo, yang diakui sebagai negara merdeka. Pada kenyataannya, Pemerintahan Reorganisasi hanya menguasai Jiangsu, Anhui, dan sektor utara Zhejiang, dimana semuanya awalnya menjadi wilayah yang dikuasai Jepang setelah 1937.

Oleh karena itu, batas-batas sebenarnya Pemerintah Reorganisasi berubah jika Jepang menguasai wilayah baru dalam perang. Selama serangan Jepang pada Desember 1941, Pemerintah Reorganisasi meluaskan kekuasaanya atas Hunan, Hubei, dan bagian provinsi Jiangxi. Pelabuhan Shanghai dan kota-kota Hankou dan Wuchang juga di bawah kendali Pemerintahan Reorganisasi setelah 1940.

Provinsi yang dikendalikan oleh Jepang seperti Shandong dan Hebei, secara teoretis adalah bagian dari PRN, meskipun sebenarnya daerah ini dikuasai oleh Komandan Front Utara Jepang dan berada dibawah pemerintahan yang dikendalikan Jepang secara terpisah dan berpusat di Beijing. Seperti Front Utara, sektor selatan memiliki komandan militer dan pemerintahan dari Jepang sendiri yang berpusat di Guangzhou. Setiap front bertindak sebagai unit militer sendiri, dengan administrasi politik dan ekonomi sendiri, juga serta komandan militer Jepang sendiri.

  • Jiangsu: 41,818 mi² (108,308 km²); ibu kota: Zhenjiang
  • Anhui: 51,888 mi² (134,389 km²); ibu kota: Anqing (juga termasuk ibu kota negara Nanjing)
  • Zhejiang: 39,780 mi² (103,030 km²); ibu kota: Hangzhou

Menurut sumber lain, jumlah ekspansi wilayah PRN selama periode 1940-an adalah 1,264,000 km².

Selama perang, Angkatan Darat Kekaisaran Jepang melakukan berbagai kekejaman di wilayah yang dikendalikan oleh Pemerintah Reorganisasi, seperti operasi "pembersihan" untuk menakut-nakuti rakyat. Jenderal Toshizō Nishio, Panglima Pasukan Ekspedisi Angkatan Darat Kekaisaran Jepang di daratan Tiongkok, kemudian digantikan oleh Jenderal Yasuji Okamura. Pada tanggal 9 September 1945, menyusul kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, pasukan Jepang di daerah ini menyerah kepada Jenderal Dia Yingqin dari tentara Chiang Kai-shek, Tentara Revolusioner Nasional.

Pemerintah, ekonomi, pendidikan dan kehidupan sehari-hari

Wang Jingwei adalah kepala Pemerintahan Reorganisasi Nasional

Administrasi politik dan pemerintah

Struktur administrasi Pemerintah Reorganisasi meliputi Legislatif Yuan dan Eksekutif Yuan. Keduanya berada dibawah presiden dan kepala negara Wang Jingwei. Namun, kekuatan politik yang nyata tetap berada ditangan Panglima Tentara Jepang Front Tiongkok Tengah dan lembaga politik Jepang yang dibentuk oleh penasihat Jepang. Jepang juga mendirikan berbagai partai dan gerakan nasionalis lokal untuk mendukung keinginan mereka.

Setelah memperoleh persetujuan Jepang untuk membentuk pemerintahan nasional, Wang Jingwei memerintahkan Kongres Perwakilan Kuomintang Keenam untuk mendirikan pemerintahan ini di Nanjing. Dedikasi terjadi di Ruang Konferensi, dan dua bendera yaitu bendera nasional "biru-langit putih-matahari merah-bumi" dan bendera "biru-langit putih-matahari" Partai Nasionalis diperkenalkan, mengapit potret besar Sun Yat-sen.

Pada hari pemerintahan baru dibentuk, dan sebelum sidang "Konferensi Politik Pusat" dimulai, Wang mengunjungi makam Sun di Gunung Ungu Nanjing dalam upaya untuk membangun legitimasi kekuasaannya sebagai pengganti Sun. Wang telah menjadi pejabat tingkat tinggi Pemerintah Nasionalis dan sebagai orang yang dekat dengan Sun, ia mentranskrip wasiat terakhir Sun, yaitu Perjanjian Zongli. Agar mendiskreditkan legitimasi pemerintah Chongqing, Wang mengadopsi bendera Sun dengan harapan hal ini dapat membuatnya sebagai penerus sah Sun dan membawa pemerintah kembali ke Nanjing.

Pemerintahan Nanjing dan Tiongkok Utara

Daerah kekusaan invasi tentara Jepang

Pemerintah Beijing (Administrasi Otonom Anti-Komunis Yi) berada di bawah panglima Front Jepang Tiongkok Utara sampai daerah Sungai Kuning jatuh dalam lingkup pengaruh Front Tiongkok Tengah. Selama periode yang sama, daerah tengah Zhejiang hingga Kanton dikuasai oleh Front Tiongkok Selatan. Terdapat juga wilayah-wilayah kecil, dimana sebagian besar wilayah ini independen serta memiliki mata uang dan pemimpin lokalnya sendiri. Wilayah-wilayah kecil ini sering bertentangan.

Wang Jingwei pergi ke Tokyo pada tahun 1941 untuk pertemuan dengan pengawas Jepangnya. Di Tokyo, Menteri Pemerintahan Nanjing dan Wakil Presiden Chou Fo-hai berkomentar kepada Asahi Shimbun bahwa lembaga yang dibentuk Jepang hanya membuat sedikit kemajuan di daerah Nanjing. Pernyataanya ini menimbulkan kemarahan dari Kumataro Honda, Duta Besar Jepang dan Konsulat di Nanjing. Chou Fo-hai mengajukan petisi untuk kontrol total provinsi sentral Tiongkok oleh PRN. Sebagai tanggapan, Letnan Jenderal AD Kekaisaran Jepang Teiichi Suzuki diperintahkan untuk memberikan bimbingan militer untuk rezim Wang Jingwei di Nanking, dan menjadi bagian dari kekuatan sebenarnya yang ada di balik pemerintahan Wang.

Dengan izin dari tentara Jepang, kebijakan monopoli umum diterapkan, untuk kepentingan zaibatsu Jepang dan perwakilan lokalnya. Meskipun perusahaan-perusahaan ini diduga diperlakukan sama seperti perusahaan-perusahaan lokal oleh pemerintah, Presiden Legislatif Yuan di Nanjing, Cheng Kung-po, menganggap bahwa pendapat Kaizo Jepang tidaklah benar. Pemerintahan Nanjing juga membuat kedutaan besarnya sendiri di Yokohama, Jepang (seperti yang dilakukan negara boneka Manchukuo).

Orang-orang penting

Wang Jingwei, Hideki Tojo dan Subhas Chandra Bose di Tokyo (1943)
Chen Gongbo, gubernur Shanghai dan Kepala Pemerintahan 1944-1945

Adminstrasi lokal:

  • Liang Hongzhi: Presidenn dan Kepala Negara pada masa-mas awal
  • Wang Jingwei: Presiden dan Kepala Negara
  • Chen Gongbo: Presiden dan Kepala Negara setelah kematian Wang, juga presiden Legislatif Yuan dan Gubenur daerah pendudukan Shanghai.
  • Zhou Fohai: Wapres dan Menteri keuangan di Legislatif Yuan
  • Jiang Kanghu: Kepala Yuan Pendidikan.
  • Kumataro Honda: Penasehat sipil dan politik PRN dan Duta Besar Jepang di Nanjing
  • Nobuyuki Abe: Penasehat politik Jepang di pemerintahan PRN
  • Teiichi Suzuki: Penasehat politik dan militer pemerintahan PRN
  • Bao Wenyue: Menteri Masalah Militer
  • Ren Yuandao: Menteri Angkatan Laut
  • Xiao Shuxuan: Kepala Staf Umum
  • Yang Kuiyi: Menteri Pelatihan Militer
  • Li Shiqun: Kepala No. 76, dinas rahasia PRN yang ditempatkan di Jalan Jessefield No. 76, Shanghai
  • Kaya Okinori: Nasionalis Jepang, pedagang, dan penasihat komersial PRN
  • Chu Minyi: Duta Besar PRN di Yokohama, Japan
  • Tao Liang: Pemilik tanah terkenal di Tiongkok dan pejabat pemerintah PRN
  • Chao Kung: (Ignaz Trebitsch-Lincoln), pemimpin agama Buddha yang diakui

Perwakilan asing dan personel diplomatik:

Ekonomi

Ekonomi lokal dikelola terutama untuk Tentara Front Sentral Jepang. Perencana militer memberlakukan "ekonomi pendudukan" dengan uang perang (Yen militer dan Yuan Tiongkok), dan Bank Sentral Tiongkok yang seharusnya adalah entinitas Tiongkok, tetapi malah dikelola oleh penasehat Jepang dan tentara Jepang di daerah ini. Tiongkok dibawah rezim PRN memiliki akses yang lebih besar untuk mendapat barang mewah di masa perang, dan pihak Jepang dapat menikmati benda-benda seperti korek api, beras, teh, kopi, cerutu, makanan dan minuman beralkohol, yang semuanya langka di Jepang. Hiburan tambahan, seperti pelacuran, kasino dan bar, dikelola oleh fungsionaris Jepang dan lokal untuk kepentingan militer. Tujuan dari kontrol ini diduga untuk menghambat depresiasi moneter dari yen, sehingga dapat menjaga kekuatan mata uang Jepang di wilayah ini.

Di wilayah yang diduduki Jepang, harga kebutuhan pokok naik secara substansial. Di Shanghai pada tahun 1941, harga barang naik hinga sebelas kali lipat. Inflasi serupa terjadi di Manchukuo, meskipun kendali ekonomi sangat terpusat oleh Jepang.

Pendidikan

Pendidikan yang dilakukan serupa seperti di semua wilayah yang diduduki Jepang. Strateginya adalah untuk menciptakan tenaga kerja yang cocok untuk pabrik-pabrik dan tambang, serta untuk tenaga kerja manual. Jepang juga berusaha untuk memperkenalkan budaya dan pakaian mereka ke Tiongkok. Keluhan-keluhan seperti di Manchukuo, menuntut dan menyerukan pengembangan pendidikan yang lebih bermakna Tiongkok. Kuil Shinto dan pusat kebudayaan yang sama dibangun untuk menanamkan budaya dan nilai-nilai Jepang. Kegiatan ini terhenti pada akhir perang.

Kehidupan shari-hari

Kehidupan sehari-hari sering sulit di Tiongkok yang dikuasai PRN, dan semakin sulit saat kondisi perang berbalik melawan Jepang (sek. 1943). Penduduk setempat terpaksa melakukan pasar gelap untuk mendapatkan barang-barang yang diperlukan atau untuk mempengaruhi lembaga yang berkuasa. Kempetai dan Tokko Jepang, polisi korlaborator Tiongkok, dan warga negara Tiongkok yang bekerja di lembaga-lembaga/orang Jepang, semua bekerja untuk menyensor informasi, memantau oposisi, dan menyiksa musuh dan pembangkang. agen rahasia "dalam negeri" Tewu, dibentuk dengan "penasihat" tentara Jepang.

Jepang juga mendirikan pusat-pusat penahanan tawanan perang, kamp-kamp konsentrasi, dan pusat pelatihan Kamikaze untuk mengindoktrinasi pilot sebagai anggota Angkatan Laut Kōkūtai Shanghai (dilengkapi dengan Mitsubishi A6M Reisen, Yokosuka K5Y, Nakajima B5N dan beberapa pesawat amfibi). Nakajima/Kugisho L3Y1/2 dari Skuadron Pangkalan Tsingtao, dipisahkan di Tsingtao sebagai bagian dari Shina Homen Kantai' (Armada Wilayah Tiongkok) di antara Angkatan Darat I/II Chutai dari Hiko Sentai ke-85 dan Senai ke-9 (dilengkapi dengan Ki-44 Shoki/Ki-84 Hayate). Kedua unit tersebut dipusatkan di Shanghai dan Nanjing.

Kontrol media

Dinding rumah dengan slogan berbunyi: "Dukung Tuan Wang Jingwei!"

Pemerintahan Nanjing membentuk "Biro Manajemen Surat Kabar" dibawah "Departemen Propaganda" pada bulan Oktober 1940. Empat lembaga pers dibentuk pada tahun 1941, meskipun semuanya secara resmi dikendalikan oleh dan disensor oleh Departemen Propaganda.

Populasi

Populasi mungkin jumlahnya hampir mirip dengan angka dari tahun 1937-1938 yang berasal Kementerian Luar Negeri, dengan tidak memperhitungkan dari daerah luar atau daerah yang diduduki setelah kemenangan perperangan:

  • Jiangsu: 15,804,623
  • Anhui: 23,354,188
  • Zhejiang: 21,230,749

Populasi kota-kota besar meliputo:

  • Nanjing: 1,100,000
  • Shanghai: 3,703,430 (termasuk 75,000 orang asing)
  • Suzhou: 576,000
  • Hangzhou: 389,000
  • Shaoxing: 250,000
  • Ningbo: 250,000
  • Hankow: 804,526 (saat penguasaan sementara)

Penghitungan populasi lain menghasilkan:

  • Shanghai: 3,500,000
  • Hankow: 778,000

Sumber lain pada tahun 1940 melaporkan bahwa jumlah penduduk bertambah menjadi 182,000,000.

Pertahanan Nasional

Presiden Wang Jingwei saat parade militer pada ulang tahun ketiga pembentukan pemerintahan

Tentara Jepang mengorganisasi tentara lokal, yang bertujuan untuk menlindungi Tiongkok dibawah Rezim Nanjing (PRN). Pada kenyataannya, tentara berfungsi sebagai garis kedua serangan dan keamanan internal sebagai bagian dari Perang Tiongkok-Jepang Kedua. Sebuah angkatan udara kolaborator ("Angkatan Udara Pemerintah Reformasi Tiongkok" (1938), yang kemudian berganti nama menjadi "Angkatan Udara Pemerintahan Nasional Tiongkok" pada tahun 1940) dibentuk, dimana pada awalnya hanya diberikan glider untuk tujuan pelatihan. Kemudian, AU ini dilengkapi dengan:

Untuk Angkatan Darat Kolaborator, Jepang menyediakan:

Untuk AL Kolaborator, AL Jepang menyediakan (semuanya hasil sitaan):

  • Gunboat Suma (bekas HMS Moth)
  • Gunboat Tatara (bekas USS Wake)
  • Gunboat Karatsu (bekas USS Luzon)
  • Gunboat Narumi (bekas RM Ermanno Carlotto)
  • Gunboat Okitsu (bekas RM Lepanto)
  • Gunboat Nan-Yo (bekas AL Tiongkok Teh Hsing)
  • Patrol Boat PB-102 (bekas USS Stewart)
  • Patrol Boat PB-101 (bekas HMS Thracian)
  • Light Cruiser Isojima (bekas AL Tiongkok Ning Hai)
  • Light Cruiser Yasojima (bekas AL Tiongkok Ping Hai)
Bendera Perang Republik Tiongkok-Nanjing sejak 1 Mei 1942.
Bendera Laut.

Rezim juga memiliki kekuatan berupa polisi reguler di bawah kendali Jepang. Para politisi dan media lokal secara konsisten memberikan propaganda pro-Jepang, memuji "upaya heroik pasukan Imperial", dan berpendapat "untuk pertahanan nasional terhadap komunisme dan kepentingan Barat".

Pasukan Chiang Kai-shek menangkap sejumlah anggota militer Wang Jingwei selama pertempuran militer. Tahanan musuh dari peringkat rendah dibujuk untuk berkhianat dan berjuang bersama pasukan anti-Jepang, tapi tahanan tingkat tinggi dieksekusi. Para pemimpin militer termasuk:

  • Menteri Masalah Militer: Bao Wenyue (鮑文樾)
  • Menteri Angkatan Laut: Ren Yuandao (任援道)
  • Kepala Staf Umum: Yang Kuiyi (楊揆一)
  • Menteri Pelatihan Militer: Xiao Shuxuan (蕭叔萱)


Lihat juga

Referensi

  1. ^ Japanese Newsreel with the national anthem di YouTube
  2. ^ Narangoa, Li; Cribb, R.B. (2003). Imperial Japan and national identities in Asia, 1895–1945. Routledge. hlm. 13. ISBN 0-7007-1482-0. 

Bacaan lebih lanjut

  • David P. Barrett and Larry N. Shyu, eds.; Chinese Collaboration with Japan, 1932–1945: The Limits of Accommodation Stanford University Press 2001
  • John H. Boyle, China and Japan at War, 1937–1945: The Politics of Collaboration (Harvard University Press, 1972).
  • Bunker, Gerald E. Peace Conspiracy: Wang Ching-wei and the China War, 1937–41 (1972)
  • James C. Hsiung and Steven I. Levine, eds., China's Bitter Victory: The War with Japan, 1937–1945 (Armonk, N.Y.: M. E. Sharpe, 1992)
  • Ch'i Hsi-sheng, Nationalist China at War: Military Defeats and Political Collapse, 1937–1945 (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1982).
  • Frederick W. Mote, Japanese-Sponsored Governments in China, 1937–1945 (Stanford University Press, 1954).
  • Joseph Newman, Goodbye Japan (references about Chinese Reformed Regime) published in New York, March 1942
  • Edward Behr, The Last Emperor, published by Recorded Picture Co. (Productions) Ltd and Screenframe Ltd., 1987
  • Agnes Smedley, Battle Hymn of China"
  • Chiang Kai Shek, The Soviet Russia in China
  • Wego W. K. Chiang, How the Generalissimo Chiang Kai Shek gained the Chinese- Japanese eight years war, 1937–1945
  • Alphonse Max, Southeast Asia Destiny and Realities, published by Institute of International Studies, 1985.
  • Jowett, Phillip S., Rays of The Rising Sun, Armed Forces of Japan's Asian Allies 1931–45, Volume I: China & Manchuria, 2004. Helion & Co. Ltd., 26 Willow Rd., Solihul, West Midlands, England.

Pranala luar