Lompat ke isi

Homoseksualitas di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Homoseksualitas di Indonesia umumnya dianggap sebagai hal yang tabu, baik oleh masyarakat sipil dan pemerintah Indonesia. Diskusi publik mengenai homoseksualitas di Indonesia telah dihambat oleh kenyataan, bahwa seksualitas dalam bentuk apapun jarang dibicarakan secara terbuka. Adat istiadat tradisional tidak menyetujui homoseksualitas dan seseorang berbusana pakaian lawan jenisnya.

Seperti di banyak negara lain, kehidupan homoseksual tidak mudah di Indonesia. Meskipun serangan terhadap kaum gay sangat jarang, tidak ada perlindungan hukum yang dibuat untuk melindungi hak-hak LGBT di Indonesia. Ada beberapa kasus pasangan homoseksual yang dapat hidup bahagia di lingkungan mereka, dan tidak ada yang peduli tentang mereka. Dimungkinkan untuk dapat hidup secara bebas sebagai homoseksual di kota-kota besar di Indonesia, tetapi tantangan yang ada semakin meningkat. Perlawanan sengit yang paling mendalam dipimpin oleh kelompok-kelompok Islam radikal.[1]

Dalam beberapa tahun terakhir, bagaimanapun, sikap terhadap homoseksualitas telah berubah sedikit demi sedikit. Secara khusus, ada penggambaran yang lebih terbuka dan diskusi mengenai homoseksualitas di media berita Indonesia, juga penggambaran gaya hidup gay di televisi dan film Indonesia.[2] Indonesia memang memiliki reputasi sebagai negara Muslim yang relatif moderat dan toleran, namun survei terbaru mengungkapkan bahwa intoleransi terhadap kaum minoritas kian berkembang, dengan tingkat permusuhan tertinggi diarahkan kepada komunitas gay dan lesbian. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menemukan dalam jajak pendapat terbaru yang dilakukan pada tahun 2012 bahwa, secara mengecengangkan sebesar 80,6 persen dari populasi sampel keberatan untuk memiliki tetangga kaum gay atau lesbian. Angka tersebut melonjak secara signifikan dari 64,7 persen pada tahun 2005.[3]

Pandangan umum

Dalam budaya Indonesia, seksualitas dalam bentuk apapun dianggap sebagai subjek tabu dan sering segera dihakimi sebagai kecabulan. Seksualitas, apalagi homoseksualitas, dianggap sebagai hal yang sangat pribadi yang terbatas hanya di dalam kamar tidur. Dalam budaya Indonesia, budaya malu adalah hal yang lazim. Masyarakat Indonesia umumnya toleran terhadap homoseksual tetapi memilih untuk tidak membicarakannya karena budaya malu yang kuat di Indonesia.[1] Waria, laki-laki yang berpenampilan seperti wanita untuk waktu yang lama, telah memainkan peran dalam budaya Indonesia. Banyak pertunjukan tradisional Indonesia seperti lenong, ludruk dan ketoprak sering menampilkan waria sebagai objek gurauan, humor dan ejekan. Bahkan saat ini, kaum gay dan waria dapat ditemukan tampil di televisi Indonesia dan industri hiburan. Dalam pandangan masyarakat Indonesia, memiliki tokoh artis, penghibur atau pelawak berpenampilan kemayu seperti kaum waria, cukup dapat diterima dalam masyarakat. Hal ini biasanya dianggap sebagai hal yang lucu, kecuali itu terjadi dalam keluarga mereka sendiri di mana anak lelaki yang berpenampilan seperti perempuan sering dianggap sebagai aib bagi keluarga.

Sejarah

Karena budaya rasa malu yang melekat pada homoseksualitas, aktivitas homoseksual jarang tercatat dalam sejarah Indonesia. Tidak seperti di budaya Asia lainnya seperti India, Tiongkok atau Jepang, erotika homoseksual dalam lukisan atau patung hampir tidak ada dalam seni rupa Indonesia. Homoseksualitas hampir tidak pernah direkam atau digambarkan dalam sejarah Indonesia. Sebuah pengecualian langka adalah catatan abad ke-18 mengenai dugaan homoseksualitas Arya Purbaya, seorang pejabat di istana Mataram, meskipun tidak jelas apakah itu benar-benar didasarkan pada kebenaran atau sebuah rumor kejam untuk mempermalukan dirinya.



Pergerakan gay dan lesbian di Indonesia adalah salah satu yang terbesar dan tertua di Asia Tenggara.[4] Aktivisme hak-hak gay di Indonesia dimulai sejak 1982 ketika kelompok kepentingan hak-hak gay didirikan di Indonesia. " Lambda Indonesia" dan organisasi serupa lainnya muncul di akhir 1980-an dan 1990-an.[5] Saat ini, ada beberapa kelompok utama LGBT di negara ini termasuk "Gaya Nusantara" dan "Arus Pelangi". Sekarang ada lebih dari tiga puluh LGBT kelompok di Indonesia.[6]

Yogyakarta, Indonesia, menyelenggarakan KTT pada tahun 2006 tentang hak-hak LGBT yang menghasilkan Prinsip Yogyakarta tentang Penerapan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional dalam Kaitannya dengan Orientasi Seksual dan Identitas Gender.[7] Namun, pertemuan puncak pada Maret 2010 di Surabaya disambut dengan kecaman dari Majelis Ulama Indonesia dan terganggu oleh demonstran konservatif.[8]

Tradisi

Meskipun subyek homoseksualitas dianggap sebagai suatu hal yang memalukan dan orang sering menolak untuk mendiskusikannya secara umum, beberapa budaya dan tradisi di Indonesia merekam hubungan seks sejenis dan kegiatannya.

Bissu, Calabai dan Calalai

Orang-orang Bugis dari Sulawesi Selatan membagi masyarakat mereka menjadi lima jenis kelamin yang terpisah. Dua yang analog dengan laki-laki dan perempuan cisgender, dan tiga sisanya adalah Bissu, Calabai dan Calalai. Bissu mengacu pada seseorang dengan semua aspek jenis kelamin yang dikombinasikan untuk membentuknya secara keseluruhan. Calabai adalah seorang 'wanita palsu', mereka umumnya secara fisik adalah laki-laki tetapi mengambil peran dari seorang wanita heteroseksual. Di sisi lain calalai adalah orang yang dilahirkan berjenis kelamin perempuan, tetapi mengambil sebagai peran laki-laki heteroseksual di masyarakat. Calabai sangat mirip dengan waria, yaitu laki-laki yang menjadi perempuan transeksual, sedangkan calalai sangat mirip dengan lesbian tomboy yang berperan bagai seorang laki-laki.

Warok dan Gemblakan

Sebuah hubungan homoseksual tradisional tertentu dapat ditemukan di Jawa Timur dalam hubungan Warok-gemblak. Warok adalah pahlawan lokal tradisional Jawa atau "orang kuat" yang biasanya melakukan kesenian tradisional seperti Reog Ponorogo. Menurut tradisi, warok diwajibkan untuk melakukan pantangan, ia dilarang untuk terlibat dalam hubungan seksual dengan perempuan, namun berhubungan seks dengan laki-laki yang berusia 8 sampai dengan 15 tahun diperbolehkan. "Kekasih muda" tersebut disebut gemblak dan biasanya disimpan oleh warok dalam rumah tangga mereka di bawah perjanjian dan kompensasi kepada keluarga anak itu. Warok dapat menikah dengan seorang wanita sebagai istri mereka, tetapi mereka mungkin tetap memiliki gemblak. Hal ini menyebabkan hubungan Warok-Gemblakan mirip dengan tradisi perjantanan di Yunani kuno. Siapa saja yang mengenal cara hidup tradisional di Ponorogo, tahu bahwa ada pria yang lebih tua yang disebut warok, tidak berhubungan seks dengan istri-istri mereka, tetapi berhubungan seks dengan anak laki-laki yang lebih muda.[9] Mungkin yang dilakukan warok dan gemblak adalah tindakan homoseksual, namun mereka tidak pernah mengidentifikasi diri mereka sebagai seorang homoseksual.

Kini praktik Warok-gemblakan ditentang oleh pemuka agama setempat melalui perlawanan moral publik. Karena hal itulah, kini pagelaran Reog Ponorogo jarang sekali menampilkan gemblak, anak laki-laki tampan, sebagai penunggang kuda Jatil, peran mereka digantikan oleh anak perempuan. Meskipun demikian, saat ini praktik warok-gemblakan mungkin masih ada dan dilakukan secara diam-diam.

Ritual inseminasi anak laki-laki Papua

Ritual "homoseksualitas" adalah sebagai ritual peralihan kedewasaan dari anak laki-laki menjadi pria dewasa telah dicatat dipraktikkan di kalangan orang Melanesia dari Pulau Papua, seperti orang Sambia dan Etoro dari Papua Niugini.[10] Di pulau Papua di sisi Indonesia, ritual serupa telah direkam dipraktikkan antara orang-orang Kimam, di Provinsi Papua bagian selatan, Indonesia. Beberapa laporan yang serupa catatan praktik di antara suku-suku lainnya. Praktik ini adalah disusun berdasarkan usia dan diarahkan kepada anak-anak muda sebagai ritus kedewasaan. Menurut kepercayaan mereka, anak laki-laki tercemar dengan unsur perempuan, melalui cairan perempuan seperti melalui menyusui, dan kontak dengan ibunya dan anggota keluarga perempuan lainnya. Untuk menghindari kontaminasi unsur perempuan lebih lanjut, setelah usia tertentu, anak laki-laki diambil dari ibu mereka, dan tinggal terpisah di rumah komunal bersama anak-anak laki-laki lain dan kaum b yang belum menikah. Rumah ini disebut dengan rumah bujangan. Anak laki-laki yang dipisahkan dari keluarganya ini hidup bersama dengan laki-laki muda lainnya dalam rumah bujangan. Hal ini bertujuan untuk membina solidaritas dan ikatan antar kaum laki-laki dalam suku, juga untuk mempersiapkan anak-anak muda agar menjadi seorang prajurit yang berani dan hebat.

Untuk dapat tumbuh berkembang sebagai seorang pria yang jantan, sehingga kelak dapat menjadi seorang prajurit yang berani, seorang anak laki-laki harus menyerap cairan laki-laki, yaitu semen, yang dianggap sebagai inti sari laki-laki. Cara menerima cairan laki-laki ini dapat dilakukan dengan menelan sperma melalui fellatio (oral seks) atau sebagai pihak yang dipenetrasi dalam hubungan seks anal homoseksual. Laki-laki yang berperan sebagai inseminator yang menyumbangkan spermanya adalah anggota suku yang lebih tua, biasanya paman mereka, atau jika sang anak telah dijodohkan dengan seorang anak perempuan, maka calon mertua laki-laki atau calon kakak ipar anak itu dianggap sebagai inseminator yang tepat. Ritual dan aktivitas ini berlanjut sejak masa akhir kanak-kanak dan selama masa remaja dalam rumah bujang. Ritual ini berhenti ketika anak laki-laki itu dianggap telah menyerap cukup unsur laki-laki, yaitu anak itu mencapai usia dewasa, ketika kumis atau jenggotnya mulai tumbuh dan akan segera menikah.

LGBT di Indonesia

Di Indonesia, pria homoseksual yang berperilaku kemayu seperti wanita, atau pria yang berpakaian seperti perempuan disebut sebagai banci, bencong atau waria. Sedangkan lesbian sering juga dipanggil lesbi atau lines. Pria homoseksual yang berperilaku jantan selayaknya pria biasa jarang teridentifikasi, akan tetapi jika ditemukan biasanya mereka dipanggil homo atau gay, sedangkan gigolo homoseksual biasanya dipanggil kucing. Istilah-istilah, banci, bencong, kucing dan homo memang memiliki makna konotatif yang merendahkan atau menghina, kecuali untuk istilah waria, gay dan lesbian yang memperoleh persepsi netral. Ejekan, perundungan, dan serangan terhadap kaum gay biasanya terjadi selama masa-masa remaja, tapi jarang melibatkan kekerasan fisik, dan terutama hanya dilakukan secara verbal.

Seperti di negara lain, stereotip terhadap kaum homoseksual terjadi cukup umum di Indonesia. Mereka biasanya mengambil peran, pekerjaan, dan karier tertentu; seperti sebagai pemilik atau pekerja salon kecantikan, ahli kecantikan, make-up artist, pengamen (musisi jalanan) berpakaian perempuan, sampai kegiatan cabul seperti menjadi pelacur transeksual. Namun laki-laki homoseksual yang tidak berpenampilan seperti banci, sulit untuk dideteksi dan sering berbaur dalam masyarakat.

Dalam budaya tradisional Indonesia, ketika seorang anak laki-laki atau perempuan mencapai usia pubertas, hubungan dan interaksi antara mereka segera dibatasi. Norma dan moral tradisional — terutama di pedesaan dan wilayah pedalaman — menentang kaum remaja berpacaran, karena dianggap dapat mengarah pada hubungan seks pranikah. Moral tradisional juga menentang berkumpulnya antara gadis yang belum menikah dengan laki-laki, karena dapat mengarah pada skandal perzinahan. Hubungan persahabatan yang erat dan ikatan antar laki-laki justru dianjurkan. Pengalaman homoerotik atau bahkan insiden hubungan homoseksual mungkin saja terjadi di lingkungan serba laki-laki; misalnya di asrama, pondok pesantren, kamar kost, hingga barak militer, dan penjara. Terdapat laporan dan desas-desus insiden hubungan homoseksual di tempat-tempat tersebut, akan tetapi karena kuatnya budaya malu di Indonesia, insiden semacam ini biasanya langsung ditutupi dan dirahasiakan agar tidak mencemari reputasi institusi tersebut.

Kaum waria, baik yang berperan sebagai ritualis atau dukun pria yang menjadi perempuan transgender, sebagai artis, dan pelacur, telah lama memainkan peran dalam budaya lokal Indonesia. Namun kaum gay dan lesbi belum teridentifikasi sebelum masa Orde Baru. Ketika pria dan wanita homoseksual akhirnya mengenali diri mereka melalui penggambaran yang singkat mengenai kehidupan homoseksual asing, mereka akhirnya mencapai kesimpulan bahwa 'dunia gay' bisa juga ada di Indonesia.[11] Untuk pria gay, dunia mereka berada di berbagai lokasi, mulai dari taman, diskotek, spa, panti pijat, pusat kebugaran dan kolam renang tertentu, hingga kamar kost dan kediaman pribadi. Kaum gay lazim berkumpul di tempat 'terbuka' pada waktu atau hari tertentu, di mana mereka mencari cinta, persahabatan, serta seks. Sedangkan dunia lesbian umumnya bersosialisasi di rumah dan cenderung tersembunyi. Perbedaan ini karena budaya yang dikonfigurasi dan didominasi norma hubungan heterogender. Dengan menerima kategori baru seperti waria, pasangan lesbian dikenal sebagai tomboi atau pemburu (sebutan lesbian yang bergaya dan berperan sebagai laki-laki), berpasangan dengan perempuan feminin. Kontras antara pola pergaulan kaum gay dan lesbian mencerminkan dunia budaya yang paralel: jika laki-laki gay dapat berkumpul dengan bebas relatif tanpa hambatan di taman-taman terbuka - dan bahkan di rumah bersama keluarga dan orang tua mereka, dunia kaum lesbian cenderung tertutup dan tersembunyi di rumah atau kediaman pribadi. Hal ini disebabkan kepatuhan terhadap ideologi jender nasional; membatasi ruang gerak perempuan, dan mengagungkan persahabatan pria. Hal ini menghalangi pergaulan antara perempuan dan laki-laki yang belum menikah.[11]

Kerap kali, waria atau transseksual menciptakan sub-budaya yang berbeda dalam corak sosial Indonesia. Sering berkumpul di salon kecantikan dan lazim dalam bisnis hiburan Indonesia, sub-budaya waria telah menciptakan bahasa mereka sendiri, Bahasa Binan, yang sering mempengaruhi tren dialek di Indonesia khususnya di kalangan anak muda.

Tekanan pada pria gay atau lesbian sering kali berasal dari keluarga mereka sendiri. Ada tekanan dari keluarga untuk segera menikah, dan mereka umumnya memiliki dua pilihan - baik gay dan lesbian dapat memutuskan untuk menikah, hanya untuk menyenangkan keluarga, atau mereka lari dari keluarga dan mencari kehidupan yang bebas di luar.[1] Perbedaan lain dalam kehidupan homoseksual di Indonesia dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di Barat adalah; gay dan lesbian Indonesia lebih berkomitmen pada pernikahan heteroseksual. Sebagian besar laki-laki gay mengaku berencana kelak akan menikahi wanita, atau bahkan sudah menikah, tetapi masih menjalani kehidupan homoseksual secara diam-diam.[11]

Hak hukum

Hukum pidana nasional tidak mengkriminalisasikan hubungan homoseksual pribadi yang tidak bersifat komersial antara orang dewasa. Sebuah RUU nasional untuk mengkriminalisasikan homoseksualitas, bersama dengan hidup bersama (kumpul kebo), perzinahan dan praktik sihir, gagal diberlakukan pada tahun 2003 dan tidak ada rencana berikutnya untuk memperkenalkan kembali undang-undang tersebut.[12] Pada tahun 2002, Pemerintah Indonesia memberi provinsi Aceh hak untuk menerapkan hukum syariah Islam yang dapat mengkriminalisasi homoseksualitas.

Pasangan sesama jenis Indonesia dan rumah tangga yang dikepalai oleh pasangan sesama jenis tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan perlindungan hukum yang tersedia bagi pasangan lawan jenis menikah. Pentingnya harmoni sosial di Indonesia mengarah pada lebih diutamakannya kewajiban daripada hak, yang berarti bahwa hak asasi manusia bersama dengan hak-hak homoseksual sangat rapuh.[13] Namun, komunitas LGBT di Indonesia telah terus menjadi lebih terlihat dan aktif secara politik.[13]

Hukum Indonesia tidak mengkriminalisasi homoseksualitas, jika dilakukan secara pribadi, non-komersial, dan di antara orang dewasa. Namun, hukum Indonesia tidak mengakui pernikahan gay, serikat sipil atau manfaat kemitraan domestik. Pasangan sesama jenis tidak memenuhi syarat untuk mengadopsi anak di Indonesia. Hanya pasangan menikah yang terdiri dari suami dan istri yang boleh melakukan mengadopsi.[14] Hari ini, tidak ada hukum ada untuk melindungi warga negara Indonesia dari diskriminasi atau pelecehan atas dasar orientasi seksual atau identitas gender mereka.

Lihat pula

Catatan

  1. ^ a b c Gollmer, Anggatira (02.03.2011). "It's OK to be gay in Indonesia so long as you keep it quiet". Deutsche Welle. Diakses tanggal 15 February 2013. 
  2. ^ Harvey, Rachel (Thursday, 15 January 2004). "Indonesia embraces first gay screen kiss". BBC. Diakses tanggal 15 February 2013. 
  3. ^ "Homophobia on the rise, survey says". The Jakarta Post. Mon, October 22, 2012. Diakses tanggal 15 February 2013. 
  4. ^ Laurent, Erick (May 2001). "Sexuality and Human Rights". Journal of Homosexuality. Routledge. 40 (3&4): 163–225. doi:10.1300/J082v48n03_09. ISSN 0091-8369. 
  5. ^ [1]
  6. ^ Indonesia: Gays Fight Sharia Laws, Doug Ireland]
  7. ^ Yogyakarta Principles
  8. ^ Earth Times. Conservative Indonesian Muslims break up gay meeting. 26 March 2010
  9. ^ Dédé Oetomo Talks on Reyog Ponorogo
  10. ^ Herdt, Gilbert H. (1984). Ritualized Homosexuality in Melanesia. University of California. Diakses tanggal 16 February 2013. 
  11. ^ a b c "Book Reviews: The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia by Tom Boellsdorff". Political Review Net. 02/04/2007. Diakses tanggal 16 February 2013. 
  12. ^ Indonesia Seeks to Imprison Gays, 365Gay.com, 30 September 2003
  13. ^ a b Offord, Baden (May 2001). "Homosexual Rights as Human Rights in Indonesia and Australia". Journal of Homosexuality. Routledge. 40 (3&4): 233–252. doi:10.1300/J082v40n03_12. ISSN 0091-8369. 
  14. ^ http://www.sayapibujakarta.org/ind/adopsi.html

Referensi