Lompat ke isi

Metteyya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 24 Februari 2006 04.53 oleh Adalin (bicara | kontrib)
Berkas:MaitreyaIndia.jpg
Patung Maitreya yang sedang dibangun di Kushinagar, India setinggi 152 meter

Dalam agama Buddha, Maitreya Bodhisattva adalah Buddha yang akan datang.

Buddha Gautama bukanlah Buddha yang pertama di dalam masa-dunia ini (masa-dunia atau kalpa; satu kalpa lamanya kurang lebih 4.320.000.000 tahun). Buddha-Buddha sebelumnya adalah Buddha Kakusandha, Buddha Konagamana, Buddha Kassapa, Buddha yang akan datang adalah Buddha Mettaya (Maitreya). Dalam Cakkavatti-Sihanada Sutta, Sutta ke-26 dari Digha Nikaya dikatakan bahwa

"Pada saat itu [kota] yang sekarang merupakan Varanasi akan menjadi sebuah ibu kota yang bernama Ketumati, kuat dan makmur, dipadati oleh rakyat dan berkecukupan. Di Jambudvipa akan terdapat 84.000 kota yang dipimpin oleh Ketumati sebagai ibu kota. Dan pada saat itu orang akan memiliki usia kehidupan sepanjang 84.000 tahun, di kota Ketumati akan bangkit seorang raja bernama Sankha, seorang Cakkavati (Raja Dunia), seorang raja yang baik, penakluk keempat penjuru. Dan pada saat orang memiliki harapan hidup hingga 84.000 itulah muncul di dunia seorang Yang Terberkahi, Arahat, Sammasambuddha bernama Metteya"

Di dalam Buddhavacana Maitreya Bodhisattva Sutra disebutkan juga:

"O, Arya Sariputra! Pada saat Buddha baru tersebut dilahirkan di dunia Jambudvipa. Situasi dan kondisi dunia Jambudvipa ini jauh lebih baik daripada sekarang! Air laut agak susut dan daratan bertambah. Diameter permukaan laut dari keempat lautan masing-masing akan menyusut kira-kira 3000 yojana, Bumi Jambudvipa dalam 10.000 yojana persegi, persis kaca dibuat dari permata lazuardi dan permukaan buminya demikian rata dan bersih"

Sejarah Organisasi Maitreya

Berkas:MaitreyaMiLe.jpg
Patung Maitreya (Mi Le) yang sedang dibangun di O Mei, Taiwan setinggi 72 meter

Aliran Maitreya dalam agama Buddha lebih dianggap sebagai organisasi agama Buddha, bukan sebagai suatu aliran Mahayana. Hal ini dapat dicermati dari catatan sejarah lahirnya organisasi Maitreya mulai dari masa Dinasti Sui (589-618) hingga di Taiwan sekarang ini. Organisasi Maitreya ini sangat rapi dengan metode indoktrinasi yang sistematis. Hal ini tidaklah mengherankan mengingat organisasi ini telah muncul sejak lama dan telah belajar dari sejarah masa lalu.



Dinasti Sui (589-618)

Pada bulan Januari 610, sejumlah orang berpakaian warna putih dengan rambut diikat pita putih dan tangan memegang kemenyan yang membara serta bunga-bunga, mengumumkan datangnya Maitreya Buddha ke dunia ini dengan mengadakan prosesi menuju kota Chian Kuok dan pada saat mereka hendak memasuki pintu Chian Kuok, pengawal di pintu menyambut kedatangan mereka dengan berlutut dan mempersilahkan mereka masuk.

Tetapi ketika mereka sedang berlutut, orang-orang saleh palsu (bandit-bandit) itu merampok senjata-senjata mereka dan ketika tindakan ini hampir mengakibatkan kerusuhan, bantuanpun datang untuk menaklukkan bandit-bandit tersebut. Orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan ditangkap. Jumlah yang tertangkap mencapai kira-kira seribu keluarga.

Tiga tahun kemudian pada bulan Desember 613, seorang yang bernama Siang Hai Ming menyatakan dirinya sebagai reinkarnasi Maitreya Buddha, mengumpulkan penganut-penganut dan melancarkan pemberontakan dan mengangkat dirinya sebagai raja, dan pada akhirnya membangun satu kerajaan di Pei Wu. Setelah beberapa saat, Raja dari Dinasti Sui mengirimkan pasukan untuk menaklukkannya.



Dinasti Tang (618-906)

Pada zaman Dinasti Tang, ada seorang saleh palsu yang bernama Wang Hwai Koo mengumumkan suatu berita yang keliru yakni Sakyamuni Buddha telah mengundurkan diri dan telah digantikan oleh Maitreya Buddha, dan bahwa keluarga Li akan runtuh sedangkan keluarga Yang akan bangkit lagi. Li adalah marga dari Raja pertama Dinasti Tang dan Yang adalah marga dari Raja pertama Dinasti Sui. Pemerintah mendengar kabar itu segera mengirimkan pasukan untuk bertempur dengan kelompok Wang Hwai Koo. Wang Hwai Koo dan pengikut-pengikutnya ditangkap dan dihukum mati.

Tokoh lain pada masa Dinasti Tang yang juga mengaku sebagai penjelmaan Maitreya adalah Ibu Suri Wu Zetian (Hokkian: Bu Cek Tian). Ia memerintah dari tahun 690-705. Setelah suaminya Kaisar Gao Zong (649-683) wafat, ibu suri Wu perlahan-lahan berusaha untuk meraih kekuasaan, hingga akhirnya berhasil menumbangkan Dinasti Tang untuk sementara waktu dan menjadi kaisar. Ratu Wu sebagai alat propaganda kemudian memanfaatkan Agama Buddha dan Tao agar rakyat menganggapnya sebagai makhluk suci (padahal Ratu Wu sangat kejam karena telah menyiksa sampai mati para selir suaminya terdahulu).

Dari Kalangan Tao ia menerima gelar "Ibu Para Dewa" (Bahasa Inggris: Sage Mother) atau Lao Mu dan dipuja pada kuil-kuil Taois. Untuk meraih simpati Umat Buddha dikaranglah pada saat itu suatu Sutra palsu yang berjudul Sutra Awan Agung (Great Cloud Sutra) yang isinya seolah-olah Buddha Sakyamuni telah menubuatkan bahwa Maitreya atau Buddha yang akan datang akan terlahir sebagai wanita, yang di bawah pemerintahannya "Panen akan berlimah, kebahagiaan akan menjadi tak terhingga. Rakyat akan berjaya, terbebas dari penderitaan dan penyakit. Para penguasa dari negara-negara tetangga akan berdatangan dan menawarkan diri untuk menjadi taklukan." Vihara-vihara yang disponsori negara bersama-sama mempermaklumkan ajaran baru ini dan menggelarinya "Maitreya Yang Tanpa Cela". Wu kemudian memerintahkan dipahatnya patung Maitreya raksasa di Longmen yang wujudnya mirip dirinya.



Dinasti Sung (960-1279)

Pada masa pemerintahan Kaisar Ren Zong (1022-1063), bulan November 1047, pemimpin dari Aliran Maitreya Wang Tzeh merencanakan suatu pemberontakan. Pada mulanya dia adalah seorang gembala kemudian dia mendaftarkan diri menjadi tentara. Sementara itu buku ajaran-ajaran sesat telah beredar ke mana-mana. Buku tersebut memuat pernyataan jahat yang sama yaitu "Sakyamuni Buddha telah mengundurkan diri dan Maitreya Buddha yang bertanggung jawab atas urusan manusia di dunia. Mereka mengeluarkan slogan bahwa Zaman Putih "istilah Bahasa Cina adalah Pai Yang" telah tiba.

Ketika Wang Tzeh menjadi walikota, penganut-penganutnya mengangkat dia sebagai pemimpin mereka dan kemudian melancarkan pemberontakan di propinsi Pei. Wang Tzeh memproklamirkan dirinya sendiri sebagai Raja. Pada tahun baru di bulan Pebruari 1048, pasukan-pasukan raja menyelinap ke dalam kota melalui terowongan. Wang Tzeh ditangkap dan dihukum mati.



Dinasti Yuan (Mongol) (1279-1368)

Orang-orang kerajaan Mongol menghormati segala agama: Buddha, Kristen, Islam dan Taoisme. Tetapi melarang Aliran Maitreya. Di antara agama yang disebut di atas, agama Buddhalah yang mendapatkan penghargaan tertinggi, khususnya oleh keluarga raja, sehingga agama Buddha mendapat fasilitas khusus dan juga mendapatkan fasilitas bebas pajak. Oleh karena itu, penganut-penganut Maitreya merembes ke perkumpulan Bai Lian yang dibentuk oleh Master Hwei Yen. Pengembangan utama bagi sekte ini dititik beratkan pada pembacaan nama Amitabha Buddha. Setelah 5 tahun berada di perkumpulan Bai Lian, nama Maitreya menjadi Perkumpulan Bai Lian (sesuai dengan nama organisasi yang mereka nyusupi).

Mereka menjalin hubungan baik dengan pegawai-pegawai pemerintah dan juga orang-orang berpengaruh di masyarakat. Selain itu, mereka juga ber-pura-pura melakukan kegiatan sosial. Dengan cara demikian, secara bertahap mereka menjadi sah dalam hukum pemerintahan, tetapi pengesahan tersebut bertahan hanya 9 tahun. Ketika Raja Shidebala (Ying Zong) naik tahta pada tahun 1321, beliau melarang aliran itu. Pada saat itu, situasi politik sedang memburuk dan Aliran Maitreya mengambil keuntungan dari situasi tersebut untuk menyebarkan ajaran yang menyimpang.

Hampir tiga tahun kemudian (1323), Raja Ying Zong dibunuh. Dua puluh delapan tahun setelah beliau wafat atau pada masa pemerintahan Raja Toghon Temur (Shun Di ? memerintah 1333-1368) yakni pada bulan Mei 1351, penganut-penganut Bai Lian, dengan Liew Foo Thong sebagai dalang utama dan Han San Thong sebagai pemimpin, merencanakan untuk memberontak melawan Dinasti Yuan dan memproklamirkan dirinya sebagai Raja Ming. Ciri-ciri tentara mereka adalah membakar kemenyan dan pengikut-pengikutnya mengikat kepala mereka dengan syal merah. Karena itulah pemberontakan ini dalam sejarah dinamakan Pemberontakan Ikat Kepala Merah (Red Turban). Tetapi rencana pemberontakan tersebut bocor, Han San Thong tertangkap dan dihukum mati. Istri dan anak lelakinya, Han Lin Er meloloskan diri. Pengikut-pengikut yang melarikan diri dikumpulkan oleh Liew Foo Thong untuk membentuk suatu tentara yang berjumlah ratusan ribu orang. Tentara tersebut menyerbu dan menaklukkan propinsi Ing Chuan.

Pada bulan Februari 1355, Liew Foo Thong memproklamirkan Han Lin Er sebagai Raja Ming kecil.

Pada bulan Januari 1352, seorang penganut Bai Lian yang kaya, Kuo Tze Hsing, juga mengumpulkan penganut-penganut untuk bekerja sama dengan Han Lin Er. Kuo menyatakan dirinya sebagai Jenderal. Pada tanggal 26 Februari, tentaranya menaklukkan propinsi Hau Chou.

Pada bulan Maret tahun yang sama, Zhu Yuanzhang (Hokkian: Cu Goan Ciang) bergabung dengan mereka sebagai bawahannya. Zhu telah menjadi rahib sejak kecil. Dia meninggalkan Sangha untuk menjadi seorang awam karena kuti di mana dia tinggal telah dibakar. Zhu mempunyai penampilan yang tampan dan tubuhnya tegap. Selain itu, dia selalu menang dalam peperangan. Kuo Tze Hsing begitu terkesan sehingga dia mengangkat Zhu sebagai menantu laki-laki.

Tiga tahun kemudian, Kuo meninggal dan putranya Kuo Thien Shih menjadi pemimpin. Han Lin Er mengangkat anak Kuo sebagai panglima, Chang Thien Yew dan Zhu sebagai Jenderal pertama dan kedua. Enam bulan kemudian, Kuo Thien Shih dan Chang Thien Yew dibunuh. Akibatnya semua tentara berada di bawah perintah Zhu Yuanzhang.

Pada bulan Februari 1363, Liew Foo Thong dibunuh dan Han Lin Er dengan cepat mengirim berita kepada Zhu untuk meminta bantuan segera. Bantuan diberikan segera dan Han Lin Er diselamatkan. Sejak itu Han Lin Er menjadi boneka Zhu Yuanzhang. Pada bulan Desember 1366, atas nama untuk menyambut kedatangan Han Lin Er ke selatan, Zhu mengirim satu kapal untuk menjemput Lin Er. Dalam perjalanan, Zhu memerintahkan orang membalikkan kapal tersebut dan Lin Er tenggelam, tentu saja Zhu Yuanzhang menjadi pengganti.

Supaya bisa menghibur mereka, Zhu pada tanggal 4 Januari 1368 mengumumkan "Ming" sebagai nama rezimnya. Dengan demikian, dia menjadi Raja pertama Dinasti Ming. Inilah untuk pertama kalinya suatu pemberontakan sekte rahasia berhasil mengangkat pemimpinya menjadi kaisar. Zhu lalu bergelar Hong Wu dan memerintah dari tahun 1368-1398.



Dinasti Ming (1368-1644)

Berhubung Raja Choo Yen Zang pernah menjadi bhikkhu, dia amat paham tentang isi dari agama Buddha. Oleh karena dia sadar bahwa penganut-penganut Bai Lian telah mengambil dan kemudian merubah Buddha Dharma sesuai pemikiran mereka. Mereka menggunakan nama aliran Maitreya Buddha hanya sebagai topeng untuk menipu orang-orang yang tidak mengerti latar belakang mereka.

Setelah Zhu naik tahta menjadi raja dia mengeluarkan perintah melarang aktivitas dari aliran Bai Lian. Sejak itu, pengikut ajaran Bai Lian mengajarkan ajaran sesatnya pada malam hari saja dengan pintu dan jendela tertutup rapat.

Pada zaman Dinasti Ming, kerajaannya paling banyak menderita karena pemberontakan Bai Lian yang sangat sering terjadi. Banyak dari pemberontakan ini terjadi ketika negara tersebut sedang dalam kehancuran dan lelah dalam menghadapi perang dengan penyerang dari luar negeri. Berikut adalah beberapa pemberontakan terkenal yang tercatat dalam sejarah:

1) Pada tahun 1373 Pheng Phu Kui, pengikut Bai Lian dari She Chuan mengumpulkan orang-orang, menyerang dan menjajah 14 kota secara berturut-turut dan pemerintah menghabiskan waktu beberapa bulan untuk menaklukkan mereka.

2) Zin Kang Nu dan Tien Chiew Cheng berontak pada saat negara sedang kalah perang dengan Vietnam.

3) Thang Sai Er mengambil keuntungan dari kesempitan ketika Jepang sedang mengganggu Liaw Tong yang terletak di timur laut China.

4) Ketika ada ancaman dari Manchuria dan keluarga raja sedang mengalami keributan dalam kerajaan, Chao Ik San, atas nama Maitreya Buddha mengumumkan dirinya sebagai raja dan berontak melawan pemerintah.

5) Wang Hsing and Chee Hong Joo paling terkenal dengan nama buruknya dan memiliki tentara yang terbesar. Pada saat keluarga raja dan rakyat pada umumnya sedang panik karena Manchuria sudah masuk perbatasan China dan telah menaklukkan 40 kota di Liaw Tong, Wang Hsing and Chee Hong Joo memimpin 2 juta tentara, menyerang dan menjajah kota-kota besar di propinsi Shantong dan bahkan mencuri alat transportasi pemerintah yang membawa makanan. Supaya dapat bertempur dengan tentara yang begitu besar, pemerintah terpaksa mengirimkan tentara di Liaw Tong. Ini berarti tentara Bai Lian memberikan bantuan besar kepada tentara Manchuria.

Di antara penganut-penganut Bai Lian yang terkenal, terdapat seorang wanita, Tang Sai Er, yang memiliki ilmu hitam. Dia berkata bahwa dia telah memperoleh sebuah buku dari surga di mana buku tersebut diketemukan dari dalam batu besar. Dengan buku tersebut dia bisa menguasai roh-roh dan dewa/dewi dan bisa mendapatkan pakaian maupun makanan yang ia inginkan.

Beribu-ribu orang awam, karena terpesona oleh ajaran sesatnya, mengikuti dia. Pada satu pertempuran dengan tentara kerajaan, Tang Sai Er menggunakan ilmu hitam untuk melindungi dirinya. Banyak roh-roh yang tampangnya mengerikan muncul di langit. Karena tahu bahwa Tang Sai Er mungkin akan menggunakan ilmu hitam, jenderal kerajaan itu membawa sedikit darah yang kemudian disiramkan ke roh-roh yang tampak itu. Dengan segera, roh-roh yang mengerikan tersebut berubah menjadi manusia-manusia dan kuda-kuda kertas. Sai Er berhasil meloloskan diri tetapi kemudian tertangkap. Dia dirantai dan dikirim ke ibukota dengan menggunakan kereta tahanan. Tetapi, dalam perjalanan, dengan kekuatan ilmu hitam, Sai Er berhasil bebas dari belenggu rantainya dan menghilang. Sejak saat itu dia tidak pernah diketemukan lagi.

Ilmu hitam Tang Sai Er diperkirakan diwariskan ke generasi berikutnya. Pada tahun 1557, terdapat seorang yang bernama Ma Cu She di mana dengan ilmu hitamnya dapat membuat prajurit kertas menjadi seperti prajurit yang sebenarnya. Pada saat prajurit kertas itu diserang, ia akan berbalik menyerang dan melukai penantangnya, meskipun begitu, ketika rencana pemberontakan Ma Cu She diketahui oleh pemerintah, pemerintah segera mengirim tentara untuk menaklukkan Ma Cu She dan pengikutnya. Diperkirakan lebih dari 100 orang pengikutnya mati dalam medan peperangan, tetapi Ma Cu She sendiri berhasil lolos dari maut.


Pemimpin Kedelapan Yang Palsu

Pada zaman Dinasti Ming, terdapat seorang pengikut Bai Lian yang paling jahat dalam sejarah di Cina. Ajaran sesatnya mempunyai pengaruh yang paling dalam dan luas terhadap pengikut-pengikutnya sampai saat ini. Nama orang itu adalah Lo Wei Ching, lahir pada tanggal 8 Januari 1446. Dia mengatakan bahwa Sesepuh Hui Neng adalah merupakan pemimpin Sangha yang terakhir, karena Jalan ke Surga telah berubah dari sistem kepemimpinan Sangha menjadi sistim kepemimpinan orang awam. Dia merekayasa sebuah cerita bagaimana dia menerima garis kepemimpinannya sebagai berikut:

"Seseorang yang bernama Pai Ik Chan menyelamatkan Sesepuh Ke-6 yang sedang dikejar oleh seorang bhikkhu kejam di ladang. Oleh karena itu, Pai Ik Chan diberikan baju dan mangkok sebagai bukti penerimaan garis keturunan pemimpin. Selama 3 tahun, Sesepuh ke-6 sembunyi di rumahnya. Kemudian Pai Ik Chan dan seorang guru besar Tao Ik dinobatkan bersama sebagai pemimpin ke-7. Ini benar-benar merupakan kebohongan yang besar dan menggelikan."

Penjelasan yang benar adalah Sesepuh ke-6 lahir pada tanggal 8 Pebruari 638, sedangkan Pai Ik Chan lahir tahun 1194 pada jaman Dinasti Sung, sehingga ada perbedaan waktu 450 tahun. Maka itu, bagaimana dia bisa menyelamatkan Sesepuh ke-6, kecuali waktu bisa berputar kembali. Guru Pai Ik Chan yang bernama Ma Tao Ik adalah cucu murid dari Sesepuh ke-6 dan lahir sedikitnya 400 tahun sebelum Pai Ik Chan. Oleh karena itu, bagaimana Pai Ik Chan bisa bertemu dengan pemimpin ke-6 sebelum guru dia Ma Tao Ik. Selain itu, Lo Wei Ching adalah orang yang hidup pada zaman Dinasti Ming, lahir beberapa ratus tahun setelah Pai Ik Chan, bagaimana Pai Ik Chan menyampaikan "Jalannya" kepada Lo Wei Ching.

Seperti yang tertulis dalam sejarah agama Buddha, garis keturunan dari kepemimpinan berakhir pada Sesepuh ke-6 Hui Neng. Sistim kepemimpinan ini diteruskan ke Cina dari India oleh pemimpin Bodhidharma. Dia adalah Sesepuh pertama di Cina dan juga sebagai pendiri sekolah Zen di Cina. Sebelum meninggal, beliau mengatakan bahwa sistim kepemimpinan Zen akan berakhir pada Sesepuh ke-6. Sejak itu, hanya Dharma yang akan berputar, kain dan mangkok tidak merupakan tanda kepemimpinan.


Berikut ini adalah ajaran sesat yang dipelopori oleh Lo Wei Ching:

1) Dia merupakan pendiri dari sistim kepemimpinan umat awam. Dia mengatakan bahwa "Jalan Surga" telah berubah dari sistim kepemimpinan Sangha menjadi sebuah sistim yang dikendalikan oleh umat awam (penerjemah: maksudnya tidak ada lagi Sangha dalam ajaran mereka).

2) Dia memulai semboyan bahwa "Tiga agama menjadi satu". Ketiga agama itu adalah Juisme (ajaran kuno di Cina), Taoisme dan Buddhisme.

3) Dia mengarang cerita bahwa Tuhan yang bernama Lao Mu ada di Surga Wu Zhi. Segala makhluk diciptakan olehNya.

4) Sejak terbentuknya Aliran Maitreya (Yi Guan Dao), selalu ada pernyataan bahwa dunia terbagi menjadi 3 periode yakni Periode Hijau, Periode Merah dan Periode Putih. Periode Putih ini merupakan periode akhir zaman yang menurut mereka dunia akan kiamat pada periode ini.


Lukisan tentang dunia kiamat oleh mereka sebagai berikut: "Akan terjadi malapetaka angin, hembusan angin begitu kuat sehingga orang hanya akan mendengar "bum?" bagaikan surga akan ambruk dan bumi akan retak, dan hanya sekejap mata segala sesuatu benda musnah, tak satu makhlukpun yang terlihat. Mereka membuat cerita dunia kiamat dengan menjiplak teks ajaran Buddha dan kemudian melakukan banyak pengubahan-pengubahan."

Menurut teks agama Buddha, periode waktu antara pembentukan alam dunia dihitung berdasarkan tiga kalpa: Kalpa Kecil, Kalpa Sedang dan Maha Kalpa. Aliran Yi Guan Dao (Aliran Maitreya) mengubah nama kalpa menjadi Periode. Sebenarnya teks agama Buddha mengatakan bahwa dunia akan musnah total pada akhir Maha Kalpa yang akan tiba pada triliun tahun mendatang. Mereka mengatakan bahwa akhir kalpa akan segera datang supaya dapat membuat orang-orang menjadi panik dan masuk aliran sesat tersebut.

Berdasarkan ajaran ini Lo Wei Ching selanjutnya menyatakan bahwa pada akhir Periode Putih (penerjemah: maksudnya akhir zaman), Tuhan mereka "Lao Mu" akan turun ke dunia membawa kembali 96 milyar anak-anak sejati ke sisiNya. Anak-anak ini akan menikmati kekayaan dan kemakmuran di surga sesuai dengan perbuatan baik mereka (pengertian perbuatan baik disini adalah dedikasi yang dalam kepada aliran mereka).

Agar dapat mengendalikan pengikut-pengikutnya, Lo mengeluarkan peraturan bahwa orang-orang yang mencari "Jalan Surga" harus bersumpah kepada Tuhan Lao Mu. Sumpah-sumpah itu sangat kejam dan berbunyi sebagai berikut:


-Seorang tidak boleh mencari "Jalan Surga" dengan pura-pura.

-Seseorang tidak boleh mundur ketika diminta untuk maju.

-Seseorang tidak boleh membocorkan rahasia aliran, karena tindakan itu akan mengakibatkan tertangkapnya pemimpin dan kematian dari pemimpin aliran tersebut.

-Seseorang tidak boleh tidak sopan kepada "Chien Jen" yakni gelar yang diberikan kepada pejabat tinggi dalam aliran itu. Chien Jen memegang jabatan "orang kedua" dalam aliran tersebut. (Jumlah Chien Jen sangat sedikit, tetapi selain pemimpin tertinggi mereka "She Mu" mereka memegang kekuasaan tertinggi dan disanjung oleh pengikut-pengikut mereka, dan saat mereka tiba ataupun pergi selalu diiringi tata cara yang khidmat seperti yang biasa dilakukan terhadap keluarga kerajaan atau pejabat kerajaan yang berpangkat tinggi).

-Seseorang tidak boleh menganggur tanpa melakukan penyebaran ajaran mereka dengan penuh semangat.


Siapa saja yang melanggar salah satu dari peraturan-peraturan tersebut di atas akan disambar halilintar dan dibakar lima kali.


Dalam agama Buddha, terdapat satu hal yang amat penting yaitu Triratna: Buddha, Dharma dan Sangha. Maka untuk menandingi Triratna agama Buddha, Lo Wei Ching menciptakan Triratna versi dia sebagai berikut:

- Menunjuk "Hsien Kuan" yaitu menunjuk bagian tengah dahi di antara kedua alis mata dengan menggunakan jari tengah oleh seorang pandita mereka yang disebut Tien Chuan She.

- Memberitahukan kode lisan yang terdiri dari 5 kata: Wu, Thai, Fu, Mi, Nek.

- Mengatupkan tangan dengan cara-cara tertentu.


Seseorang yang ingin menjadi anggota baru harus mendapat rekomendasi dari dua orang anggota lama. Tetapi orang cacat, tukang jagal, pelacur-pelacur, preman-preman dan gelandangan-gelandangan tidak diterima sebagai penganut.

Pada tahun 1527, usaha Lo Wei Ching untuk menggulingkan rezim itu gagal. Dia ditangkap dan kemudian dihukum mati dengan cara tubuhnya ditarik dan dikoyak oleh 5 kereta kuda.


Kode Lisan

Lima kode lisan yaitu Wu, Thai, Fu, Mi, Nek dikatakan sangat membantu dalam keadaan bahaya. Tetapi kode lisan ini tidak dapat dibocorkan kepada siapapun, bahkan orang tua sendiri, suami dan isteri atau anak mereka jika mereka bukan anggota. Pada zaman Dinasti Qing, lima kata itu dirubah lagi menjadi: Min, Ta, Pao, Sin, Ik. Tetapi kode ini dirubah kembali menjadi kode yang semula, ketika Dinasti Qing runtuh dan menjadi Republik.



Dinasti Qing (Manchu) (1644-1911)

Pada zaman Dinasti Qing, pemberontakan dari aliran Bai Lian (Yi Guan Dao) sangat sering terjadi, khususnya pada pemerintahan Raja Qian Long (1736-1795) dan Raja Jia Jing (1796-1820). Pada akhir Dinasti Qing, yaitu pada tahun ke-18 pemerintahan Raja Jia Jing, nama aliran Bai Lian berubah lagi menjadi aliran Tien Li atau kadang-kadang disebut aliran Pa Kua. Pada suatu pemberontakan pengikut-pengikut Bai Lian gagal dan mereka bubar. Sebagian mereka bertobat dan menjadi bhikkhu tetapi yang lainnya tetap setia pada alirannya. Untuk menghindari perhatian pemerintah, aliran Bai Lian dibagi menjadi berbagai cabang-cabang dengan nama yang berbeda-beda. Aliran "Yi Guan Dao" yang ada sekarang merupakan salah satu cabang dari aliran Bai Lian.


He Liau Ko

Dia merupakan pemimpin kedua Yi Guan Dao. Dia mulai berontak melawan Dinasti Ching pada pemerintahan Qian Long di tahun 1774. Dia adalah seorang penghasut dan perencana jahat. Beberapa pemberontakan yang terjadi pada masa itu adalah hasil hasutannya. Pada tahun 1795, dia melancarkan satu pemberontakan secara besar-besaran yang merusak banyak propinsi yakni She Chuan, Hu Pei, He Nan, An Hui, Khan Su dan lain-lain. Pemberontakan ini disebut dalam sejarah Cina sebagai "Kerusuhan oleh bandit-bandit dari aliran Bai Lian (sekarang disebut Yi Guan Dao).


Wang Jue Yi

Dia merupakan keturunan dari Wang Hsing yang terkenal dengan reputasinya yang buruk pada zaman Dinasti Qing. Pada akhir zaman Dinasti Qing, ada organisasi yang memberikan pelatihan tinju yang disebut Yi He Tuan (Tuan=batalion) atau disebut Yi He Quan (Quan=tinju).

Organisasi ini berkedok sebagai tempat pelatihan tinju padahal organisasi ini Yi He Tuan adalah organisasi militer dengan cabang-cabang yang tersebar di berbagai tempat. Wang Jue Yi adalah panglima dari organisasi ini. Dengan kata lain, sebenarnya Yi He Tuan adalah organisasi Bai Lian (sekarang disebut Yi Guan Dao).

Sudah tentu, aliran Pai Lian masih dibawah pengawasan ketat dari pemerintah. Usaha pembasmian dari pemerintah terhadap pemberontak Bai Lian masih sering dilakukan. Pada saat itu, Ibu Suri Ci Xi ingin menggulingkan Kaisar dari tahta dengan tujuan untuk mengalihkan tahta kerajaan kepada keponakannya (Kaisar itu adalah anak dari hasil perkawinan selir dengan kaisar almarhum), tetapi rencana Ci Xi mendapat hambatan yang luar biasa dari pihak asing yang mendukung Kaisar. Supaya bisa menangani orang-orang asing tersebut, Ibu Suri mengizinkan anggota Yi He Tuan memasuki ibukota. Anggota seperguruan tertua (paling senior) yang bernama Chao Fu Thien, bersama dengan pemimpin-pemimpin cabang lainnya dipanggil ke istana untuk diberikan kehormatan berupa topi dan jubah yang mana hadiah ini hanya boleh dipakai oleh pejabat-pejabat tinggi di istana. Ini merupakan yang kedua kali dalam sejarah Cina dimana aliran sesat ini disetujui oleh pemerintah.

Tidak lama setelah aliran Bai Lian masuk ibukota, sekretaris Duta Besar Jepang dibunuh dan menyusul peristiwa itu, terjadi pembakaran dan pembunuhan secara besar-besaran. Pembakaran dan pembunuhan tersebut mengakibatkan pengaruh yang sangat besar dalam sejarah yaitu delapan negara asing (yaitu Inggeris, Amerika, Perancis, Jepang, Rusia, Austria dan Italia) bergabung dalam membentuk tentara sekutu untuk menyerang dan menduduki ibukota Cina. Inilah yang dalam sejarah dikenal sebagai Pemberontakan Boxer.

Setelah kejadian ini, anggota seperguruan tertua Chao Fu Thien, ditangkap oleh penduduk sekampung dengan kedua tangan diikat untuk diserahkan kepada pemerintah. Chao Fu Thien kemudian dihukum mati. Aliran sesat ini kembali mendapat larangan dari pemerintah Cina. Dengan kata lain, pengesahan aliran sesat ini hanya bertahan lebih kurang sebulan saja.



Republik Rakyat Cina (1911- sekarang)


Chang Thian Ran

Dia adalah pemimpin ke-18 aliran Yi Guan Dao. Dia dibesarkan di keluarga yang menganut aliran Pai Lian selama beberapa generasi. Semua pemimpin aliran sesat ini menyatakan dirinya sebagai inkarnasi Buddha Maitreya, namun ironisnya, semuanya mempunyai ambisi menjadi kaisar dan berakhir dengan kematian tragis. Berdasarkan fakta-fakta yang telah disebutkan di atas, maka Chang Thien Ran merubah pernyataan "Inkarnasi Buddha Maitreya" menjadi "Manusia Buddha Ci Kong". Dengan kata lain, dia menamakan dirinya sebagai Manusia Buddha Ci Kong.

Chang Thien Ran menyatakan dirinya telah menerima suatu mandat dari surga untuk menjadikan dirinya sebagai pemimpin ke-18 Yi Guan Dao. Dia menyebarkan doktrin yang sesat sebagaimana pendahulunya melakukan yakni "Sakyamuni Buddha telah mengundurkan diri sebagai penguasa Buddhisme dan Maitreya Buddha telah mengambil alih dalam pembabaran Buddha Dharma. Disamping doktrin sesat yang telah tersebar luas ini, dia juga menyebarkan pernyataan yang menyimpang bahwa zaman di dunia ini terdiri dari 3 periode:

- Periode (zaman) Hijau merupakan periode untuk Dipankhara Buddha.

- Periode (zaman) Merah merupakan periode untuk Sakyamuni Buddha.

- Periode (zaman) Putih merupakan periode terakhir dibawah naungan Maitreya Buddha. Dengan kata lain, kalpa sekarang adalah kalpa Maitreya Buddha.


Pada tahun 1946, Chang Thien Ran ditangkap karena menyebarkan doktrin sesat yang meracuni pikiran masyarakat setempat bahwa dengan menyatakan kode rahasia akan membuat mereka menjadi Buddha dalam bentuk manusia. Disamping itu, dia juga bergabung dengan Jepang melakukan kerusuhan di ibukota.

Pada tanggal 13 Agustus 1947, Chang Thien Ran ditembak mati oleh regu penembak pemerintah di Cheng Tu, ibukota She Chuan. Tindak kejahatannya diterbitkan di koran-koran setempat. Menyusul peristiwa ini, pemerintah mengeluarkan larangan keras segala aktivitas Yi Guan Dao.

Setelah kematian Chang Thien Ran, isterinya yang bernama Sun Suk Cen, sering dipanggil dengan She Mu (gelar kehormatan untuk isteri guru) dijadikan pemimpin tertinggi Yi Guan Dao. Tidak lama kemudian Sun Suk Cen datang ke Taiwan dan menjadi pemimpin tertinggi Yi Guan Dao di Taiwan.