Lompat ke isi

Bollangi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 8 Januari 2020 14.54 oleh Oemar Sabri (bicara | kontrib) (Menambah Kategori:Sejarah menggunakan HotCat)

Bollangi merupakan sebuah Dusun yang masuk dalam wilayah Kabupaten Gowa tepatnya di Kecamatan Patalassang, Desa Timbuseng. Kira-kira berjarak 17 km dari Ibukota Kabupaten Gowa, Sungguminasa. Dusun Bollangi terdiri atas 4 Lingkungan yaitu Bollang 1, Bollangi 2, Bollangi 3 dan Bollangi 4. Dusun Bollangi dapat diakses melalui tiga jalur. Ketiga jalur tersebut adalah:

  1. Melalui Jalan Bollangi, yaitu poros Kecamatan Pattallassang ke Kecamatan Bontomarannu.
  2. Melalui Kompleks pemakamanan Tionghoa Bollangi,
  3. Melalui Poros Malino - Sunggumniasa
Gunung Bollangi tampak dari Dusun Teamate Desa Pallantikang

Dusun Bollangi merupakan daerah di lereng Gunung Bollangi dengan ketinggian sekirar 1000-1500 meter di atas permukaan laut. Dengan kondisi alam yang berada di lereng bukit, maka sebahagian besar penduduknya lebih mengandalkan hasil tanah sebagai sumber penghidupan yaitu bertani dan berkebun. Pekerjaan pertanian sawah mereka merupakan sawah tadah hujan sehingga praktis dalam setahun penduduk Dusun Bollangi hanya memperoleh hasil pertanian sawah sekirta 1 sampai 2 kali saja. Sedangkan untuk hasil perkebunan mereka mengandalkan hasil membuat gula merah yang berbahan nira enau, selain itu mereka juga mengadalkan buah-buah musiman seperti buah Dukuh, Langsat dan Rambutan.[1] Bollangi didiami oleh Orang Bugis yang merupakan masyarakat urban yang berasal dari Kabupaten Bone. Dulunya Bollangi ini di khususkan untuk orang Bugis Bone tapi sekarang sudah ada juga orang Makassar yang tinggal di daerah ini bahkan sudah banyak orang Bugis yang menikah dengan orang Makassar sehingga disini bisa menggunakan bahasa Bugis, dan bisa juga pakai bahasa Makassar.[2]

Asal usul bugis di Bollangi

Ketika Raja Gowa XI I Taji Barani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta menjadi raja pada tahun 1565 menggantikan saudaranya Karaeng Tunipallanga Ulaweng. [3] Upeti kerajaan Bone tidak kunjung datang. Sehingga, meyuruh 6 suro (orang suruhan) ke Bone untuk mengambil upeti tersebut. Setelah mendapatkan upeti dari Arung Pone ke-6 suro itu pamit untuk kembali ke tanah Gowa. dalam perjalanan salah satu suro itu mempengaruhi suro yang lainnya agar upeti tersebut dibagi rata saja dan diganti dengan pasir. Setelah sampai di Kerajaan Gowa, alangkah kagetnya raja ketika membuka upeti tersebut yang hanya berisikan pasir.

Raja Gowa  I Taji Barani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta merasa tersinggung atas perlakuan Kerajaan Bone yang memberikan upeti pasir. Sehingga, dia memutuskan untuk menyerang Kerajaan Bone. Terjadilah pertempuran antara Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa yang menewaskan Raja Gowa  I Taji Barani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta yang baru 40 hari menjadi Raja Gowa.

Akibat ketegangan yang terjadi di dua kerajaan tersebut, mayat Sombaya (I Taji Barani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta) yang masih berada di Bone akhirnya diantar ke Gowa oleh Kajao Lalido bersama kelima arung dengan menggunakan tandu dari sarung.

I Manggorai Daeng Mameta adalah anak dari Raja Gowa IX I Taji Barani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta yang menggantikannya mengucapkan terima kasih atas sudinya orang Bone mengembalikan jenasah tersebut.

Raja I Manggorai Daeng Mameta meminta kepada suruhan Kerajaan Bone agar dapat tinggal di tanah Gowa sebagai balas jasa yang telah mereka lakukan. Suruhan Kerajaan Bone menerima titah raja tersebut dan menunjuk gunung Mallawi sebagai tempat tinggal mereka. Karena sebagian besar pengikut berasal dari daerah Wollo Langi  Bone. Akhirnya nama daerah itu berubah menjadi Wollangi dan akhirnya berubah nama menjadi Bollangi seperti yang kita kenal saat ini.[4]

Mempertahankan kesukuan

Mempertahankan eksistensi keberadaan mereka dalam bidang pendidikan adalah dengan memberikan pelajaran-pelajaran tentang tata bahasa Bugis dalam keluarga mereka. Hal tersebut sangat memungkinkan karena bahasa ibu mereka adalah bahasa Bugis. Penuturan yang mereka lakukan dalam keseharian mereka adalah bahasa Bugis. Akan tetapi orang-orang Bollangi jika telah bergaul dengan orang luar Bollangi atau telah bersekolah setingkat SMA, mereka telah pandai berbahasa Makassar, begitupula dengan orang-orang tua sudah pandai menggunakan bahasa Makassar. Selain bahasa yang menjadi unsur utama dalam sebuah kebudayaan, maka unsur budaya lain yang menjadi identitas sebuah suku adalah upacara-upacara adat. Dalam tatanan masyarakat suku Bugis di dusun Bollangi berbagai macam upacara adat senantiasa diselenggarakan sebagai upaya untuk mendekatkan kembali masyarakat terhadap adat keBugisan mereka seperti Apaenre Nanre. Adat istiadat ini merupakan tradisi ini yang turun temurun dari nenek moyang di masyarakat Bollangi, tradisi ini dilakukan oleh sebagian besar warga bahkan orang-orang yang berada di luar pemukiman itupun seringkali berkunjung ke puncak gunung tersebut yang sering mereka sebut dengan “Appaenre Nanre”. Tradisi tersebut dilakukan saat seseorang atau sekelompok orang berniat untuk berkunjung ke puncak gunung tersebut. Selain niat, adapula warga yang berkunjung ke puncak gunung tersebut karena adanya janji atau nazar yang telah diucapkan. Misalnya seseorang bernazar jika anaknya lulus di suatu pekerjaan ia akan naik ke puncak gunung tersebut.[5]

Referensi

  1. ^ Muslim, Asrul (28 Oktober 2013). "Potret Masyarakat Suku Bugis di Dusun Bollangi Desa Timbuseng". Potret Masyarakat Suku Bugis. Diakses tanggal 05 Januari 2020. 
  2. ^ Ridha, Muh. Rasyid (2017). "INTEGRASI ORANG BUGIS DI KABUPATEN GOWA (Studi Sosiologi terhadap Orang Bugis Bone di Bollangi)". INTEGRASI ORANG BUGIS DI KABUPATEN GOWA (Studi Sosiologi terhadap Orang Bugis Bone di Bollangi). Diakses tanggal 08 Januari 2020. 
  3. ^ Tika, Zainuddin, dkk (2006). Profil Raja Raja Gowa. Makassar: Lembaga Kajian dan Penulisan Sejarah Budaya Sulawesi Selatan. 
  4. ^ Tika, Zainuddin (2009). Sejarah Pattallassang. Makassar: Lembaga Kajian dan Penulisan Sejarah Budaya Sulawesi Selatan. 
  5. ^ Mannan, Audah (2017). "TRADISI APPAENRE NANRE DALAM PERSPEKTIF AQIDAH ISLAM (Studi Kasus Masyarakat Desa Bollangi Kecamatan Pattalassang)". Ilmu Aqidah. 3.