Bank Umum Nasional
Bank Umum Nasional adalah Bank Devisa Swasta Nasional (BDSN) yang menduduki peringkat kelima (1989) bank swasta nasional terbesar di Indonesia, yakni setelah Bank Central Asia (BCA), Bank Duta, Bank Niaga, dan Lippobank. BUN didirikan oleh beberapa tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) di Jakarta pada 2 September 1952. Pada tahun 1954, BUN berhasil meningkatkan statusnya dari bank swasta non-devisa menjadi bank devisa. Pada tahun 1967, jumlah cabangnya telah mencapai 11 cabang di Indonesia. Karena pemilik tidak mampu mengelolah perkembangan bank sesuai dengan tuntutan zaman, pada awal era orde baru mereka menyerahkan manajemen serta saham bank kepada sekelompok pengusaha swasta di bawah pimpinan Ongko Kaharudin. Ongko Kaharudin adalah seorang Raja Keramik Indonesia karena KIA-nya, menjadi pemegang saham mayoritas BUN. Di bawah manajemen baru, bank ini mulai berkembang pesat, baik dalam jumlah aset, laba yang diperoleh, maupun perluasan jaringan usaha. Dengan tekad pemerintah memberikan angin baru dalam dunia perbankan dan lembaga keuangan lain, sejak ditetapkannya Paket Kebijakan 27 Oktober (Pakto 27), BUN memperoleh peluang memperluas kegiatannya.[1]
Sejarah
Bank Umum Nasional (atau lebih dikenal dengan singkatan BUN) didirikan pada tanggal 2 September 1952 berdasarkan Akta No. 16 diubah dengan Akta No. 34 tanggal 7 November 1952 dibuat dihadapan Notaris R.M.Soerojo dengan tujuan mengembangkan usaha perbankan nasional dalam membangun sendi-sendi ekonomi nasional[2]. Bank ini pada awalnya dimiliki oleh beberapa tokoh PNI (Partai Nasional Indonesia) di Jakarta. Dalam perkembangannya bank tersebut dipimpin oleh petinggi PNI, yaitu wakil ketua umum PNI, Suwirjo sebagai presiden bank, Ong Eng Die sebagai wakil presiden bank dan Iskak Tjokroadisurjo sebagai ketua dewan direksi [3]. Sejarah awal bank ini, seperti dicatat oleh Richard Robinson dalam buku Indonesia: The Rise of Capital sangat dipengaruhi oleh PNI yang berkuasa pada saat itu (Kabinet Ali I), seperti perintah dari Ong dan Iskaq yang meminta bank ini menjadi tempat sejumlah lembaga pemerintah mendepositkan uangnya[4][5].
Pada tahun 1967 bank tersebut hampir mengalami keruntuhan karena krisis ekonomi pada saat itu. Lagi-lagi, keterkaitan bank ini dengan kekuasaan terlihat pada saat tahun yang sama, pada saat itulah pemerintah Soeharto yang diwakili oleh kelompok OPSUS pimpinan Ali Murtopo berusaha menekan PNI untuk "patuh" kepada Presiden, sehingga agar PNI lebih taat, maka OPSUS kemudian memutuskan untuk menyelamatkan BUN lewat cara penyuntikan dana [6][7]. Operasi ini dilakukan dengan menggunakan tangan salah satu teman terdekat Murtopo, Njoo Han Siang (bersama Dr. Suhardiman dan Thomas Suyatno[8])[9]. Saham Murtopo kemudian beralih ke tangan perwira OPSUS, Agus Hernowo dan sisanya tetap dimiliki oleh Njoo[10]. Posisi Njoo adalah sebagai direktur utama (1968-1972), lalu sebagai komisaris utama (1972-1977)[11]
Pada April 1972, pengusaha pemilik pabrik keramik KIA (Keramika Indonesia Asosiasi), Kaharuddin Ongko (Ong Ka Huat) membeli saham pengendali bank tersebut dari tangan Njoo Han Siang[12]. Ongko kemudian menyuntikkan dana sebesar US$ 2 juta pada tahun 1972[13]. Pengambilalihan ini dilakukan dengan tangan perusahaan Ongko, yaitu PT Kedjajaan Budi[14]. Di bawah kepemimpinan Ongko, bank tersebut menjadi salah satu bank swasta terbesar di Indonesia pada era 1980-an. Pada tahun 1991, 40% persen saham bank ini dibeli oleh pengusaha Bob Hasan[15] setelah kredit macet sempat mengguncang bank ini. Sebelum dibeli oleh Bob, bank tersebut juga sebelumnya berhasil mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya pada 12 Juli 1990, dengan kode efek BNUM[16]. Pasca berubahnya kepemilikan saham, Bob menjabat sebagai presiden komisaris, Ongko menjadi wakil presiden komisaris serta presiden direktur dijabat oleh Leonard Tanubrata sejak 1983[17][18][19]. Era 1990-an bank ini menjadi salah satu bank swasta terbesar di Indonesia. Namun sayang, seperti banyak bank lain pada masa itu yang dimiliki konglomerat, BUN tidak lebih menjadi sapi perah dua konglomerat pemiliknya (seperti hutang Rp 3,3 triliun untuk Ongko dan 118 milyar untuk Bob)[20]
Krisis ekonomi yang menerjang Indonesia sejak Agustus 1997 membawa bank ini kelimpungan. Pemerintah kemudian mengucurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk menyelamatkan BUN. Lagi-lagi, layaknya kebanyakan bank lain, dana BLBI diselewengkan oleh pemilik bank ini. Total dana yang dikucurkan mencapai Rp 12.067.961 triliun rupiah.[21][22]Akibat penyelewengan itu, BUN menjadi tidak sehat sehingga pemerintah memutuskan untuk membekukan BUN bersama Bank Modern dan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) - dalam status Bank Beku Operasi/BBO pada 21 Agustus 1998[23], yang berarti mengakhiri riwayat BUN.