Lompat ke isi

Bubuksah dan Gagangaking

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Bubukṣah dan Gagangaking (variasi nama: Bubhuksah, Bela-belu yang dalam versi lisan Jawa modern terkadang ditambah gelar "syekh", Gagakaking, Dami Aking) adalah suatu cerita rakyat didaktis yang popular dari masa Majapahit, dan hingga sekarang diwariskan turun-temurun, baik secara lisan maupun tertulis (pada helai lontar, khususnya di Bali). Kisah ini diabadikan di beberapa candi dan potongan relief di Jawa Timur yang merupakan peninggalan Majapahit, seperti Candi Penataran, Candi Gambar Wetan, dan Candi Surawana. Cerita Bubuksah dan Gagangaking dalam relief candi sering kali ditampilkan bersama-sama cerita Sri Tanjung.

Cerita ini merupakan cerita didaktis keagamaan hasil pengembangan pujangga sastra Jawa asli. Isinya menceritakan bagaimana dua cara "laku" (ritual ibadah untuk mencapai tujuan tertentu) yang berbeda diukur hasilnya. Kesetiaan akan tujuan dari laku tersebut yang akan dinilai, bukan dari cara lakunya itu sendiri.

Jalan cerita

Karena diwariskan secara lisan turun-temurun, berbagai versi cerita ini muncul. Namun demikian, ada plot yang tetap dipertahankan. Berikut disampaikan versi umum yang cukup dikenal.

Ada dua orang bersaudara bernama Gagangaking (sang kakak) dan Bubuksah (adiknya), yang karena sesuatu hal (banyak versi mengenai hal ini), kemudian belajar untuk menjadi pertapa dan mendapat perkenan dewa. Mereka belajar dari seorang guru, namun dalam pelaksanaanlakú bertapanya menempuh dua jalan yang berbeda.

Gagangaking membatasi makan dan minum serta kenikmatan duniawi sebagai laku prihatin untuk mencapai tingkat spiritual tertinggi. Akibatnya tubuhnya menjadi kurus-kering; itulah mengapa ia dijuluki Gagangaking (artinya "tangkai kering"). Sebaliknya, sang adik - Bubuksah, yang artinya "usus serakah" - menempuh laku dengan menikmati segala hal yang duniawi, termasuk makan dan kesenangan, sebagai bentuk "tantangan" kepada tubuhnya sendiri sebagai bentuk pencapaian spiritual. Gagangaking, sebagai kakak mencoba mengingatkan Bubuksah agar meninggalkan cara laku tersebut, yang dianggapnya membuat sang pelaku mudah tergelincir dalam kenikmatan duniawi. Bubuksah menolak peringatan tersebut. Akhirnya, kedua bersaudara tersebut terlibat dalam perdebatan.

Menyaksikan perdebatan tersebut, sang Batara Guru menjadi prihatin. Untuk itu ia mengutus Dewa Kalawijaya untuk menguji keteguhan hati kedua pertapa tersebut. Dalam wujud harimau yang kelaparan, Kalawijaya mendatangi Gagangaking. Ia bermaksud untuk memangsa Gagangaking untuk menghilangkan laparnya. Gagangaking menolak maksud sang harimau dengan menyatakan bahwa ia terlalu kurus untuk dijadikan mangsa. Selanjutnya, sang harimau menemui Bubuksah dan menyatakan ingin memangsanya. Ternyata, Bubuksah menyediakan dirinya untuk dimangsa sang harimau karena menganggap itulah saatnya bagi dia untuk menuju tujuan lakunya, menghadap dewa.

Sang harimau lalu menyatakan bahwa Bubuksah dinyatakan lulus ujian dan mempersilakannya naik ke punggungnya untuk kemudian diantarkan menuju tempat para orang suci. Namun, sebelum berangkat, Bubuksah meminta sang harimau agar sang kakak, Gagangaking, juga ikut serta dengannya, dengan alasan ia pun juga telah melakukan laku tapa dengan tulus. Sang harimau menyetujui tapi dengan syarat Gagangaking tidak naik di punggungnya. Akhirnya Gagangaking ikut serta dengan berpegangan pada ekor sang harimau menuju ke tempat para orang suci.

Variasi

Pewarisan turun-temurun melalui sastra lisan menimbulkan banyak penafsiran dan variasi baru dari plot umum cerita. Versi yang populer di Bali menceritakan kedua bersaudara tersebut membangun sebuah pendopo sebagai ajang belajar untuk bertapa (laku)[1]

Panil cerita di Candi Penataran

Di kompleks Candi Penataran, kisah Bubuksah dan Gagangaking ditampilkan dalam lima adegan pada panil di sisi timur di antara dua tiang naga, bergerak dari selatan ke utara (dari kiri ke kanan). Penggambaran dimulai dari pertemuan Gagangaking dan Bubuksah yang kemudian menjadi perdebatan. Adegan paling khas dari kisah ini, yaitu Bubuksah menunggang harimau yang diikuti oleh Gagangaking yang berpegangan pada ekor ada pada adegan keempat. Adegan ini juga ditemukan di Candi Surawana. Berikut adalah perincian dari panil-panil tersebut.

Nomor adegan Gambar Rincian cerita
1
Gambaran adegan 1: Tampak dua orang duduk berhadap-hadapan. Yang di sebelah kiri tampak bertubuh gemuk (Bubuksah) dan di sebelah kanan berbadan kurus (Gagangaking). Tampak bangunan rumah di sebelah kanan, menyiratkan bahwa percakapan terjadi di halaman atau pendopo rumah.


Penafsiran cerita: Dua bersaudara pertapa, Bubuksah dan Gagangaking tengah berdebat mengenai cara laku yang benar: apakah dengan cara berpantang makanan sehingga tubuh menjadi kurus atau dengan cara memakan segala sesuatu yang tersedia.

2
Gambaran adegan 2: Seekor harimau/macan duduk berhadapan dengan seorang pertapa dalam posisi duduk. Pertapa ini bertubuh kurus.


Penafsiran cerita: Macan jelmaan dari Kalawijaya menguji keteguhan hati Gagangaking, apakah ia bersedia berkorban dengan menjadi mangsa sang harimau. Gagangaking dalam kejadian ini menolak untuk menjadi mangsa.

3-4
Gambaran adegan 3: Seekor harimau/macan duduk berhadapan dengan seorang pertapa dalam posisi duduk. Pertapa ini bertubuh gemuk.


Penafsiran cerita: Macan jelmaan dari Kalawijaya menguji keteguhan hati Bubuksah, apakah ia bersedia berkorban dengan menjadi mangsa sang macan. Bubuksah bersedia menjadi mangsa karena ia menganggap itulah saat dia menghadap kepada pada dewa.

Gambaran adegan 4: Seekor macan tampak meloncat (terbang?) dan di punggungnya tampak duduk sesosok orang yang bertubuh gemuk. Pada ekor macan juga tampak sosok bertubuh kecil berpegangan.

Penafsiran cerita: Bubuksah dianggap layak untuk memasuki alam orang suci dan diantar oleh sang macan untuk menuju ke sana. Atas permintaan Bubuksah, kakaknya Gagangaking juga boleh ikut, tetapi oleh sang macan dilarang ikut naik di punggungnya.

5
Gambaran adegan 4: S

Penafsiran cerita:

Rujukan

Bacaan



  1. ^ a b Suleiman, Satyawati (1981). Seri Penerbitan Bergambar 3: Batur Pendopo Panataran. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.