Lompat ke isi

Patih Udara

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 11 April 2020 02.30 oleh 114.5.244.213 (bicara) (Sejarah: Perbaikan kesalahan ketik)

Patih Udara adalah seorang patih (rakryan apatih atau hamangkubhumi) kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Dyah Ranawijaya.[1] Ia juga diketahui sebagai seorang pemegang kekuasaan terakhir sisa-sisa kerajaan tersebut (1499-1518),[2] sebelum akhirnya diambil-alih seutuhnya oleh Kesultanan Demak.

Sejarah

Menurut keterangan Babad Tanah Jawi, Patih Udara merupakan anak dari Patih Wahan, dan semula menjabat sebagai seorang adipati di Kediri.[1] Mpu Wahan adalah patih yang mendampingi raja Majapahit Dyah Ranawijaya di awal masa pemerintahannya,[3] Udara kemudian juga mendampingi Ranawijaya sebagai patih pada masa akhir pemerintahannya.

Pengelana Portugis Tomé Pires berkunjung ke Jawa antara tahun 1512-1515 menyebutkan dalam catatannya Suma Oriental bahwa Pate Udra (atau Pate Andura) memiliki kekuasaan yang cukup besar. Meskipun hanya sebagai patih (viso rey) dan panglima perang (capitam moor), ia sangat disegani sehingga dianggap hampir seperti raja.[4]

Masa pemerintahan Patih Udara sebagai penerus kekuasaan Dyah Ranawijaya belum dapat dipastikan secara tepat. Ranawijaya masih mengeluarkan Prasasti Jiwu I bertarikh 1486, yang menceritakan pengukuhan anugerah raja kepada pendukungnya dalam perang saudara melawan Bhre Kertabhumi.

Berita dari Dinasti Ming tahun 1499 juga menyebutkan masih adanya hubungan diplomatik antara Cina dan Jawa (Majapahit).[5] Namun, wali kota Malaka Portugis Rui de Brito pada tahun 1514 dan penulis Portugal Duarte Barbosa pada tahun 1518 hanya menyebutkan adanya seorang "raja kafir" yang masih berkuasa di pedalaman Jawa tanpa menyebutkan nama.

Sedangkan laporan Antonio Pigafetta tahun 1522 mengesankan tidak ada lagi Majapahit, serta Pati Unus lah sebagai penguasa atas bekas wilayah kerajaan tersebut antara tahun 1518-1521.[2] Maka diperkirakan Udara berkuasa atas sisa-sisa pemerintahan Majapahit pada masa antara 1499-1518.

Legenda dan fiksi

Dalam lakon wayang klithik Jawa Timur serta dalam naskah Serat Langendriya Episode Damarwulan Ngarit (no. kat. D.166) dan Serat Lampahan Damarwulan Ngarit (no. kat. G.162) koleksi Perpustakaan Reksapustaka, Pura Mangkunegaran, Surakarta, tokoh Patih Udara disebutkan sebagai ayah dari Damar Wulan. Ia adalah bekas patih Majapahit yang mengudurkan diri, yang posisinya digantikan oleh adiknya yaitu Patih Lohgender.[6]

Pada cerita fiksi Nagasasra Sabuk Inten karya pengarang S.H. Mintardja, terdapat tokoh raja terakhir Majapahit bernama Hudhara yang bergelar Brawijaya VII, yang disebutkan memberikan izin kepada Raden Patah untuk memindahkan pusat kerajaan Majapahit ke Demak.[7]

Lihat pula

Sumber Kitab Puspa Njanti Patih Udara adalah cucu dari Patih Wahan. Patih Wahan adalah ayah dari Rara Ayu Reswati. Rara Ayu Reswati adalah ibu dari Andura Arta Dirja atau Patih Udara. Patih Wahan semula menjabat sebagai seorang adipati di Kediri. Wahan adalah kadipaten yang dipimpin oleh Patih Wahan. Daerah wahan sekarang adalah purbalingga tepatnya didesa Dawuhan. Patih Wahan adalah patih yang mendampingi raja Majapahit Dyah Ranawijaya di awal masa pemerintahannya dan juga sebagai mertua Dyah Rana Wijaya itu sendiri. Patih Udara kemudian juga mendampingi Dyah Ranawijaya sebagai patih pada masa akhir pemerintahannya. Masa pemerintahan Patih Udara sebagai penerus kekuasaan Dyah Ranawijaya adalah setelah Dyah Ranawijaya mengeluarkan Prasasti Jiwu I bertarikh 1486 yang berisi pengukuhan anugerah raja kepada pendukungnya dalam perang saudara melawan Bhre Kertabhumi. Jadi Masa pemerintahan terakhir adalah 1486 - 1518 dibawah Raja terakhir Patih Udara atau disebut sebagai Arta Dirja yang diangkat oleh Dyah Ranawijaya. Berkedudukan di lasem - Rembang Jawa Tengah. Patih Udara diangkat menjadi Raja Lasem oleh Dyah Rana Wijaya pada tahun 1486, dengan Gelar Shri Nata Wekasan Andura Wijayakrama Bhre Lasem VII. Raden Patah yang telah mendirikan Kesultanan Demak Bintara pada tahun 1478 dengan dukungan para wali dan kesultanan Turki menyerang Kuta Reja Majapahit dengan maksud mengambil alih tahta dan juga memutus hubungan dagang antara Majapahit dan Portugis di Malaka. Penyerangan ke Majapahit dimulai 1489 hingga 1490, setelah Pusat Pemerintahan Majapahit di Kuta Reja hancur oleh Serangan Demak Bintara, maka Girindrawardhana Dyah Rana Wijaya dalam pelariannya ke lasem menyerahkan kendali pemerintahan Majapahit kepada Bhre Lasem VII dan memutuskan untuk melaksanakan pati obong (membakar diri bersama permaisuri) di Pantai Ngobaran Pesisir Laut Selatan. Setelah menjadi Raja Majapahit Bhre Lasem VII disebut sebagai Brawijaya VII. Sejak saat itu pusat Pemerintahan Majapahit berpindah ke Kota Lasem. Lasem kala itu adalah salah satu pelabuhan terbesar Majapahit sekaligus markas besar armada laut Majapahit. Pada masa ini, Majapahit hanya memiliki wilayah Metahun, Jagaraga, Pandansalas, Kalinggapura, Kembang Jenar dan Paguhan. Wilayah - wilayah inilah yang masih setia dibawah payung pemerintahan Majapahit. Wilayah Kalinggapura, Kemban Jenar, Paguhan, Mataram, Wengker, Kertabhumi dan Kuta Reja Majapahit telah jatuh menjadi wilayah Demak Bintara. Sedangkan Lamajang Tigang Juru, pakembangan, pamotan, kahuripan, madura, tuban, tumapel, daha, keling, singhapura dan lodaya memilih untuk berdiri sendiri. Lambat laun Kahuripan, Madura, tuban, tumapel, daha, keling, singhapura dan lodaya jatuh dalam kekuasaan Demak Bintara sebagai akibat melepaskan diri dari kekuatan induk Majapahit. Pada tahun 1514 Demak Bintara dibawah pimpinan Pati Unus menyerang Lasem. Peperangan memakan waktu yang lama hingga Lasem hancur lebur pada tahun 1518 akibat diserang dari 2 kekuatan yaitu dari Demak Bintara dan Penjajah Asing VOC belanda. Sejak tahun 1515 VOC berusaha menanamkan pengaruh perdagangannya dijawa, namun kalah bersaing dengan portugis yang bermarkas di malaka. Maka sejak tahun 1516 VOC mendapat hak istimewa dari Kerajaan Belanda untuk mendukung kelancaran usaha VOC di Indonesia dan dapat melaksanakan tugasnya secara leluasa, maka VOC memiliki beberapa hak istimewa ( Hak Octroi), yaitu : 1.Hak monopoli perdagangan 2.Hak mencetak dan mengedarkan uang 3.Hak mengangkat dan memperhentikan pegawai 4.Hak mengadakan perjanjian dengan raja-raja 5.Hak memiliki tentara sendiri 6.Hak mendirikan benteng 7.Hak menyatakan perang dan damai 8.Hak mengangkat dan memperhentikan penguasa-penguasa setempat. 9.Hak menjalankan kekuasaan kehakiman Dengan adanya hak istimewa ini, militer penuh mendukung penaklukan jawa dibarat dan timur. Perang antara Demak Bintara dan Majapahit di Lasem berlangsung 1514 - 1518. Sedangkan VOC menyerang Lasem dari sisi timur pada tahun 1518. Jadi pada tahun 1518 Kedaton Lasem Majapahit harus menghadapi 2 kekuatan sekaligus. Ditimur dan laut utara lasem menghadapi serangan VOC. Sedangkan di sisi barat dan selatan menghadapi Demak Bintara. Kejadian ini disebut Puputan Lasem dalam Kidung Suma Wijaya. Diujung peperangan Demak Bintara membiarkan pasukan VOC mendesak Kekuatan Lasem Hingga ke Astana Go Kwa (Gowak skrg) Go kwa adalah nama yang diberikan oleh seniman kekaisaran cina yang membangun pura perabuan Duhitendu Dewi. Di daerah bukit Gowak inilah Patih Udara atau Brawijaya VII bertempur penghabisan. Seluruh pasukan bhayangkara dan pasukan Dharma Raja gugur. Patih Udara yang terluka parah ditahan VOC. Sedangkan Ajeng Ayu Mayang Sari (Puri Purwa) permaisuri Patih Udara membawa serta putra sawata wayang Cakra Wijaya Krama meloloskan diri dikawal Pasukan Dharma Raja melarikan diri jauh ke timur dan menetap di Puri Agung Purwa Blambangan. Tak lama setelah menaklukkan Majapahit di Lasem, VOC harus menarik semua kekekuatannya sebab diserang mendadak oleh Demak Bintara dibawah pimpinan Pati Unus. Kekuatan VOC di lasem pun menggabungkan diri dengan kekuatan utama di barat yang juga sedang menaklukkan jayakarta di sunda kelapa. Pasukan Demak Bintara berhasil menemukan Patih Udara yang terluka parah dan diserahkan pada Pati Unus. Dan akhirnya Patih Udara dihukum penggal oleh Pati Unus karena Patih Udara menolak pengampunan bersyarat yaitu memeluk Agama Islam. Hingga awal tahun 1600 Demak Bintara masih mendapat perlawanan dari sisa - sisa Laskar Majapahit. Sejak 1602 Jayakarta di jawa wilayah barat jatuh ke tangan VOC. Dan jawa mulai melemah setelah Majapahit runtuh. Penjajahan atas nusantara oleh asing dimulai.

Referensi

  1. ^ a b W.L. Olthof, Babad Tanah Djawi, 1941, teks bahasa Jawa, hlm. 17-18.
  2. ^ a b G.P. Rouffaer, "Wanneer is Madjapahit gevallen?", BKI, 50, 1899, hlm. 144; H.J. de Graaf en Th. G. Th. Pigeaud, De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java, 1974, hlm. 47.
  3. ^ OJO,XCI, baris ke-2.
  4. ^ Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tomé Pires, I, 1944, hlm. 175-176.
  5. ^ Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, 1960, hlm. 36.
  6. ^ Romania (2009). "Serat Langendriya Episode Damarwulan Ngarit (Suatu Tinjauan Filologis)" (PDF). Skripsi. Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Diakses tanggal 28 Juni. 
  7. ^ Februana, Ngarto (2007). "Sepak Terjang Para Pendekar". Tempo. Diakses tanggal 16 Juni. 
Didahului oleh:
Girindrawardhana
Penguasa Majapahit
1499-1518
Diteruskan oleh:
-