Lompat ke isi

Pembatasan sosial

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 8 Mei 2020 15.03 oleh Tommy gandes S P (bicara | kontrib) (referensi)
Para pembeli menjaga jarak saat mengantri untuk masuk toko di Spanyol. Para pembeli ini menunggu di luar karena jumlah pengunjung di dalam toko juga dibatasi.
Lazzaretto of Ancona adalah bangunan abad ke-18 yang dibangun di atas pulau buatan untuk dijadikan sebagai tempat karantina dan leprosarium bagi pelabuhan Kota Ancona, Italia.

Pembatasan sosial (bahasa Inggris: social distancing) atau menjaga jarak (bahasa Inggris: physical distancing) adalah serangkaian tindakan pengendalian infeksi nonfarmasi yang dimaksudkan untuk menghentikan atau memperlambat penyebaran penyakit menular. Tujuan dari pembatasan sosial adalah untuk mengurangi kemungkinan kontak antara orang terinfeksi dan orang lain yang tidak terinfeksi, sehingga dapat meminimalkan penularan penyakit, morbiditas, dan terutama, kematian.[1][2][3]

Pembatasan sosial paling efektif dilakukan ketika infeksi dapat ditularkan melalui kontak percikan atau droplet (batuk atau bersin); kontak fisik langsung, termasuk kontak seksual; kontak fisik tidak langsung (misalnya dengan menyentuh permukaan yang terkontaminasi seperti fomit); atau transmisi melalui udara (jika mikroorganisme dapat bertahan hidup di udara untuk waktu yang lama).[4]

Pembatasan sosial mungkin kurang efektif dalam kasus ketika infeksi ditularkan terutama melalui air atau makanan yang terkontaminasi atau oleh vektor seperti nyamuk atau serangga lain, dan pada kasus yang lebih jarang, dari orang ke orang.[5]

Kerugian dari pembatasan sosial dapat berupa kesepian, berkurangnya produktivitas, dan hilangnya manfaat lain yang berkaitan dengan interaksi manusia.

Salah satu rujukan paling awal tentang pembatasan sosial ditemukan pada abad ketujuh SM dalam Kitab Imamat, 13:46: "Dan penderita kusta yang terkena wabah itu … ia akan tinggal sendirian; [di luar] tempat tinggalnya."[6]

Secara historis, koloni penderita kusta dan lazareto dibangun sebagai cara untuk mencegah penyebaran kusta dan penyakit menular lainnya melalui pembatasan sosial,[7] sampai metode penularan penyakit tersebut dipahami dan pengobatan yang efektif ditemukan.

Contoh

Presiden Taiwan Tsai Ing-wen menggunakan salam tradisional menggantikan berjabat tangan untuk menjaga jarak sosial.

Beberapa contoh pembatasan sosial yang digunakan untuk mengendalikan penyebaran penyakit menular:[8][9]

  • penutupan sekolah (proaktif atau reaktif),[10]
  • penutupan tempat kerja,[11] termasuk penutupan bisnis dan layanan sosial yang "tidak esensial" (Istilah "tidak esensial" berarti fasilitas tersebut tidak berperan dalam fungsi utama masyarakat, dan merupakan lawan dari layanan esensial[12]),
  • isolasi,
  • karantina,
  • cordon sanitaire,
  • sekuestrasi protektif,
  • pembatalan pertemuan massal seperti acara olahraga, film, atau pertunjukan musik,[13]
  • menutup atau membatasi transportasi umum,
  • penutupan fasilitas rekreasi (kolam renang komunitas, klub pemuda, gimnasium),[14]
  • tindakan "melindungi diri" untuk individu termasuk membatasi kontak tatap muka, melakukan bisnis melalui telepon atau dalam jaringan (daring), menghindari tempat umum dan mengurangi perjalanan yang tidak perlu,[15][16] dan
  • tidak berjabat tangan saat menyapa orang lain.[17]

Keefektifan

Mencegah puncak infeksi yang tajam, yang dikenal sebagai meratakan kurva epidemi, membantu mencegah layanan kesehatan mengalami kewalahan, dan juga menyediakan lebih banyak waktu untuk pengembangan vaksin atau pengobatan. Menyebarkan infeksi dalam jangka waktu yang lebih lama memungkinkan layanan kesehatan untuk mengelola volume pasien dengan lebih baik.[18][19]
Model kurva yang menunjukkan pentingnya pembatasan sosial sejak awal.

Penelitian menunjukkan bahwa langkah-langkah pembatasan sosial harus diterapkan secara ketat dan segera agar menjadi efektif.[20] Selama pandemi flu 1918, pihak berwenang di AS menerapkan penutupan sekolah, larangan pertemuan publik, dan intervensi jarak sosial lainnya di Philadelphia dan di St. Louis, tetapi di Philadelphia penundaan lima hari dalam memulai langkah-langkah ini memungkinkan tingkat transmisi meningkat dua kali lipat tiga hingga lima kali lipat, sedangkan respons yang lebih cepat di St. Louis lebih signifikan dalam mengurangi penularan di sana.[21] Analisis terhadap intervensi jarak sosial di 16 kota AS selama epidemi 1918 menyimpulkan bahwa intervensi berbatas waktu mengurangi angka kematian total secara menengah (mungkin 10-30%), dan bahwa dampaknya sering sangat terbatas karena intervensi dimulai terlalu terlambat dan dihentikan terlalu dini. Berdasarkan pengamatan, beberapa kota mengalami puncak epidemi kedua setelah kontrol jarak sosial dicabut, karena individu yang rentan yang sebelumnya dilindungi menjadi terpapar.[22]

Kerugian

Kerugian dari pembatasan sosial mencakup kesepian, berkurangnya produktivitas, dan hilangnya manfaat lain yang berkaitan dengan interaksi manusia.[23] Di negara berkembang dengan teknologi jarak jauh dan alat pelindung diri tidak digunakan secara luas, sering kali lebih sulit bagi masyarakat untuk memantau kesehatan anggotanya.

Referensi

  1. ^ Johnson, Carolyn Y.; Sun, Lena; Freedman, Andrew (2020-03-10). "Social distancing could buy U.S. valuable time against coronavirus". Washington Post. Diakses tanggal 2020-03-11. 
  2. ^ Pandemic Planning – Social Distancing Fact Sheet
  3. ^ | title=Apa itu Social Distancing? | website=Medcom.id | access-date=2020-05-08
  4. ^ "Information about Social Distancing," Santa Clara Public Health Department.
  5. ^ "Interim Pre-Pandemic Planning Guidance: Community Strategy for Pandemic Influenza Mitigation in the United States—Early, Targeted, Layered Use of Nonpharmaceutical Interventions," CDC, Feb 2007
  6. ^ Bible Gateway, Authorized King James Version, Leviticus 13:46
  7. ^ Charles Léon Souvay, "Leprosy," Catholic Encyclopedia (1913), Volume 9.
  8. ^ Kathy Kinlaw, Robert Levine, "Ethical Guidelines on Pandemic Influenza," CDC, December 2006
  9. ^ Pueyo, Tomas (2020-03-12). "Coronavirus: Why You Must Act Now". Medium (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-03-12. 
  10. ^ Cauchemez S, Ferguson NM, Wachtel C, Tegnell A, Saour G, Duncan B, Nicoll A (2009). "Closure of schools during an influenza pandemic". The Lancet Infectious Diseases. 9 (8): 473–481. doi:10.1016/s1473-3099(09)70176-8. PMID 19628172. 
  11. ^ Kumar S, Crouse Quinn S, Kim KH, Daniel LH, Freimuth VS (2012). "The Impact of Workplace Policies and Other Social Factors on Self-Reported Influenza-Like Illness Incidence During the 2009 H1N1 Pandemic". American Journal of Public Health. 102 (1): 134–140. doi:10.2105/AJPH.2011.300307. PMC 3490553alt=Dapat diakses gratis. PMID 22095353. 
  12. ^ "Social Distancing Support Guidelines," Colorado Dept. of Public Health and Environment, March 2008.
  13. ^ R. Booy and J. Ward, "Evidence compendium and advice on social distancing and other related measures for response to an influenza pandemic," National Centre for Immunisation Research and Surveillance.
  14. ^ "Flu Pandemic Mitigation – Social Distancing"
  15. ^ Glass RJ, Glass LM, Beyeler WE, Min HJ. "Targeted Social Distancing Designs for Pandemic Influenza." Emerg Infect Dis. 2006;12(11):1671-1681. https://dx.doi.org/10.3201/eid1211.060255
  16. ^ "Social Distancing Guidelines (for workplace communicable disease outbreaks)"
  17. ^ "Guidance on Preparing Workplaces for an Influenza Pandemic," OSHA 3327-02N 2007
  18. ^ Wiles, Siouxsie (9 March 2020). "The three phases of Covid-19 – and how we can make it manageable". The Spinoff. Diakses tanggal 9 March 2020. 
  19. ^ Anderson, Roy M; Heesterbeek, Hans; Klinkenberg, Don; Hollingsworth, T Déirdre (March 2020). "How will country-based mitigation measures influence the course of the COVID-19 epidemic?". The Lancet. doi:10.1016/S0140-6736(20)30567-5. A key issue for epidemiologists is helping policy makers decide the main objectives of mitigation—e.g., minimising morbidity and associated mortality, avoiding an epidemic peak that overwhelms health-care services, keeping the effects on the economy within manageable levels, and flattening the epidemic curve to wait for vaccine development and manufacture on scale and antiviral drug therapies. 
  20. ^ Maharaj S, Kleczkowski A (2012). "Controlling epidemic spread by social distancing: Do it well or not at all". BMC Public Health. 12 (1): 679. doi:10.1186/1471-2458-12-679. PMC 3563464alt=Dapat diakses gratis. PMID 22905965. 
  21. ^ Hatchett RJ, Mecher CE, Lipsitch M (2007). "Public health interventions and epidemic intensity during the 1918 influenza pandemic". Proc Natl Acad Sci U S A. 104 (18): 7582–7587. doi:10.1073/pnas.0610941104. PMC 1849867alt=Dapat diakses gratis. PMID 17416679. 
  22. ^ Bootsma MC, Ferguson NM (2007). "The effect of public health measures on the 1918 influenza pandemic in U.S. cities". Proc Natl Acad Sci U S A. 104 (18): 7588–7593. doi:10.1073/pnas.0611071104. PMC 1849868alt=Dapat diakses gratis. PMID 17416677. 
  23. ^ Brooks, Samantha K.; Webster, Rebecca K.; Smith, Louise E.; Woodland, Lisa; Wessely, Simon; Greenberg, Neil; Rubin, Gideon James (26 February 2020). "The psychological impact of quarantine and how to reduce it: rapid review of the evidence". The Lancet (dalam bahasa English). 0 (0). doi:10.1016/S0140-6736(20)30460-8. ISSN 0140-6736. Diakses tanggal 12 March 2020.