Lompat ke isi

Paribasan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Paribasan (Carakan: ꦥꦫꦶꦧꦱꦤ꧀) adalah suatu ungkapan dalam bahasa Jawa yang memiliki arti kiasan, bersifat tetap, namun tidak terdapat ungkapan penngandaian.[1] Di dalam bahasa Jawa, secara umum terdapat tiga macam peribahasa, di antaranya adalah paribasan, bebasan, dan saloka. Ketiganya memiliki ciri khas yang membedakan antara satu dengan yang lainnya.

Ciri-ciri

Ciri khusus yang dimiliki paribasan, diantaranya adalah:

  • memiliki arti kiasan
  • bersifat tetap
  • tidak memiliki ungkapan pengandaian (ngemu teges wantah)

Paribasan, bebasan, dan saloka

Paribasan, bebasan, dan saloka sebenarnya masih saling berkaitan karena ketiganya termasuk dalam kelompok peribahasa dalam bahasa Jawa.[2] Ketiganya memiliki makna kiasan, sehingga tidak dapat dimaknai secara leksikal. Perbedaan yang paling mendasar antara paribasan dengan bebasan dan saloka ialah di dalam paribasan menggunakan tembung wantah (kosa kata murni) dan tidak memiliki ungkapan pengandaian.[1]

Daftar paribasan

Berikut ini adalah beberapa contoh paribasan[1]:

  1. "Adigang adigung adiguna", (artinya: mengandalkan (menyombongkan) kekuatannya, kekuasaannya, dan kepandaian yang dimilikinya).
  2. "Ana catur mungkur", (artinya: tidak mau mendengarkan keluh kesah/gunjingan orang lain yang tidak baik).
  3. "Angon mangsa", (artinya: menunggu waktu yang tepat atau mencari waktu yang baik).
  4. "Anak polah bapa kapradhah", (artinya: orang tua juga ikut menanggung akibat dari perbuatan anaknya yang tidak baik).
  5. "Angon ulat ngumbar tangan", (artinya: memperhatikan kelengahan orang, dengan tujuan mengambil/ mencuri barang yang diinginkan).

Budaya modern

Semboyan

Dalam perkembangannya, ungkapan paribasan kerap kali terdengar dalam keseharian masyarakat, khususnya dalam lingkup masyarakat Jawa. Selain sebagai ungkapan dalam bahasa tutur, paribasan juga dapat dijumpai sebagai moto atau semboyan suatu institusi baik lembaga negara maupun swasta.

Institusi pemerintah

Ungkapan paribasan kerap kali digunakan sebagai moto atau semboyan resmi oleh suatu institusi. Salah satunya yaitu ungkapan "Jer Basuki Mawa Béya" yang menjadi moto resmi provinsi Jawa Timur.[3] Ungkapan paribasan ini mengandung makna bahwa untuk mencapai suatu kebahagiaan maka diperlukan usaha atau pengorbanan.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia juga secara resmi menjadikan ungkapan paribasan "Tut Wuri Handayani" sebagai sesanti yang ditampilkan pada logo resmi Kemendikbud. Pencantuman semboyan ini sebagai wujud penghargaan dan penghormatan terhadap jasa-jasa Ki Hadjar Dewantara.[4] Ungkapan ini memiliki arti "di belakang memberi dorongan" dan merupakan satu di antara tiga ungkapan yang dipopulerkan oleh Ki Hadjar Dewantara di dalam melaksanakan sistem pendidikannya.[5][4]

Penerbit majalah

Salah satu penerbit majalah berbahasa Jawa, yaitu Panjebar Semangat memiliki semboyan "Suradira Jayaningrat Lebur Déning Pangastuti" yang selalu terpasang di halaman sampul depannya. Semboyan ini merupakan ungkapan paribasan yang artinya, "sifat angkara murka, keras hati, dan kebencian akan luluh dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar". Majalah Panjebar Semangat sendiri merupakan majalah berbahasa Jawa yang diterbitkan pada 1933 oleh dr. Soetomo, dokter sekaligus pendiri organisasi Budi Utomo.[6]

Lihat juga

Referensi

  1. ^ a b c Padmosoekotjo, S. (1953). Ngéngréngan Kasusastran Djawa. Jogjakarta: Hien Hoo Sing. 
  2. ^ Poerwadarminta, W. J. S. (1939). Baoesastra Djawa. Batavia: J. B. Wolters. 
  3. ^ "Lambang Jawa Timur". jatimprov.go.id. Diakses tanggal 2020-05-09. 
  4. ^ a b "Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan » Republik Indonesia". www.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2020-05-09. 
  5. ^ Okezone (2020-05-02). "Menelusuri Makna Pendidikan di Balik Logo Hardiknas 2020 : Okezone News". Diakses tanggal 2020-05-09. 
  6. ^ JawaPos.com (2017-02-16). "Jejak Surabaya lewat Media Massa Berupa Majalah Warisan sang Pahlawan". JawaPos.com. Diakses tanggal 2020-05-09.