Lompat ke isi

Penurunan padaw tuju dulung

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 16 Mei 2020 09.27 oleh Ardzun (bicara | kontrib)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Penurunan Padaw Tuju Dulung adalah ritual syukur yang dilakukan suku Tidung Pesisir di Kalimantan Utara. Padaw tuju dulung merupakan perahu khas suku Tidung Pesisir. Di atas perahu terdapat bagian yang menyerupai rumah yang disebut juga dengan meligay. Meligay digunakan untuk meletakkan sesaji yang akan disuguhkan. Tiap tahunnya ritual ini menjadi rangkaian dari Festival Iraw Tengakayu.[1]

Upacara penurunan padaaw tuju dulung merupakan kebiasaan tahunan dengan memberikan sesaji ke laut sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil yang didapatkan dari laut. Kegiatan yang sama juga sering dilakukan dengan melakukan prosesi ritual pengobatan tradisional yang dinamakan dengan besitan. Jika pasien pengobatan tradisional telah sembuh dari penyakit yang dideritanya maka ritual tersebut diakhiri dengan cara memberikan sesaji yang diletakkan di wadah kemudian dihanyutkan ke laut. Pada upacara ini juga terdapat atraksi seni dan budaya seperti kesenian Tar/Hadrah, seni baca Kerangan, kesenian Kelintangan, kesenian Jepin; dan kesenian Del Muluk.[1]

Perahu padaw tuju dulung

[sunting | sunting sumber]

Padaw tuju dulung berasal dari bahasa Tidung yang memiliki arti perahu tuju haluan. Pada bentuk haluannya, perahu tersebut memiliki tiga cabang. Cabang tengah bersusun tiga, sedangkan cabang kiri dan kanan masing-masing bersusun dua. Perahu tersebut memiliki panjang tujuh meter, sesuai jumlah hari dalam seminggu. Di atas perahu terdapat bgian yang menyerupai rumah yang disebut juga dengan meligay. Di dalamnya diletakkan sesaji yang akan disuguhkan. Meligay sendiri berbentuk bujur sangkar dengan pintu di keempat sisinya dengan atap bersusun tiga.[1]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c Fajri, Muhammad (2007). Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tahun 2017. Jakarta: Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya. hlm. 207.