Lompat ke isi

Raja Sitempang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 23 Mei 2020 02.56 oleh Andy.sms (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi '=== Sejarah === Raja Sitempang adalah anak Raja Nai Ambaton. Atau dengan kata lain mereka adalah Keturunan Si Raja Batak dari garis keturunan Isumbaon yang sering dise...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Sejarah

Raja Sitempang adalah anak Raja Nai Ambaton. Atau dengan kata lain mereka adalah Keturunan Si Raja Batak dari garis keturunan Isumbaon yang sering disebut garis Mataniari, berbeda dengan garis keturunan Guru Tatea Bulan yang disebut garis Bulan.

Garis keturunan Mataniari diwarisi oleh Si Raja Batak sebuah Kitab bernama “Tumbaga Holing” yang berisikan Hukum, Ketatanegaraan, Bercocok Tanam, Bertukang, hingga Seni Mencipta. Sementara golongan Bulan diwarisi “Pustaha Laklak” yang berisi Ilmu Pengobatan, Ilmu Perbintangan dan Spiritual.

Warisan ini tentu menjadi suatu kekayaan, termasuk bagi Raja Naiambaton dan anaknya Raja Sitempang turut mewarisi hal ini. Raja Sitempang dalam pengasingannya juga terampil dalam seni mencipta, ia bahkan membangun pondokan/sopo yang indah untuk istrinya.

Ketika kembali dari pengasingannya Raja Sitempang membuka sebuah huta (kampung), di huta itu ia melanjutkan kepiawaiannya dalam seni mencipta. Tidak hanya itu, ia juga membantu dan mengajarkan masyarakat di huta itu dalam hal seni bertukang dan membangun rumah. Keterampilannya mengolah batang pohon menjadi “urur” (kayu kasau/beroti, kayu yang dipakai untuk membangun rumah dan penyangga bangunan) akhirnya tersohor sampai ke daerah lain, sehingga banyak orang yang datang untuk mencari nya.

Jaman dahulu belum semudah seperti sekarang dalam mengolah kayu, karena peralatannya masih belum canggih, menebang pohon dan membentuknya menjadi kayu kasau (urur) hanya menggunakan kapak dari batu, ataupun dari tembaga yang kasar. Karena itu butuh keterampilan dalam membuatnya.

Semakin banyaklah orang datang ke huta yang dibuka oleh Raja Sitempang untuk mencari urur, dan sebagian lagi belajar membuat urur. Karena itulah huta itu akhirnya diberi nama “Pangururan” tempat orang mendapatkan urur untuk membuat bangunan