Lompat ke isi

Jodhangan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Jodhangan adalah tradisi masyarakat agraris Desa Selopamioro Imogiri Bantul. Tradisi jodhangan dilaksanakan setiap tahun pada hari Minggu Pahing di bulan Besar (Zulhijjah) menurut kalender Jawa atau Islam. Sebagai tanda syukur pada Allah yang telah memberikan rezeki dari hasil bumi, memberikan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tradisi jodhangan digelar di sekitar Gua Cerme karena disakralkan oleh masyarakat setempat sebagai tempat suci warisan Walisanga.

Asal-usul

Jodhangan awalnya merupakan kegiatan masyarakat Dusun Srunggo dalam melaksanakan upacara merti dhusun dan ini dilakukan sudah cukup lama atau sejak nenek moyang. Masyarakat dan pemerintah setempat sepakat merubah tradisi merti dhusun menjadi tradisi jodhangan. Tradisi jodhangan ini diartikan oleh masyarakat Dusun Srunggo sebagai sedhekahan (selamatan sesudah panen). Tujuannya, selain sebagai ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga sebagai permohonan agar senantiasa mendapat berkah dan keselamatan dari Sang Pencipta. Tujuan diselenggarakannya tradisi jodhangan di Goa Cerme agar semakin berkembang dan menjadi perhatian tidak hanya oleh masyarakat setempat, tetapi juga wisatawan domestik maupun mancanegara, menjadi objek wisata religius yang pada gilirannya akan menjadi suatu kemasan yang integratif antara tiga domain utama, yaitu agama, budaya, dan pariwisata.

Disebut dengan jodhangan, karena penggunaan jodhang-jodhang yang difungsikan untuk membawa makanan atau hasil bumi dalam upacara merti dhusun. Jodhang adalah semacam tandu yang dipikul oleh empat orang. Di atas tandu diletakkan semacam kotak panjang dari kayu. Agar terlihat indah, jodhang dihias sehingga menyerupai rumah kecil.

Tradisi jodhangan bermula dari adanya mitos bahwa Baginda Raja Harnaya Rendra dari Kerajaan Giringlaya bersedih karena penyakit dan kelaparan yang menimpa rakyatnya. Atas nasihat punggawa, sang raja meminta pertolongan pada Resi Hadidari dari Desa Ngandong Dadapan. Resi menyarankan agar pada awal tahun (Sura) seluruh penduduk membersihkan desa. Dengan diselenggarakannya bersih desa keadaan menjadi membaik. Berdasarkan mitos tersebut, masyarakat lalu melaksanakan upacara merti dhusun/sedhekah bumi/bersih dusun sebagai persembahan kepada penguasa cikal-bakal dusun yang bernama Kyai Srunggo.

Dalam perkembangannya, upacara dikaitkan dengan keberadaan para Walisanga di Goa Cerme. Konon di dalam Goa Cerme ini pernah ditemukan surban wali yang jatuh, sehingga berubah menjadi tempat-tempat tertentu dan diindentikkan dengan tempat-tempat suci agama Islam serta nama-nama tempat yang berhubungan dengan suatu kraton. Tempat tersebut antara lain: Air Zam-zam, Watu kaji, Mustoko, Paseban Dalam, dan Paseban Luar. Selain itu, mitos yang berkembang bahwa Goa Cerme ditunggu oleh beberapa dhanyang yang berjumlah sembilan orang, diantaranya yaitu dhanyang Kyai Tawang Gantungan, Kyai Kedung Mlati, Kyai Gadung Kawuk, Kyai Minang Sukma, dan Nyai Endang Rantam Sari.