Sabak (wilayah kuno)
Sabak (Bahasa Inggris: Zabag; Bahasa China: She-bó; bahasa Sansekerta: Javaka; bahasa Arab: الزابج) adalah sebuah kerajaan kuno yang menurut beberapa sumber berada di perairan antara Tiongkok dan India. Beberapa studi menghubungkan kerajaan ini dengan Sriwijaya[1], dan memperkirakan lokasinya berada di suatu tempat di Sumatra, Jawa, atau Semenanjung Malaya. Beberapa sejarahwan Indonesia mengatakan Zabag sama dengan Sabak (Muara Sabak), sebuah kerajaan yang terletak di muara sungai Batang Hari, Jambi. Ada juga yang memperkirakan Sabak terletak di Jawa, bukan Sriwijaya karena Sabak dicatat menganeksasi Sriwijaya.[2]
Nama dan lokasi pasti dari Kerajaan Sabak masih menjadi bahan perdebatan diantara para peneliti. Beberapa ada yang mengajukan Kalimantan sebagai pusat kerajaan Sabak.
Sumber Sejarah
Sumber utama keberadaan kerajaan Sabak diungkap oleh pelaut Persia bernama Sulaiman al-Tajir al-Sirafi, yang dikenal sebagai Sulaiman sang Saudagar, dalam bukunya "Rihlah As-Sirafiy" (Perjalanan As-Sirafi), yang berisi catatan perjalannya ke India, Tiongkok, dan wilayah kepulauan Zabaj pada kurun 851 Masehi. Berikut petikan perjalanan Sulaiman al-Tajir al-Sirafi:[3]
Kemudian kita akan membahas kota Zabaj, yang memisahkan [Arab] dengan negeri Tiongkok. Di antara keduanya [Zabaj dan Tiongkok] dapat ditempuh dengan perjalanan laut selama sebulan, atau kurang dari itu jika angin sedang baik; dikatakan jaraknya sekitar 900 farsakh. Rajanya dikenal dengan sebutan "maharaja" (''al-maharij''). Sang maharaja ini berkuasa atas kepulauan-kepulauan yang banyak jumlahnya sehingga luas kekekuasaannya dapat mencapai 1000 farsakh atau lebih. Dan dalam wilayahnya terdapat sebuah pulau yang menjadi pusat kerajaannya, sebagaimana diceritakan panjangnya sekitar 400 farsakh. Juga terdapat sebuah pulau yang dikenal sebagai "Al-Rami" (Negeri Panah) yang panjangnya sekitar 800 farsakh; padanya terdapat tetumbuhan seperti kayu merah, kamper, dan lain-lain. Dan dalam wilayahnya terdapat sebuah pulau [Singapura] yang menjadi perlintasan antara tanah Tiongkok dan tanah Arab. Dan diperkirakan jaraknya 80 farsakh. Dan padanya dikumpulkan barang-barang dagang seperti rotan, kamper, cendana, gading, timah, kayu ebony, kayu merah, dan berbagai rempah-rempah, serta lainnya yang daftarnya akan sangat panjang. Dan pada saat ini perjalanan dari Oman ke sana dan dari sana ke Oman sudah terjadi. Perintah maharaja berlaku di seluruh kepulauan dan juga daratan, dan wilayah utamanya adalah di mana ia berada. ("Rihlah As-Sirafiy", Sulaiman al-Tajir al-Sirafi)
Banyak peneliti berpendapat bahwa Zabaj dalam bahasa Arab sama dengan Javaka dalam teks-teks berbahasa Pali, dan itu merujuk ke kerajaan Sriwijaya. Demikian halnya menurut sebuah teks dari Srilangka yang menyebutkan bahwa raja Chandrabhanu Sridhamaraja di kerajaan Tambralinga (Srilangka) merupakan salah satu pangeran Javaka (Sriwijaya) pasca penyerbuan Javakan ke Srilangka pada 1247 M.
Teks Arab lainnya yang berjudul "Muruj Adz-Dzahab wa Ma'adin Al-Jawahir" (Tanah Emas dan Tambang Permata) karya Abu Hasan Al-Mas‘udi (896 M - 956 M), menceritakan sebuah anekdot tentang seorang Pangeran Khmer yang berusaha menentang Maharaja Zabaj.
Hikayat Maharaja Zabaj
Syahdan lantaran iri hati, pada suatu hari, di hadapan majelis istana, Raja Khmer bersabda,
"Sesungguhnya ada hasrat di hati beta yang hendak beta turutkan," tutur sang raja teruna.
"Apa gerangan hasrat Baginda itu," sembah sang patih yang setia berbakti.
"Adalah kehendak beta supaya dipersembahkan ke hadapan beta, sebuah pinggan berisi kepala Raja Zabaj," jawab sang raja.
"Ampun Baginda, tidaklah sekali-kali sahaya berharap baginda mengungkap hasrat yang demikian,” sembah sang patih. “Khmer dan Zabaj tidak pernah saling unjuk permusuhan, baik lewat perkataan maupun dalam perbuatan. Zabaj tidak pernah mencelakakan kita, maka janganlah kiranya Baginda ulangi tutur kata yang demikian."
Serta-merta bangkitlah murka Raja Khmer mendengar nasihat patihnya, dan malah mengulangi perkataannya dengan suara lantang, sehingga jelas didengar sekalian panglima dan orang-orang berbangsa yang duduk dalam majelis istana. Maka tersiarlah kata-kata gegabah sang raja teruna, dari satu mulut ke lain mulut, sehingga sampai jua ke hadapan majelis istana Maharaja Zabaj. Hatta mahfumlah Sri Maharaja akan perkataan Raja Khmer itu, lalu disuruhnya patih menyiapkan seribu kapal untuk dibawa berlayar. Sesudah kapal-kapal siap sedia, Sri Maharaja sendiri naik ke atas geladak, lalu memaklumkan kepada khalayak ramai yang berhimpun di pantai bahwa ia hendak bertamasya melawat pulau-pulau miliknya. Akan tetapi sesudah jauh bertolak dari dermaga, kapal-kapal diperintahkan mengarahkan haluan ke Kotaraja Khmer. Tanpa diduga-duga, bala tentara Sri Maharaja berhambur turun menyerbu negeri Khmer, merebut ibu negerinya, dan mengepung istana rajanya. Maka ditangkaplah Raja Khmer dan dihadapkan kepada Maharaja Zabaj.
"Apa gerangan yang membuat engkau berani menghasratkan sesuatu yang tidak sanggup engkau turutkan, yang tidak bakal membuat engkau senang andaikata terlaksana, bahkan tidak patut dibenarkan andaikata senang terlaksana?" tanya Sri Maharaja Zabaj.
Raja Khmer termangu-mangu, tidak mampu menjawab sepatah kata pun, maka Sri Maharaja Zabaj pun bersabda,
"Sungguh lancang engkau menghasratkan kepala beta dipersembahkan ke hadapanmu bertadahkan pinggan. Andaikata engkau juga berhasrat merampas negeri dan kerajaan beta, bahkan sekalipun hanya mengusik sebagian dari padanya, niscaya akan serupalah balasan beta terhadap engkau. Akan tetapi engkau hanya berani mengungkap hasrat yang pertama, sehingga beta pun akan memperlakukan diri engkau sebagaimana engkau hendak memperlakukan diri beta, lalu beta akan pulang ke negeri beta tanpa membawa apa-apa yang menjadi kepunyaan Khmer, entah besar entah kecil nilainya."
Hatta pulanglah Sri Maharaja ke negeri sendiri, lalu naik ke istana dan bersemayam di atas singgasana. Maka dipersembahkanlah ke hadapan baginda sebuah pinggan, dan di atas pinggan itu terhantar kepala mendiang Raja Khmer.
Lokasi
Sriwijaya
Banyak sejarawan mengidentifikasi Zabag dengan Sriwijaya, kerajaan maritim yang berpusat di Sumatra. Zabag adalah kata Arab untuk Sumatra dan Jawa, kira-kira sesuai dengan Kekaisaran Sriwijaya.[4] Seorang sarjana Perancis George Coedès menerbitkan penemuan dan interpretasinya di surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia.[5] Coedès mencatat bahwa referensi Cina untuk "Sanfoqi" atau "Sanfotsi", sebelumnya dibaca sebagai "Sribhoja", dan tulisan dalam Bahasa Melayu Kuno merujuk pada kerajaan yang sama.[6] Ini berlawanan dengan pendapat Mulyana dan Lombard, yang mengidentifikasi Sanfotsi dan Sanfoqi sebagai Sriwijaya/Sumatra, berlainan dengan Jawa.[7][8]
Sriwijaya dan ekstensi Sumatera telah dikenal dengan nama yang berbeda untuk orang yang berbeda. Orang Cina menyebutnya Sanfotsi, dan pada suatu waktu ada kerajaan Kantoli yang bahkan lebih tua yang dapat dianggap sebagai pendahulu Sriwijaya.[9][10] Dalam bahasa Sanskerta dan Pali, masing-masing disebut sebagai Yavadesh dan Javadeh.[9] Orang-orang Arab menyebutnya Zabag dan orang Khmer menyebutnya Melayu.[9] Ini adalah alasan lain mengapa penemuan Sriwijaya sangat sulit.[9] Sementara beberapa dari nama-nama ini sangat mengingatkan pada nama Jawa, ada kemungkinan yang berbeda bahwa mereka mungkin merujuk ke Sumatra sebagai gantinya.[11]
Jawa
Sulayman sekitar tahun 851 masehi mencatat bahwa Sribuza (Sriwijaya) dan Kalah (sebuah tempat di semenanjung Melayu, kemungkinan Kedah) merupakan wilayah Zabag.[12] Karena itu, Zabag yang dimaksudkan bukanlah Sriwijaya. Ibn Khordazbeh pada tahun 844, Ibn Al-Fakih pada 902, Abu Zayd Hasan pada 943, dan Sulayman pada 851 mencatat Zabag menyatukan Sribuza dan Kalah.[7][12] Dari informasi arab lain, kerajaan Zabag sejauh 20 hari pelayaran dari Kalah. Menurut informasi Abu'lfida', jarak antara Kalah dan negara pusat Jawa adalah 20 hari perjalanan.[7] Jarak tempuh tersebut sama dengan jarak tempuh Malaka ke Majapahit sebagaimana dicatat Hikayat Hang Tuah.[13] Menurut Nugroho, informasi-informasi tersebut menunjukkan bahwa Zabag adalah Jawa, bukan Sumatra atau semenanjung Malaya.[2] Ada kemungkinan juga She-pó atau She-bó dalam catatan China, yang merupakan nama asli pulau Jawa (Jawadwipa adalah kata Sansekerta untuk pulau itu), merupakan Zabag.[8] Saat John dari Marignolli (1338-1353) pulang dari China ke Avignon, ia singgah di Kerajaan Saba, yang ia bilang memiliki banyak gajah dan dipimpin oleh ratu; nama Saba ini bisa jadi adalah interpretasinya untuk She-bó.[14] Afanasij Nikitin, seorang pedagang dari Tver (di Rusia), melakukan perjalanan ke India pada tahun 1466 dan mendeskripsikan tanah Jawa di buku hariannya, yang ia sebut шабайте (shabait/šabajte).[15] Kata "Saba" sendiri berasal dari kata bahasa Jawa kawi yaitu Saba yang berarti "pertemuan" atau "rapat". Dengan demikian kata itu dapat diartikan sebagai "tempat bertemu".[16] Menurut Fahmi Basya, kata tersebut berarti "tempat bertemu", "tempat berkumpul", atau "tempat berkumpulnya bangsa-bangsa".[17]
Muara Sabak
Ada sejarahwan Indonesia yang menganggap Zabaj sebagai Muara Sabak. Menurut Mansoer dkk (1970), berita Tiongkok lama selanjutnya menyebut ’San-fo-tsi’ sebagai bandar yang sering dikunjungi oleh saudagar-saudagarnya untuk membeli lada. Phonetis kada ’san-fo-tsi’ dekat sekali dengan bunyi ’tembesi’. Bandar Sriwijaya Tua (Jambi) yang utama ialah Muara Sabak, yang dalam pemberitaan Arab disebut ’Zabaq’. Orang Arab mentranskribir ’Sriwijaya’ sebagai ’Sribuzza’, dan berita Tiongkok menuliskan ’Che-li-fo-che’. Dari berita-berita ini menyebutkan bahwa kerajaan tua yang berada dibandar-bandar penting Sumatra adalah kerajaan Melayu Tua yang berpusat di Muara Tembesi.
Daerah sebelah selatan Jambi mulai penting sebagai produsen lada dan dengan bantuan armada Tiongkok T’ang, San-fo-tsi mendrikan pangkalan disana (683 Masehi). Che-li-fo-che, Sriwijaya/Jambi, Muara Sabak, diapit oleh Melayu Tua/Muara Tembesi di Utara dan Palembang di sebelah selatan. Dalam hubungan ini penting berita I-tsing, bahwa ”Mo-lo-yoe” telah menjadai ”Sriwijaya” (685 Masehi). Berita I’tsing itu mendapat ketegasan dalam batu bertulis Kedukan Bukit, yang tertanggal 605 Syaka atau 683 Masehi. Antara lain diberitahukan, bahwa ’dapunta hyang’ telah’nayik disana’ dengan ’koci’, yang mebanwa ’bala dua laksya banyaknya’ guna ’menyalap siddhyatra’ dan ’marbuwat banua syrivijaya jaya’. Sebagai tempat bertolah disebut ”minanga Tamwan”, yang berdasarkan penyelidikan bahasa oleh Purbotjaroko disimpulkan sebagai ”minangkabwa”, asal kata ”minangkabau’.
Dalam prasasti Talang Tuwo berasal dari tahun yang sama (683 Masehi), memberitakan tentang didirikan ”ksetra” guna kesejahteraan segala makluk. Upacara pendirian taman itu sesuai dengan upacara agama Budha Mahayana. ”Revolusi istana” yang didalangi oleh angkatan laut Tiongkok mengakibatkan mati terbunuhnya Sri Maharaja Indra-warman, raja Sriwijaya?Jambi, Muara Sabak (730 Masehi). Suasana politik yang membara dan gawa di Syria pada tahun 750 masehi berhasil menumpas kekuasaan Chalifah Ummayyah di Damsyik, menghalang-halangi Chalifah Ummayyah untuk memberikan bantuan militer seperlunya kepada ”Zabaq”. Dengan demikian terhentilah dakwah Islam di wilayah ini selama lebih kurang 400 tahun, sampai berikutnya pada abad ke 13 masuk kembali ke wilayah ini. Agama Budha Hinayana digantikan oleh agama Budha Mahayana.
Rujukan
- ^ St Julian, James (2014-3). "The tale of the Khmer king and the Maharaja of Zabag". Teaching History (dalam bahasa Inggris). 48 (1): 59.
- ^ a b Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit Peradaban Maritim. Suluh Nuswantara Bakti. ISBN 9786029346008.
- ^ "رحلة السيرافى لأبو زيد السيرافي". Wikipedia AR (dalam bahasa Arab). 2016-05-24.
- ^ St Julian, James (Mar 2014). The tale of the Khmer king and the Maharaja of Zabag. Teaching History, Volume 48 Issue 1.
- ^ Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. hlm. 8–9. ISBN 0-300-10518-5.
- ^ Krom, N.J. (1938). "Het Hindoe-tijdperk". Dalam F.W. Stapel. Geschiedenis van Nederlandsch Indië. Amsterdam: N.V. U.M. Joost van den Vondel. vol. I p. 149.
- ^ a b c Mulyana, Slamet (1960). Sriwijaya. Ende-Flores N.T.T.: Pertjetakan Arnolus.
- ^ a b Lombard, Denys (1990). Le carrefour javanais. Essai d'histoire globale (The Javanese Crossroads: Towards a Global History) vol. 2. Paris: Éditions de l'École des Hautes Études en Sciences Sociales.
- ^ a b c d Munoz. Early Kingdoms. hlm. 114.
- ^ Munoz. Early Kingdoms. hlm. 102.
- ^ Krom, N.J. (1943). Het oude Java en zijn kunst (edisi ke-2nd). Haarlem: Erven F. Bohn N.V. hlm. 12.
- ^ a b Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Continental Sales. ISBN 9789814155670.
- ^ Hikayat Hang Tuah, VI: 122. "Maka Titah Seri Betara, "Berapa lama-nya anak-ku datang ini di-laut?" Maka sembah Raja Malaka, "Patek ini empat puloh hari di-laut, banyak patek singgah. Jika patek berlayar sungguh-sungguh, dua puloh hari sampai-lah."
- ^ Yule, Sir Henry (1913). Cathay and the way thither: being a collection of medieval notices of China vol. II. London: The Hakluyt Society.
- ^ Braginsky, Vladimir. 1998. Two Eastern Christian sources on medieval Nusantara. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 154(3):367–396.
- ^ Maharsi. Kamus Jawa Kawi Indonesia. Pura Pustaka.
- ^ Basya, Fahmi (2014). Indonesia Negeri Saba. Jakarta: Zahira. ISBN 978-602-1139-48-6.