Lompat ke isi

Akhlak

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 18 Juni 2020 14.10 oleh Nattadasu (bicara | kontrib) (Perbaikan konten wiki serta ejaan)

Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik.

Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluk, berasal dari bahasa Arab yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat.[1] Cara membedakan akhlak, moral, dan etika, yaitu dalam etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolok ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam moral dan susila menggunakan tolok ukur norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung dalam masyarakat (adat istiadat), dan dalam akhlak menggunakan ukuran Al Qur’an dan Al Hadis untuk menentukan baik-buruknya.

Tiga pakar di bidang akhlak yaitu Ibnu Miskawaih, Al Gazali, dan Ahmad Amin menyatakan bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu.

Definisi

Kata akhlak diartikan sebagai suatu tingkah laku, tetapi tingkah laku tersebut harus dilakukan secara berulang-ulang tidak cukup hanya sekali melakukan perbuatan baik, atau hanya sewaktu-waktu saja.[2] Seseorang dapat dikatakan berakhlak jika timbul dengan sendirinya didorong oleh motivasi dari dalam diri dan dilakukan tanpa banyak pertimbangan pemikiran apalagi pertimbangan yang sering diulang-ulang, sehingga terkesan sebagai keter-paksaan untuk berbuat.[1] Apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan terpaksa bukanlah pen-cerminan dari akhlak.[1]

Dalam Encyclopedia Britannica[3], akhlak disebut sebagai ilmu akhlak yang mempunyai arti sebagai studi yang sistematik tentang tabiat dari pengertian nilai baik, buruk, seharusnya benar, salah dan sebagainya tentang prinsip umum dan dapat diterapkan terhadap sesuatu, selanjutnya dapat disebut juga sebagai filsafat moral.[1]

Syarat

Tolong-menolong merupakan salah satu akhlak baik terhadap sesama

Ada empat hal yang harus ada apabila seseorang ingin dikatakan berakhlak.[1]

  1. Perbuatan yang baik atau buruk.
  2. Kemampuan melakukan perbuatan.
  3. Kesadaran akan perbuatan itu
  4. Kondisi jiwa yang membuat cenderung melakukan perbuatan baik atau buruk

Sumber

Akhlak bersumber pada agama.[1] Perangai sendiri mengandung pengertian sebagai suatu sifat dan watak yang merupakan bawaan seseorang.[1] Pembentukan perangai ke arah baik atau buruk, ditentukan oleh faktor dari dalam diri sendiri maupun dari luar, yaitu kondisi lingkungannya.[1] Lingkungan yang paling kecil adalah keluarga, melalui keluargalah kepribadian seseorang dapat terbentuk. Secara terminologi akhlak berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik.[1] Para ahli seperti Al Gazali menyatakan bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu. Perangai sendiri mengandung pengertian sebagai suatu sifat dan watak yang merupakan bawaan seseorang.[1]

Budi pekerti

Budi pekerti pada kamus bahasa Indonesia merupakan kata majemuk dari kata budi dan pekerti [4]. Budi berarti sadar atau yang menyadarkan atau alat kesadaran.[1] Pekerti berarti kelakuan.[1] Secara terminologi, kata budi ialah yang ada pada manusia yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, rasio yang disebut dengan nama karakter.[1] Sedangkan pekerti ialah apa yang terlihat pada manusia, karena didorong oleh perasaan hati, yang disebut behavior.[1] Jadi dari kedua kata tersebut budi pekerti dapat diartikan sebagai perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia.[1] Penerapan budi pekerti tergantung kepada pelaksanaannya.[1] Budi pekerti dapat bersifat positif maupun negatif.[1] Budi pekerti itu sendiri selalu dikaitkan dengan tingkah laku manusia. Budi pekerti didorong oleh kekuatan yang terdapat di dalam hati yaitu rasio.[1] Rasio mempunyai tabiat kecenderungan kepada ingin tahu dan mau menerima yang logis, yang masuk akal dan sebaliknya tidak ingin menerima yang analogi, yang tidak masuk akal.[1]

Selain unsur rasio di dalam hati manusia juga terdapat unsur lainnya yaitu unsur rasa.[1] Perasaan manusia dibentuk oleh adanya suatu pengalaman, pendidikan, pengetahuan dan suasana lingkungan.[1] Rasa mempunyai kecenderungan kepada keindahan [1] Letak keindahan adalah pada keharmonisan susunan sesuatu, harmonis antara unsur jasmani dengan rohani, harmonis antara cipta, rasa dan karsa, harmonis antara individu dengan masyarakat, harmonis susunan keluarga, harmonis hubungan antara keluarga.[1] Keharmonisan akan menimbulkan rasa nyaman dalam kalbu dan tenteram dalam hati.[1] Perasaan hati itu sering disebut dengan nama “hati kecil” atau dengan nama lain yaitu “suara kata hati”, lebih umum lagi disebut dengan nama hati nurani.[1] Suara hati selalu mendorong untuk berbuat baik yang bersifat keutamaan serta memperingatkan perbuatan yang buruk dan berusaha mencegah perbuatan yang bersifat buruk dan hina.[1] Setiap orang mempunyai suara hati, walaupun suara hati tersebut kadang-kadang berbeda.[5]. Hal ini disebabkan oleh perbedaan keyakinan, perbedaan pengalaman, perbedaan lingkungan, perbedaan pendidikan dan sebagainya. Namun mempunyai kesamaan, yaitu keinginan mencapai kebahagiaan dan keutamaan kebaikan yang tertinggi sebagai tujuan hidup.[1]

Karsa

Dalam diri manusia itu sendiri terdapat karsa yang berhubungan dengan rasio dan rasa.[1] Karsa disebut dengan kemauan atau kehendak, hal ini tentunya berbeda dengan keinginan.[1] Keinginan lebih mendekati pada senang atau cinta yang kadang-kadang berlawanan antara satu keinginan dengan keinginan lainnya dari seseorang pada waktu yang sama, keinginan belum menuju pada pelaksanaan.[1] Kehendak atau kemauan adalah keinginan yang dipilih di antara keinginan-keinginan yang banyak untuk dilaksanakan.[1] Adapun kehendak muncul melalui sebuah proses sebagai berikut[6]:

  • Ada stimulan kedalam panca indra
  • Timbul keinginan-keinginan
  • Timbul kebimbangan, proses memilih
  • Menentukan pilihan kepada salah satu keinginan
  • Keinginan yang dipilih menjadi salah satu kemauan, selanjutnya akan dilaksanakan.

Perbuatan yang dilaksanakan dengan kesadaran dan dengan kehendak lah yang disebut dengan perbuatan budi pekerti.[4]

Moral

Moral, etika dan akhlak memiliki pengertian yang sangat berbeda. Moral berasal dari bahasa latinyaitu mos, yang berarti adat istiadat yang menjadi dasar untuk mengukur apakah perbuatan seseorang baik atau buruk [7]. Dapat dikatakan baik buruk suatu perbuatan secara moral, bersifat lokal. Sedangkan akhlak adalah tingkah laku baik, buruk, salah benar, penilaian ini dipandang dari sudut hukum yang ada di dalam ajaran agama. Perbedaan dengan etika, yakni Etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas. Etika terdiri dari tiga pendekatan, yaitu etika deskriptif, etika normatif, dan metaetika [8]. Kaidah etika yang biasa dimunculkan dalam etika deskriptif adalah adat kebiasaan, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Sedangkan kaidah yang sering muncul dalam etika normatif, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma, serta hak dan kewajiban. Selanjutnya yang termasuk kaidah dalam metaetika adalah ucapan-ucapan yang dikatakan pada bidang moralitas. Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa etika adalah ilmu, moral adalah ajaran, dan akhlak adalah tingkah laku manusia [9].

Pembagian Akhlak

Akhlak Baik (Al-Hamidah)

1. Jujur (Ash-Shidqu)

adalah suatu tingkah laku yang didorong oleh keinginan (niat) yang baik dengan tujuan tidak mendatangkan kerugian bagi dirinya maupun orang lain.

2. Berperilaku baik (Husnul Khuluqi)

adalah suatu reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya dengan cara yang terpuji.

3. Malu (Al-Haya')

adalah akhlak (perangai) seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang untuk melakukan dosa dan maksiat serta dapat mencegah seseorang untuk melalaikan hak orang lain.

4. Rendah hati (At-Tawadlu')

adalah sifat pribadi yang bijak oleh seseorang yang dapat memosisikan dirinya sederajat dengan orang lain dan tidak merasa lebih tinggi dari orang lain.

5. Murah hati (Al-Hilmu)

adalah suka (mudah) memberi kepada sesama tanpa merasa pamrih atau sekadar pamer.

6. Sabar (Ash-Shobr)

adalah menahan atau mengekang segala sesuatu yang menimpa diri kita (hawa nafsu).

Dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, semoga Allah merelakannya, berkata, "Rasulullah SAW. bersabda", "Ketika Allah mengumpulkan segenap makhluk pada hari kiamat kelak, menyerulah Penyeru", "Di manakah itu, orang-orang yang utama (ahlul fadhl)?". Maka berdirilah sekelompok manusia, jumlah mereka sedikit, dengan cepatnya mereka bergegas menuju surga, para malaikat berpapasan dengan mereka, lalu menyapa mereka. "Kami lihat kalian begitu cepat menuju surga, siapakah kalian?". Orang-orang ini menjawab, "Kamilah itu orang-orang yang utama (ahlul fadhl)". "Apa keutamaan kalian?", tanya para malaikat. Orang-orang ini memperjelas, "Kami, jika dizalimi, kami bersabar. Jika diperlakukan buruk, kami memaafkan. Jika orang lain khilaf pada kami, kami pun tetap bermurah hati". Akhirnya dikatakan pada mereka, "Masuklah ke dalam surga, karena demikian itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal". Setelah itu menyerulah lagi penyeru, "Di manakah itu, orang-orang yang bersabar (ahlush shabr)?". Maka berdirilah sekelompok manusia, jumlah mereka sedikit, dengan cepatnya mereka bergegas menuju surga, para malaikat berpapasan dengan mereka, lalu menyapa mereka. "Kami lihat kalian begitu cepat menuju surga, siapakah kalian?". Orang-orang ini menjawab, "Kamilah itu orang-orang yang sabar (ahlush shabr). "Kesabaran apa yang kalian maksud?", tanya para malaikat. Orang-orang ini memperjelas, "Kami sabar dan taat pada Allah, kami pun sabar tak bermaksiat pada-Nya. Akhirnya Dikatakan pada mereka, "Masuklah ke dalam syurga, karena demikian itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal". (Hilyatul Auliyaa'/ Juz III/ Hal. 140)

Akhlak Buruk (Adz-Dzamimah)

1. Mencuri/mengambil bukan haknya 2. Iri hati 3. Membicarakan kejelekan orang lain (bergosip) 4. Membunuh 5. Segala bentuk tindakan yang tercela dan merugikan orang lain (makhluk lain)

Ruang Lingkup Akhlak

Akhlak pribadi

Yang paling dekat dengan seseorang itu adalah dirinya sendiri, maka hendaknya seseorang itu menginsafi dan menyadari dirinya sendiri, karena hanya dengan insaf dan sadar kepada diri sendirilah, pangkal kesempurnaan akhlak yang utama, budi yang tinggi. Manusia terdiri dari jasmani dan rohani, di samping itu manusia telah mempunyai fitrah sendiri, dengan semuanya itu manusia mempunyai kelebihan dan di mana pun saja manusia mempunyai perbuatan.[4]

Akhlak berkeluarga

Akhlak ini meliputi kewajiban orang tua, anak, dan karib kerabat. Kewajiban orang tua terhadap anak, dalam Islam mengarahkan para orang tua dan pendidik untuk memperhatikan anak-anak secara sempurna, dengan ajaran –ajaran yang bijak, setiap agama telah memerintahkan kepada setiap orang yang mempunyai tanggung jawab untuk mengarahkan dan mendidik, terutama bapak-bapak dan ibu-ibu untuk memiliki akhlak yang luhur, sikap lemah lembut dan perlakuan kasih sayang. Sehingga anak akan tumbuh secara sabar, terdidik untuk berani berdiri sendiri, kemudian merasa bahwa mereka mempunyai harga diri, kehormatan dan kemuliaan.[4]

Seorang anak haruslah mencintai kedua orang tuanya karena mereka lebih berhak dari segala manusia lainnya untuk engkau cintai, taati dan hormati.[4] Karena keduanya memelihara, mengasuh, dan mendidik, menyekolahkan engkau, mencintai dengan ikhlas agar engkau menjadi seseorang yang baik, berguna dalam masyarakat, berbahagia dunia dan akhirat.[4] Dan coba ketahuilah bahwa saudaramu laki-laki dan perempuan adalah putra ayah dan ibumu yang juga cinta kepada engkau, menolong bapak dan ibumu dalam mendidikmu, mereka gembira bilamana engkau gembira dan membelamu bilamana perlu.[4] Pamanmu, bibimu dan anak-anaknya mereka sayang kepadamu dan ingin agar engkau selamat dan berbahagia, karena mereka mencintai ayah dan ibumu dan menolong keduanya di setiap keperluan.[4]

Akhlak bermasyarakat

Tetanggamu ikut bersyukur jika orang tuamu bergembira dan ikut susah jika orang tuamu susah, mereka menolong, dan bersama-sama mencari kemanfaatan dan menolak kemudaratan, orang tuamu cinta dan hormat pada mereka maka wajib atasmu mengikuti ayah dan ibumu, yaitu cinta dan hormat pada tetangga.[4]

Pendidikan kesusilaan/akhlak tidak dapat terlepas dari pendidikan sosial kemasyarakatan, kesusilaan/moral timbul di dalam masyarakat. Kesusilaan/moral selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat. Sejak dahulu manusia tidak dapat hidup sendiri–sendiri dan terpisah satu sama lain, tetapi berkelompok-kelompok, bantu-membantu, saling membutuhkan dan saling mempengaruhi, ini merupakan apa yang disebut masyarakat. Kehidupan dan perkembangan masyarakat dapat lancar dan tertib jika tiap-tiap individu sebagai anggota masyarakat bertindak menuruti aturan-aturan yang sesuai dengan norma- norma kesusilaan yang berlaku.[4]

Akhlak bernegara

Mereka yang sebangsa denganmu adalah warga masyarakat yang berbahasa yang sama denganmu, tidak segan berkorban untuk kemuliaan tanah airmu, engkau hidup bersama mereka dengan nasib dan penanggungan yang sama. Dan ketahuilah bahwa engkau adalah salah seorang dari mereka dan engkau timbul tenggelam bersama mereka.[4]

Akhlak beragama

Akhlak ini merupakan akhlak atau kewajiban manusia terhadap tuhannya, karena itulah ruang lingkup akhlak sangat luas mencakup seluruh aspek kehidupan, baik secara vertikal dengan Tuhan, maupun secara horizontal dengan sesama makhluk Tuhan.[4]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae Mubarak, Zakky, dkk. 2008. Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi, Buku Ajar II, Manusia, Akhlak, Budi Pekerti dan Masyarakat. Depok: Lembaga Penerbit FE UI.Hlm. 20-39
  2. ^ Bertens, K. 2000. Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 76
  3. ^ Ensiklopedia Britannica
  4. ^ a b c d e f g h i j k l Ahmad A.K. Muda. 2006. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Reality Publisher. Hal 45-50
  5. ^ Robert C. Solomon. 1985. Introducing Philosophy: A Text with Reading, (third edition), New York: Hacourt Brace Jovanovich, Hlm. 65
  6. ^ C.A, Van Peursen. 1980. Susunan Ilmu Pengetahuan J. Drost, Jakarta:Gramedia, Hlm. 109.
  7. ^ Charles F. Andrain. Kehidupan Politik dan perubahan Sosial, (Terjemahan Luqman Hakim), Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.Hlm 69
  8. ^ Anton Bakker. 1984. Metode-Metode Filsafat, Jakarta: Ghalia Indonesia.Hlm. 48
  9. ^ Irving Copi. 1976. Introduction to Logic, New York: The Miridian Library.Hlm. 27

Pranala luar