Piroelektrisitas
Piroelektrisitas adalah kemampuan bahan-bahan tertentu untuk menghasilkan sebuah potensial listrik saat bahan-bahan itu dipanaskan atau didinginkan. Akibat perubahan suhu ini, muatan positif serta negatif bergerak ke ujung-ujung yang berhadapan/berlawanan melalui migrasi (misalnya bahan menjadi terpolarisasi) dan dengan begitu, terbentuklah sebuah potensial listrik.
Penjelasan
Piroelektrisitas bisa divisualisasikan sebagai salah satu sisi sebuah segitiga, dimana setiap sudut mewakili berbagai keadaan energi di dalam kristal: energi kinetis, energi listrik, dan energi termal. Sisi di antara sudut elektrik dan termal mewakili efek piroelektrik dan tidak menghasilkan energi kinetis. Sisi di antara sudut kinetik dan elektrik mewakili efek piezoelektrik dan tidak menghasilkan panas.
Meski berbagai bahan piroelektrik buatan telah dikembangkan, efek piroelektrik pertama kali ditemukan dalam sejumlah mineral seperti kuarsa dan turmalin serta kristal ionik. Efek piroelektrik juga berlangsung di dalam tulang dan tendon. Nama piroelektrik diambil dari kata “pyr” dari bahasa Yunani yang berarti api dan listrik.
Muatan piroelektrik dalam berbagai mineral berlangsung di permukaan kristal-kristal asimetris yang berseberangan. Muatan biasanya merambat dengan konstan di sepanjang sebuah bahan piroelektrik. Tapi di dalam beberapa bahan, arah ini bisa diubah oleh medan listrik terdekat. Bahan-bahan itu juga menunjukkan feroelektrisitas. Semua bahan bersifat piroelektrik juga bersifat piezoelektrik, kedua sifat itu memang berhubungan erat.
Perubahan suhu yang sangat kecil sekalipun pada sebuah bahan yang bersifat piroelektrik mampu menghasilkan potensial listrik. Sensor inframerah pasif sering didesain mengelilingi bahan piroelektrik, sebab panas dari seorang manusia maupun hewan sejauh beberapa kaki sudah cukup untuk menimbulkan perbedaan di dalam muatan.
Sejarah
Efek piroelektrik untuk pertama kalinya dicatat oleh Theophrastus pada 314 SM, yang mencatat bahwa turmalin yang dipanaskan menarik jerami dan abu. Dalam 1747, Carolus Linnaeus adalah ilmuwan yang pertama kali menghubungkan fenomena itu dengan elektrik, meski hal itu baru dibuktikan oleh Franz Ulrich Theodor Aepinus pada 1756.
Adalah Sir David Brewster yang menamai efek itu sebagai efek piroelektrik pada 1824. Baik William Thomson, 1st Baron Kelvin pada 1878 dan Woldemar Voigt pada 1897 menolong mengembangkan sebuah teori mengenai berbagai proses di belakang piroelektrisitas. Dalam 1880, Pierre Curie dan saudara laki-lakinya , Jacques Curie, mempelajari piroelektrisitas dan menemukan sejumlah mekanisme di belakang piezoelektrik.