Anike Nelce Bowaire

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 17 Agustus 2020 00.51 oleh Urang Kamang (bicara | kontrib) (Menambah Kategori:Fisikawan Indonesia menggunakan HotCat)

Annile Nelce Bowaire, M.Si. (lahir 30 Oktober 1987) adalah fisikawan muda Indonesia. Ia meraih medali emas atas paper-nya yang dikirimkan ke lomba fisika dunia The First Step to Nobel Prize in Physics (FS) 2005 yang berpusat di Warsawa, Polandia.[1]

Anike adalah anak kedua dari empat bersaudara. Dua tahun berturut-turut Papua mendonasikan fisikawan muda kelas dunia. Tahun sebelumnya Septinus George Saa, siswa SMUN 3 Jayapura, menyabet medali emas dalam kompetisi fisika FS. Tahun selanjutnya penghargaan yang sama diraih Anike Nelce Bowaire.[1]

Kecintaan Anike pada fisika dimulai dari perkenalannya pada tabung-tabung reaksi di laboratorium sekolahnya saat masih kelas I SMAN (dulu SMUN) 1 Kabupaten Serui, Papua. Waktu berkutat di laboratorium juga tak sebanyak siswa kelas II.[1]

"Jangan bandingkan isi laborat sekolah saya dengan sekolah di Jakarta. Alat-alatnya memang paling lengkap di Serui, tapi pasti tertinggal jauh," katanya.[1]

Minatnya semakin tergugah ketika mengetahui prinsip mekanika dan percepatan dalam fisika dapat digunakan untuk memenangkan permainan gasing. "Saya semakin mencintai fisika setelah tahu fisika dapat menjelaskan fenomena sehari-hari, menjawab banyak pertanyaan besar seperti bagaimana bumi diciptakan," kata Anike.[1]

Usai perhelatan besar FS, Anike tengah berjuang merebut bangku kuliah di Harvard University. Mentornya -Prof Yohanes Surya- tengah mengusahakan beasiswa dari universitas bergengsi itu untuk Anike. "Saya sekarang mengejar skor TOEFL (Test of English as Foreign Language) minimal 600," katanya. Minimal, sebuah kursi bebas biaya di Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, telah tersedia untuknya. Makalah gadis berusia 17 tahun ini tentang sistem kompleks (chaos) menenggelamkan hasil penelitian ratusan siswa tingkat SMA dari 23 negara peserta FS ke-13 pada 2005.[1]

Ditemui koran Jawa Pos ini di pemusatan latihan TOFI (Tim Olimpiade Fisika Indonesia) Serpong, Tangerang, Anike tampak sederhana. Tak ada kesan bahwa dia seorang sosok fisikawan muda yang baru saja meraih penghargaan internasional.[1]

Putri kedua dari empat bersaudara itu baru tampak sangat cerdas ketika diminta menjelaskan dasar-dasar teori fisika yang digelutinya selama 12 jam sehari dalam 26 bulan terakhir. Selebihnya, Anike hanya remaja pemalu yang kerap menyembunyikan muka di balik telapak tangan yang terkembang. Jawabannya juga hanya sepatah-sepatah.[1]

Dalam usianya yang masih sangat remaja, baru saja lulus SMP, Anike telah membuat keputusan besar untuk mengikuti pelatihan Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) di Serpong, Tangerang. Peluang itu didapatnya ketika dia lolos seleksi tingkat kabupaten dan provinsi pada April 2003 lalu.[1]

"Saingannya juga tak terlalu banyak. Di kabupaten saya hanya diadu dengan tiga siswa, sementara di tingkat provinsi juga diadu dengan tiga siswa lainnya," kata dia merendah.[1]

Dua kali Anike unggul dari kompetitornya, sekaligus merebut tiket pemusatan latihan dan seleksi nasional TOFI 2004/2005 di Jakarta.[1]

Bukan keputusan mudah bagi gadis pemalu yang tak memiliki keluarga di luar Serui untuk bergabung dalam dream team asuhan fisikawan terkemuka Prof Yohanes Surya. Apalagi, bergabung bersama TOFI berarti harus meninggalkan bangku sekolah yang baru dijalani setahun dan hidup di asrama bersama siswa-siswa cerdas lain dari seluruh Indonesia, hanya untuk belajar matematika, fisika dan bahasa Inggris sejak pukul 08.00 hingga pukul 24.00.[1]

Pelatihan yang diasuh profesor-profesor fisika terkemuka Indonesia itu hanya berhenti ketika rehat pada pukul 12.00-13.00 dan 17.00-19.00. Mereka hanya mendapat cuti pada Sabtu dan Minggu. Itu pun jarang dimanfaatkan. "Tanpa sinetron dan pacaran," guraunya.[1]

Sayang, bintang terangnya belum bersinar dalam ajang Olimpiade Fisika Internasional 2004 di Korea Selatan. Anike tetap dipertahankan dalam pelatihan dan seleksi nasional TOFI 2005.[1]

Ketika Anike lolos babak 30 besar pada Mei 2004 lalu, selebaran seleksi FS dari Kementerian Riset dan Teknologi dan Lembaga Pengembangan Fisika Indonesia menarik minatnya. Dia pun mundur dari TOFI dan mulai serius menyusun makalah untuk FS.[1]

"Saya lalu teringat soal eksperimen (praktik) dalam Olimpiade Fisika Internasional 2004 tentang chaos (sistem kompleks) di dalam model pegas yang diayun secara vertikal dengan percepatan konstan. Ada juga soal tentang konstanta pegas dari sebuah pegas yang diputar horizontal (horizontal spring) secara konstan. Saya lalu berpikir mengapa belum ada model pegas horizontal untuk membuktikan adanya chaos?" katanya.[1]

Anike akhirnya merealisasikan idenya dengan menyusun makalah berjudul Chaos in an Accelerated Rotating Horizontal Spring. Ketika dinyatakan masuk lima besar tim FS Indonesia, Anike belajar tentang chaos di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Indonesia. Setiap hari selama Februari 2005 Anike berkutat di laboratorium TOFI di Puspitek Serpong, didampingi dosen jurusan fisika Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Teddy Wiguna. "Setiap hari, mulai pukul 08.00 sampai pukul 02.00 malam," katanya.[1]

Anike ingin membuktikan keberadaan fenomena chaos dalam getaran pegas yang berputar mendatar itu. Dia ingin membuktikan keberadaan gerakan seolah-olah acak (seemingly random) pegas horizontal tetap berada pada tepi chaos (edge of chaos), yaitu daerah di antara daerah yang teratur (order) dan tidak teratur (disorder).[1]

Chaos atau power law tak hanya menarik kalangan fisikawan, tapi juga ekonom. Pada 1963, ilmuwan fraktal Benoit Mandelbrot menganalisis fluktuasi harga yang terjadi dalam pasar komoditas kapas dan menemukan adanya perilaku yang mengikuti aturan power law, yaitu keteraturan dalam fluktuasi harga komoditas kapas. Peneliti Gopikrishnan juga menemukan "keteraturan" dalam fluktuasi harga saham dengan jumlah data sampai 40 juta. Bahkan, peraih hadiah Nobel Fisika Murray-Gellmann menemukan bahwa populasi kota di dunia mengikuti prinsip power law.[1]

Bedanya, mereka menganalisis fenomena itu dengan model pegas yang diayun vertikal, bukan model pegas horizontal (Bowaire's model).[1]

"Chaos memang dapat diaplikasikan luas, mulai tetes air dari keran, sistem biologi, peramalan cuaca, Rossby Waves pada ilmu pelayaran, hingga peramalan harga saham di bursa efek. Tapi saya belum meneliti sejauh itu. Saya baru membuktikan kalau pegas horizontal juga bisa membuktikan keberadaan chaos," katanya tersenyum.[1]

Beberapa waktu lalu, bersama makalah siswi SMAN 3 Semarang, Dhina Susanti berjudul Curved Motion of A Shuttlecock, paper Anike memikat puluhan profesor fisika yang berkumpul di Warsawa, dan menghadiahi mereka dua medali emas.[1]

Papua berhasil mempertahankan tradisi emas di FS setelah pada 2004 lalu Septinus George Saa menyabet emas melalui makalah berjudul Infinite Triangle and Hexagonal Lattice Networks of Identical Resistor.[1]

Annike menamatkan pendidikan sarjana (2011) dan magister (2013) di Institut Teknologi Bandung. Sejak 2020, ia telah diangkat menjadi dosen tetap/tenaga pengajar di Universitas Cenderawasih.

Rujukan