Baradatu, Way Kanan
Baradatu | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Lampung | ||||
Kabupaten | Way Kanan | ||||
Pemerintahan | |||||
• Camat | - | ||||
Populasi | |||||
• Total | - jiwa | ||||
Kode Kemendagri | 18.08.04 | ||||
Kode BPS | 1807020 | ||||
Luas | - km² | ||||
Kepadatan | - jiwa/km² | ||||
Desa/kelurahan | - | ||||
|
Baradatu adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Way Kanan, Lampung, Indonesia.
Lokasi
Baradatu berada di tepi Jalan Lintas Tengah Sumatera yang menghubungkan Lampung hingga Palembang. Kota kecil ini cukup penting terutama karena menjadi semacam 'halte' bagi bus jurusan Rajabasa-Kasui yang melintasi rute tidak kurang dari 200 km, melintasi kota-kota utama di Lampung seperti Bandar Lampung, Natar, Bandar Jaya, dan Kotabumi.
Ekonomi
Kota kecil ini merupakan kecamatan paling ramai di Kabupaten Way Kanan. Boleh dibilang, pusat perekonomian kabupaten berada di kecamatan ini. Baradatu memiliki sebuah Pasar Inpres di Desa Tiuh Balak, sebuah Pasar Pagi (termasuk 'terminal kecil', dan Tempat Pemungutan Retribusi (TPR)) di Desa Tiuh Balak Pasar, ibukota Baradatu (dalam Bahasa Lampung 'tiuh' berarti 'desa', 'balak' berarti 'besar'). Mayoritas penduduk Baradatu adalah petani dan pedagang. Harga sayur dan buah cukup terjangkau di sini. Ini karena Bumi Baradatu yang cukup subur. Sebagian besar petani mengirimkan hasil panennya (terutama pisang) ke kota-kota besar macam Jakarta. Namun hasil bumi yang sangat terkenal dari tempat ini adalah Lada dan Kopi. Kualitas kedua hasil bumi ini tidak diragukan lagi.
Pendidikan
Selain sebagai pusat perekonomian kabupaten, Baradatu juga dikenal sebagai pusat pendidikan di wilayah Way Kanan. Baradatu memiliki sebuah SMA negeri, empat SMP negeri serta sejumlah sekolah swasta, di antaranya RA, MI, MTs, dan MA milik Yayasan Mathla'ul Anwar, SMP milik Muhammadiyah, SMP dan SMK milik Yayasan Pendidikan 17, TK-SD-SMP-SMA BHAKTI serta beberapa waktu kemarin berdiri kelas jauh (filial) dari Universitas Bandar Lampung (UBL) dan STKIP Metro.
Sejarah dan Budaya
Sejarah panjang Baradatu di mulai sejak jaman kolonial Belanda, sejak kota ini mulai dihuni penduduk. Pada awalnya Baradatu berstatus Negeri (semacam desa di masa lalu) yang berada di bawah kekuasaan Kawedanaan Blambangan Umpu. Negeri Baradatu membawahi kampung-kampung Gunung Labuhan, Tiuh Balak, Gunung Katun, Cugah, dan Banjarmasin (di tepi Way Besay; dalam Bahasa Lampung 'way' berarti 'sungai' dan 'besay' berarti besar).
Penduduk Baradatu semakin bertambah dengan datangnya gelombang pendatang, utamanya dari tanah Jawa. Pendatang yang bermukim di Baradatu ini sebagian besar merupakan transmigran. Terdapat dua pola transmigran yang mulai migrasi sejak tahun 1957-1958 ini.
Pola pertama, Transmigrasi Umum (TU) yang kebanyakan bermukim di kampung-kampung sebelah barat Jalan Lintas Tengah Sumatera yang baru dibentuk kemudian. Kampung-kampung itu saat ini bernama Taman Asri, Campur Asri, dan Mekar Asri. Penduduk pendatang ini banyak yang berasal dari Yogyakarta, Surabaya, Bojonegoro, termasuk Bandung dan Sumedang. Oleh penduduk pendatang, nama-nama kota asal ini masih digunakan sebagai penanda lokasi tempat tinggal mereka. Secara administratif nomenklatur yang dipakai adalah nama desa semisal Taman Asri. Namun, di wilayah Taman Asri terdapat kantong (enclave) penduduk yang berasal dari Surabaya atau Bojonegoro sehingga mereka lebih suka menyebut tinggal di 'Surabaya' atau 'Bojonegoro' ketimbang tinggal di Taman Asri. Daerah kantong ini kira-kira seluas Rukun Warga (RW).
Pola kedua penduduk pendatang tergabung dalam Transmigrasi Veteran (Transvet) Tahun 1959 dan 1961. Transmigran pola ini bermukin di wilayah sebelah selatan Jalan Lintas Tengah Sumatera. Saat ini mereka bermukim di Desa Bhakti Negara, Setia Negara, dan Gedung Rejo. Transmigran ini kebanyakan berasal dari Solo, Yogyakarta, Kedu, Madiun, dan Kediri. Seperti halnya penduduk transmigrasi umum, mereka mengidentifikasi sebagai orang Solo atau Madiun untuk menyebut 'RW' mereka.
Identifikasi ini paralel dengan identifikasi penduduk Surakarta yang menyebut dirinya sebagai 'Orang Sala/Solo' (Wong Solo). Secara administratif wilayahnya bernama Surakarta, tetapi lebih dikenal sebagai Solo. tidak pernah ada misalnya, bus jurusan Surakarta-Jakarta, karena yang ada bus Solo-Jakarta. Untuk menyebut nama wilayah, kadang penduduk Baradatu mengidentifikasinya dari nama perempatan. Semisal Desa Gunung Labuhan (sekarang Kecamatan Gunung Labuhan), lebih dikenal penduduk sebagai Simpang Tulung Buyut. Karena Gunung Labuhan berada di perempatan Jalan Lintas Tengah Sumatera dengan jalan yang menuju Desa Gunung Labuhan).
Pembauran antara penduduk lokal dengan transmigran berjalan tanpa kendala yang berarti. Generasi kedua dan ketiga dari transmigran bahkan sudah mulai tidak dapat berbahasa Jawa, termasuk Bahasa Jawa Ngoko. Ritus-ritus dan tradisi yang masih dilakukan transmigran generasi pertama misalnya, tidak lagi dilakukan generasi selanjutnya. Transmigran dan penduduk lokal sejatinya telah bersintesa dalam kebudayaan baru, mengadopsi budaya lokal, budaya pendatang, dan 'budaya nasional'.
Penduduk Asli
Penduduk bersukubangsa Lampung banyak mendiami kampung-kampung asli dalam Kenegerian Baradatu di Desa Gunung Labuhan, Desa Cugah, Desa Tiuh Balak, maupun Desa Banjarmasin. Di Provinsi Lampung terdapat dua wilayah kebudayaan: Peminggir (Saibatin) dan Pepadun. Masyarakat Peminggir banyak bermukim di Lampung Barat, Lampung Selatan, Lampung Timur, hingga Menggala. Tidak heran karena 'peminggir' berarti juga 'pesisir'. Sedang masyarakat kebudayaan Pepadun banyak tinggal di pedalaman Lampung, seperti Lampung Utara, Way Kanan, dan Lampung Tengah. Yang menarik di daerah Baradatu, selain penduduk asli, adalah keberadaan komunitas/kelompok suku yang berkelompok mendiami suatu kawasan. Contohnya saja kawasan Gang Galih yang mayoritas penduduknya warga Padang. Warga perantauan ini mendiami pemukiman sepanjang Gang Galih.
Wisata
Baradatu tidak banyak memiliki potensi wisata. Satu dasawarsa yang lalu, banyak penduduk yang bertamasya ke Air Terjun. Air Terjun ini belum diberi nama, karena memang tidak dikelola dengan baik. Air Terjun ini berada di Desa Bhakti Negara, dekat 'RW' Semarang. Sehingga penduduk sering menyebutnya Air Terjun Semarang. Adapula yang menyebutnya Air Terjun Kayu Agung, karena pada tahun 1970-an, di sekitar air terjun ini bermukim sekira 15 kepala keluarga. Mereka menamakan wilayahnya sebagai Kampung Kayu Agung. Namun, sejak tahun 1990-an penduduk Kayu Agung banyak yang pindah ke Desa Tiuh Balak Pasar di ibukota kecamatan. Tidak ada penduduk yang tinggal di Kayu Agung lagi, kecuali kebun lada dan kopi penduduk. Perpindahan ini sesuatu yang umum terjadi. Penduduk Kayu Agung banyak berasal dari sukubangsa Ogan Baturaja (Sumatera Selatan). Penduduk Ogan banyak yang membuka 'hutan', berdiam di sana sembari mengolahnya menjadi ladang lada, atau kopi hingga menghasilkan. Setelah mulai berbuah, mereka biasanya bermigrasi ke daerah-daerah yang lebih ramai.
Air Terjun Semarang ini memiliki ketinggian hingga 30 meter. Berada di aliran sungai kecil, Sungai Kayu Agung yang mata airnya tidak jelas berasal dari mana. Sejumlah penduduk menyebut mata airnya berasal dari sejumlah mata air kecil di cekungan-cekungan wilayah Baradatu yang berbukit-bukit. Ditambah sisa irigasi pengairan padi yang mengaliri cekungan-cekungan itu. Saat ini Air Terjun Semarang semakin sepi. Debit Sungai Kayu Agung juga menyusut drastis. Mungkin karena cekungan-cekungan di hulu Sungai Kayuagung mulai dibuka menjadi lahan pertanian.
Selain Air Terjun Semarang penduduk Baradatu dahulu banyak yang menghabiskan waktu luang bertamasya di Way Neki yang melintasi Desa Gedung Rejo, dan Sungai Way Besai yang melintasi Desa Suko SariPenduduk banyak menyebutnya sebagai daerah 61Disebut demikian karena daerah 61 merupakan salah satu tempat transmigrasi veteran (tranvet) di Baradatu yang dilakukan tahun 1961. Di sungai ini penduduk banyak melakukan kegiatan memancing atau mandi berenang. Namun, seperti halnya Air Terjun Semarang, Sungai Way Besai mulai kehilangan peminatnya.