Lompat ke isi

Sesenapadang, Mamasa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 9 Oktober 2020 07.32 oleh Harjamulianto Balumbun (bicara | kontrib) (Penambahan Penjelasan dan Sejarah dari Sumber di daerah)
Sesenapadang
Negara Indonesia
ProvinsiSulawesi Barat
KabupatenMamasa
Pemerintahan
 • Camat-
Populasi
 • Total- jiwa
Kode Kemendagri76.03.08 Edit nilai pada Wikidata
Kode BPS7603070 Edit nilai pada Wikidata
Luas- km²
Desa/kelurahan-

Sesenapadang adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, Indonesia.


SEJARAH INDONA SESENAPADANG

Indona Sesenapadang adalah salah satu daerah keadatan yang berada diwilayah Pitu Ulunna Salu Kondo Sapata’ Uai Sapalelean (sekarang kabupaten Mamasa). Dengan tradisi dan kebiasaan adat yang masih hidup dan diakui keberadaannya oleh masyarakat adat menjadikan adat Indona Sesenapadang masih eksis sampai saat ini. Ada  empat syarat suatu komunitas masyarakat adat diakui keabsahannya. Keempat syarat tersebut adalah memiliki pemangku adat secara turun-temurun, memiliki wilayah adat, memiliki masyarakat adat, dan pengakuan dari keadatan lain. Keempat syarat tersebut dimiliki oleh keadatan Indona Sesenapadang sampai saat ini secara turun-temurun.


1.    Nenek Pasa’buan

Salah satu pemimpin adat Indona Sesenadapang yang sangat fenomenal dan disegani sepanjang sejarah Indona Sesenapadang adalah nenek Pasa’buan. Dalam beberapa peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dalam wilayah keadatan Pitu Ulunna Salu Kondo Sapata’ Uai Sapalelean, nenek Pasa’buan banyak kali mengambil peran penting dengan kecerdikan dan ketangguhannya. Sebut saja misalnya ritual adat To’pao dengan bai ballangna (babi belangnya) dan perang Loe dan Urra-Urra yang merupakan perang saudara yang terjadi di wilayah Tabulahan.

Nenek Pasa’buan adalah orang pertama yang mendiami (perabang) wilayah Indona Sesenapadag yang saat itu disebut Indona Mesa Kada. Nama Pasa’buan sendiri bukanlah nama asli dirinya sejak kecil. Nama asli dari nenek Pasa’buan kecil adalah Manna Salabi’, kemudian berganti nama menjadi Palado sampai terakhir menjadi Pasa’buan.

Manna Sala’bi kecil berasal dari Pongkauru (sekarang kecamatan Tabang), ketika pertama kali datang di Sesenapadang dia bertemu dengan nenek Dettumanan dari Tabulahan. Mereka kemudian bersepakat untuk membagi dua wilayah kekuasaan mereka di wilayah Limbong Kalua’. Batas wilayah nenek Manna Salabi’ mulai dari sungai Kampinnisan, kemudian mengikuti alur sungai sampai di ulu sungai Bue dan sungai Mamasa kemudian terus sampai di Banting-Banting kemudian sampai di perbatasan yang disebut Pasapa’ rokkona allo sampai di Pongkauru.

Setelah pertemuan di To’pao yang dulunya disebut pertemuan Buntu-Buntu untuk membagi wilayah kekuasaan keadatan (untawa mana’), dalam pertemuan tersebut dipersyaratkan babi belang (bai ballang) sebagai “Rara Madatunna Kombongan Bassean Kada Nenek”, yang dikorbankan sebagai syarat terlaksananya musyawarah tersebut. Karna itu para sesepuh adat yang hadir menawarkan siapa yang bisa menyiapkan babi belang tersebut. Kemudian nenek dari Tabulahan menawarkan bahwa “ada babi belang di Tabulahan namun jika ada laki-laki tangguh dan kuat untuk mengambilnya maka tiga hari kemudian babi tersebut akan sampai”. Namun kemudian nenek Manna Salabi’ dari Pongkauru juga menawarkan bahwa “ada babi belang di Pongkauru dan jika ada anak muda yang berangkat sebentar sore maka besok pada pagi hari babi tersebut akan sampai”. Ternyata babi belang yang di maksud nenek Manna Salabi’ tersebut sudah ada disiapkan sebelumnya yang disembunyikan di sekitar tempat ritual yang dikenal dalam masyarakat Indona Sesenapadang bai dipa’lopian (babi diatas perahu) yang sekarang dikenal di masyarakat luas limbong lopi.

Sebagai imbalan atas babi belang nenek Manna Salabi maka kemudian dianugerahi penambahan wilayah kekuasaan yaitu mulai dari mengikuti sungai Mamasa sampai di To’sandana masuk di sungai Sumara’ sampai di Pasapa’ (perbatasan) kemudian sampai di Pongkauru. Wilayah yang diberikan tersebut merupakan wilayah kekuasaan nenek Dettumanan sebelumnya yang dikenal dalam masyarakat Indona Sesenapadang dengan istilah tawa to tandalian (sekarang Tawalian). Atas kecerdikan dan akal-akalan nenek Manna Salabi’ setelah pertemuan di To’pao namanya kemudian berubah menjadi nenek Palado.

Kemudian pada waktu perang saudara terjadi di Tabulahan yang dikenal dengan perang Loe dan Passokorang nenek Pasa’buan dipanggil untuk terlibat sebagai pihak penengah dalam mengamankan perang saudara tersebut. Dalam perang tersebut terjadi pertempuran hebat, dan dengan strategi dan kecerdikan nenek Pasa’buan ribuan orang sebagai dalang dari perang saudara tersebut terbunuh oleh nenek Pasa’buan. Disinilah kemudian nama nenek Pasa’buan kembali berganti dari nenek Palado menjadi nenek Pasa’buan.

Nenek Pasa’buan mempunyai dua orang anak yang pertama bernama Sanda Padang atau Tangkarauan dan anak kedua bernama Matagon. Tangkarauan kemudian menggantikan nenek Pasa’buan sebagai pemangku adat diwilayah Indona Sesenapadang. Menurut cerita sejarah dari para tetua adat diwilayah Indona Sesenapadang, konon katanya nenek Tangkarauan berperawakan lain daripada manusia biasanya. Dimana nenek Tangkarauan ini memiliki darah yang tidak berwarna merah melainkan berwarna hitam. Sementara nenek Matogon kemudian mendiami wilayah tawana to tandalian (sekarang Tawalian) setelah diperistri oleh nenek Pottoni yang merupakan seorang pelarian perang dari Passokorang.

Saat itu nenek Pottoni mendatangi Indona Sesenapadang kemudian bertemu dengan nenek Pasa’buan untuk diberikan wilayah yang akan ditempatinya sekaligus mencari pendamping hidup (istri). Berkaitan dengan yang akan menjadi istrinya dia memberikan isyarat kepada nenek Pasa’buan bahwa yang akan menjadi istrinya kelak adalah siapapun yang akan diduduki oleh seekor binatang peliharaan nenek Pasa’buan yaitu seekor kucing, maka itulah yang akan menjadi istrinya. Lalu kemudian nenek Pasa’buan bersepakat dan mengumpulkan para budak perempuannya diatas rumah termasuk putrinya yang bernama Matogon tersebut. Ketika kucing yang menjadi tanda yang akan menjadi istri nenek Pottoni sudah diatas rumah, ternyata yang diduduki kucing tersebut bukan para budak nenek Pasa’buan melainkan putrinya sendiri yaitu Matogon. Karna perjanjian dan kesepakatan tersebut maka putri nenek Pasa’buan yaitu Matogon kemudian diberikan kepada Pottoni menjadi istrinya.


2.    Indona Sesenapadang dan Batas Wilayah Adat

Pada awalnya wilayah Orobua sudah ada sebelum musyawarah adat yang dilakukan oleh para leluhur di To’pao (pohon mangga) di salah satu sudut kota Mamasa sekarang. Pada waktu itu To’pao adalah tempat untuk membagi wilayah atau daerah kekuasaan adat dengan istilah “Mantawa Mana” kepada masing-masing daerah atau wilayah dengan status dan fungsi yang berbeda daripada daerah keadatan tersebut.

Pada saat itu Orobua sudah berbentuk suatu kesatuan masyarakat (Tondok) yang dipimin oleh seorang Tua Adat (tokoh adat) yang sudah memiliki budaya dan aturan adat istiadat yang mengatur sendi kehidupan masyarakat adatnya. Pada awalnya daerah keadatan Orobua bernama “Indona Mesa Kada” yang sekarang menjadi motto masyarakat Mamasa, “Mesa Kada di Potuo Pantan Kada di Pomate”. Namun setelah musyawarah hadat di To’pao nama Indona Mesa Kada berubah menjadi Indona Sesenapadang Orobua Sali-Salinna Kondo Sapata Bannena Wai Sapalelean.

Indona Sesenadapang jika diartikan secara harafiah terdiri dari tiga suku kata yaitu indona yang berarti induk, sesena berarti sebagian atau separoh dan padang berarti daerah atau wilayah. Jadi jika diartikan secara sederhana Indona Sesenapadang berarti induk atau pemilik sebagian wilayah atau daerah. Pemilik sebagian wilayah ini yang dimaksud yaitu wilayah yang berada di limbong kalua’ baik pembagian wilayah bersama dengan nenek Dettumanan maupun ketika pertemuan adat di To’pao.

Adapun wilayah adat Indona Sesenapadang mulai dari ba’bana Kampinnisan, menyusur sungai Mamasa ke-arah utara sampai di bamba Buntu (Bombong Tokata) terus menuju ke sungai Tetean sampai di sungai Mamasa belok kiri menuju ke-To’sandana melalui salu Sumarak ke Parak, dan dari Parak ke-Batu Bulan terus ke Buntu Bo’te lalu ke Tanete Ma’pata’ sampai di Pa’tau-tauan dan akhirnya kembali ke-Kampinnisan.


3.    Arti Orobua

Nama Orobua adalah nama yang melekat sebagai identitas dari kelompok masyarakat adat Indona Sesenapadang yang dikenal luas dikalangan masyarakat umum di Mamasa. Kata Orobua sendiri merupakan nama pertama yang diberikan oleh nenek Pasa’buan setelah mendiami (marrabang) Indona Sesenadapang. Ketika pertama kali ditemukan oleh nenek Pasa’buan wilayah tersebut merupakan daerah pegunungan yang banyak ditumbuhi oleh pohon bua-bua serupah dengan pohon pinang/palem.

Secara harafiah kata Orobua berasal dari dua suku kata yaitu “oro” yang merupakan singkatan dari orong dan “bua” merupakan singkatan dari bua-bua. Jadi Orobua dalam masyarakat adat Indona Sesenapadang diartikan orong na bua. Kata orong sendiri merujuk kepada suatu wilayah daratan diwilayah perbukitan yang berlekuk-lekuk.

Wilayah perkampungan pertama Indona Sesenapadang berada di sebelah timur rumah adat Indona Sesenapadang, dan tempat rumah adat Indona Sesenadapadang yang sekarang dulunya disebut Ponding. Setelah keturunan masyarakat Indona Sesenapadang semakin berkembang maka kemudian banyak daerah-daerah baru yang dirabang (didiami). Melalui perkembangan inilah kemudian kehidupan masyarakat Indona Sesenapadang menjadi semakin kompleks yang membutuhkan perangkat adat sebagai pranata sosial masyarakat untuk mengaturnya.


4.    Asal Mula Mesa Kada Dipotua Pantan Kada di Pomate

Pada mulanya kesatuan masyarakat adat di Orobua berada didalam wilayah adat yang bernama Indona Mesakada yang berpusat di Orobua. Salah satu budaya atau kegemaran mereka adalah berperang dengan daerah lain, dan untuk menunjukkan keberhasilan mereka membawa kepala manusia yang dikalahkannya kemudian digantung di “longa banua”.

Pada suatu waktu kelompok masyarakat dari daerah lain yaitu dari Mandar menyerang mereka. Karna sudah merasa terdesak dengan kelompok tersebut akhirnya mereka melarikan diri (sirrik) ke-hutan sebagai bagian dari strategi perangnya. Dalam pelariannya menuju ke-hutan mereka melewati sebuah bukit yang sekarang di sebut “Orong Tomanda” yang berada di Desa Lisuan Ada’ sekarang. Untuk mengelabui musuhnya, mereka membuat sebuah pondok yang kemudian dialasi dengan daun “Lelating” (tumbuhan yang berupa dedaunan yang bilah mengenai kulit maka akan terasa sakit dan sangat gatal).

Ketika para musuh mereka tersebut berusaha mendapatkan mereka ke-hutan, dengan menempuh perjalanan yang cukup melelahkan sehingga para musuh tersebut mencari tempat berteduh. Tampaklah bagi mereka beberapa pondokan yang sudah diatapi dan lantainya beralaskan dengan dedaunan. Karna sudah kelelahan akhirnya mereka dengan tanpa sadar membuka baju lalu kemudian merebahkan badanya di lantai pondok yang beralaskan daun Lelating tersebut. Sontak secara bersama-sama badannya sakit dan sangat gatal, sehingga mereka akhirnya takut dan pulang dengan alasan bahwa “Daunnya saja sudah hampir mematikan kita apalagi orangnya”.

Ketika para leluhur Indona Sesenapadang sudah terbebas dari musuh yang mengejarnya, sampailah mereka disebuah tempat yang bernama “Pendarangan”. Nama pendarangan sendiri diartikan sebagai tempat memanaskan badan dari bara api yang terbakar. Pada saat malam tiba, anak-anak bersama para perempuan kemudian disuruh untuk tidur dan para laki-laki dewasa bertugas untuk berjaga. Ditempat para perempuan tersebut tertidur mereka mendengar suara sayup-sayup yang bunyinya “Mesa Kada di Potuo Pantan Kada di Pomate”. Kemudian asal suara tersebut dicari tahu, dan ternyata suara sayup tersebut berasal dari sebuah kincir angin (kalunteba’). Kemudian para perempuan tersebut memberitahukan kepada para laki-laki.

Karna mereka tidak bisa menerjemahkan arti dari bunyi tersebut, maka mereka bersepakat untuk menanyakan langsung kepada orang tua mereka yaitu nenek Pasa’buan yang berada di Pokko (sekarang daerah Mawa’ Desa Tabang Barat kecamatan Tabang). Dari petunjuk yang diberikan oleh nenek Pasa’buan menyampaikan bahwa suara tersebut adalah suara Dewa yang berarti bahwa karna kalian tidak bersatu (mesa kada) akhirnya kalian dikalahkan dan melarikan diri (sirrik) ke-hutan. Karna itu nenek Pasa’buan memerintahkan untuk mereka kembali ke Orobua dan nenek Pasa’buan akan menyusul untuk mempersatukan kembali mereka.

Dalam acara atau ritual yang dilakukan untuk menyatukan kembali orang Orobua, dijelaskanlah arti dari kata “Mesa Kada di Potuo Pantan Kada di Pomate” yaitu persatuan adalah inti dari kekuatan dan bercerai adalah titik dari kelemahan. Dalam ritual tersebut juga dilakukan pelantikan pemimpin sebagai pemangku adat dari keturunan nenek Pasa’buan untuk memimpin komunitas adat di Orobua yang bernama “Indona Mesa Kada” dibawah falsafah “Mesa Kada di Potuo Pantan Kada di Pomate”.


BUDAYA & KEARIFAN LOKAL

1.    Toburake

Toburake adalah seorang imam perempuan yang bertugas sebagai pemimpin suatu ritual khususnya ritual sara’ ummolai parrik (ucapan syukur) dalam masyarakat adat. Secara umum ritual ucapan syukur dalam masyarakat adat ada 4 jenis yaitu to bisu, melambe, ma’rinding (marinding bai atau ma’rinding tedong) dan ma’pararuk. Seorang To burake sebagai pemimpin ritual diperlengkapi dengan alat burake, yang terdiri dari: kamaru, pindan, sura’, sissin kara (cincin), mawa’, pisau, sampa, kossek, baju ampire yang semuanya dengan fungsi yang berbeda-beda.

Dalam ritual to bisu yang dipimpin oleh toburake merupakan suatu ritual yang hanya dilakukan oleh kalangan perempuan dalam rangka umpasundun aluk membainena (pendewasaan diri). Jadi seorang perempuan dianggap belum dewasa dan belum lengkap sebagai seorang perempuan jika tidak perna melakukan pa’bisuan tersebut. Dalam acara pa’bisuan setiap perempuan yang terlibat dalam to bisu di persyaratkan seeokor babi dalam upacara tersebut. Ketika To burake memasuki suatu kampung kemudian membunyikan kamaru (sejenis gendang tetapi berukuran kecil) para perempuan-perempuan yang akan bisu kemudian berdatangan menemui sumber bunyi kamaru tersebut. Ketika gendang dibunyikan oleh to ma’gandang kemudian To burake mulai sumayo (menari) puncaknya adalah para perempuan yang menjadi to bisu  memanjat pohon beringin (to’ barana’) secara tidak sadar.

Sementara berkaitan dengan ritual melambe, ma’rinding, dan ma’pararuk merupakan suatu ritual untuk menggambarkan puncak kekayaan seseorang didalam masyarakat adat. Selain itu ritual tersebut juga dilakukan sebagai suatu nazar dalam istilah masyarakat adat disebut samaya yang wajib dilakukan karna sudah berupa harapan dan iktiar.

2.    Tari-Tarian

Tari-tarian merupakan alat pelengkap ritual dalam tradisi masyarakat adat Indona Sesenapadang. Dalam kebiasaan masyarakat adat Indona Sesenapadang ada 4 tarian ciri khas sekaligus tarian yang lahir dan berkembang di wilayah keadatan Indona Sesenapadang. Tarian tersebut adalah tari mangnganda’, tari ma’rinding, tari burake, dan tari bondesan.

3.    To Ma’gandang

Dalam tradisi masyarakat Indona Sesenapadang ritual pa’gandangan dilakukan hanya dalam kegiatan-kegiatan tertentu saja. Artinya tidak semua kegiatan masyarakat adat dilakukan pa’gandangan (dibunyikan gendang). Tetapi ada syarat yang mesti harus dipenuhi, misalnya status sosial, kekayaan seseorang untuk membuat suatu pesta, dll. Secara umum ada tiga jenis kegiatan masyarakat adat dapat dibunyikan gendang. Ketiga jenis kegiatan tersebut adalah acara perkawinan (sara’ tuka’) acara kematian (sara’ solo’) dan acara ucapan syukur (sara’ ummolai parri’). Bunyi (balayan) gendang yang dibunyikan dalam kegiatan tersebut masing-masing berbeda,misalnya dalam acara perkawinan jenis gendang yang dibunyikan disesuaikan dengan status sosial yang melaksanakan acara tersebut. Sementara dalam kegiatan acara kematian hanya ada satu jenis bunyi gendang yang dibunyikan yaitu balado, terkecuali kepada mereka yang merupakan pemangku adat, taruk adat, atau karna kekayaannya dan keturunan toma’gandang.

Untuk acara ucapan syukur (sara’ ummolai parri’), jenis bunyi (balayan) gendang yang dibunyikan berjumlah 24 balayan yang terdiri dari 4 ritual kegiatan. Ke-empat ritual tersebut adalah tobisu, melambe, ma’rinding, dan pa’pararukan. Tobisu adalah suatu jenis ritual yang dilakukan hanya untuk kalangan perempuan saja yang bertujuan untuk melengkapi identitas dirinya sebagai seorang perempuan yang dalam bahasa mereka dikenal dengan istilah sundun aluk membainena. Balayan gendang yang dibunyikan dalam acara tobisu berjumlah 5 balayan yaitu: lewa-lewa, tuntun bukku’, tarakiki, turase’-rase’, dan tambola’-bola’.

Sementara itu untuk ke-3 ritual sara’ ummolai parri’ lainnya yaitu melambe, ma’rinding dan ma’pararuk adalah ritual yang dilakukan oleh masyarakat adat yang sudah memiliki tingkat kekayaan yang cukup yang dalam bahasa masyarakat adat dikenal dengan istilah “sundun katomakakaanna”. Mulai daripada acara melambe, ma’rinding (ma’rinding bai atau ma’rinding tedong) dan ma’pararuk adalah merupakan kegiatan ritual oleh mereka to sundun katomakakaanna dilakukan secara bertahap. Dalam ritual melambe, ada 12 balayan gendang yang dibunyikan yaitu: turrun, lewa-lewa, anak lewa’, tetu’ penduan, tetu’ pentallun, siguntu’ pelambean, tetu’ sibeso, tetu’ loliu, pantan kada, salu tallu, tingkallok, dan tumbarake. Untuk ritual ma’rinding ada 3 balayan gendang yang dibunyikan yaitu: darappi, rota’, dan gandang pabuno. Dan untuk ritual ma’pararu’ ada 4 balayan gendang yang dibunyikan yaitu: balonten, lamban lalan, gandang sitole’ dan siguntu’ pa’pararukan.


SITUS BENDA BERSEJARAH

1.    Sarakka Bulawan

Sarakka Bulawan adalah salah satu benda pusaka yang merupakan sebuah benda kuno yang dibawah datang oleh perahu nenek Torije’ne ketika kandas di Buntu Bulo yang disebut dengan Tanete Kapusaan di Tabulahan. Sarakka bulawan adalah bagian dari imbalan yang diberikan oleh nenek Dettumanan kepada nenek Pasa’buan yang menyediakan bai ballang di To’pao. Sarakka bulawan tersebut berbentuk sebuah garpuh dari emas sebagai simbol keadatan Indona Sesenadapang yang di gelar “Petoe Sarakka Bulawan Tondok Madatu to Ma’kada Puang to Umponnoi Tundanan Mana’ dio To’pao Indona Sesenapadang”.

2.    Rumah Adat Indona Sesenapadang

Indona Sesenapadang memilki 2 rumah tongkonan (rumah adat) yang masing-masing mempunyai lumbung. Rumah adat tersebut masing-masing mempunyai nama yang berbeda yaitu “Banua Layuk” dan “Banua Sura”. Banua Layuk atau rumah besar adalah rumah adat yang digunakan oleh pemangku adat dengan ukuran yang paling besar diantara rumah adat lainnya. Sementara Banua Sura’ atau rumah ukir adalah rumah adat yang ukurannya lebih kecil dari Banua Layuk. Perbedaan paling mendasar antara rumah ukir milik pemangku adat dengan rumah ukir pada masyarakat adat secara umum dapat dilihat pada “sura” atau ukiran yang digunakan dimana pada rumah adat ukiran yang digunakan sampai dibelakang rumah atau dikenal dengan istilah “Sura Lemba”. Hal lainnya adalah pada sali-sali (serambi) rumah pemangku adat didepan dan juga disamping kiri dan disamping kanan rumah dibuat sali-sali atau dikenal dengan istilah sali-sali tiku, dan untuk sali-sali didepan melewati penulak. Kemudian pada atap rumah adat tersebut dipasang 8 buah tarangke pada setiap sudutnya yang berbentuk matahari.

Sementara tingkatan atau jenis rumah masyarakat adat diwilayah keadatan Indona Sesenapadang terdiri dari 6 jenis yaitu Banua Layuk, Banua Sura’, Banua Bolong, Banua Rapa’, Banua Longkarrin, dan Banua Samba’.

±    Banua Layuk: Rumah tinggal yang berukuran besar dan pemiliknya merupakan kalangan bangsawan dan memiliki sejumlah kekayaan.

±    Banua Sura’: Rumah ukir yang ditinggali oleh kaum bangsawan dengan ukiran setiap rumah tergantung dari status sosial pemilik rumah tersebut.

±    Banua Bolong: Rumah dengan cat hitam seluruh dinding rumah, dengan “badong” sudah dipasang badong didepan dan dibelakang rumah. Pemilik dari rumah ini adalah kalangan keturunan bangsawan yang memiliki jabatan didalam pemerintahan adat.

±    Banua Rapa’: Rumah ini dikenal dengan nama lain yaitu “Banua Pasondok”, yaitu rumah yang berukuran besar tetapi hanya bagian belakang rumah dipasangi badong. Pemilik rumah ini adalah kalangan bangsawan.

±    Banua Longkarrin: Rumah yang memiliki landasan tempat mendirikan tiang agar kuat dan tahan. Pada rumah jenis ini mempunyai 3 petak (bagian) yang disekat yaitu Lombon, Tambing, dan Ba’ba.

±    Banua Samba’: Rumah yang mempunyai landasan yang gunanya untuk meletakkan tiang di masing-masing 4 perpotongan agar kuat dan tahan berdiri. Rumah jenis ini adalah rumah pertama yang dibuat oleh nenek moyang secara gotong royong karna masih kekurangan alat untuk membuatnya.

3.    Tulali Bonde’

Dalam tradisi masyarakat adat Indona Sesenapadang, tulali bonde’ dipercaya sebagai alat untuk menyembukan penyakit khususnya penyakit bondek. Penyakit bondek dalam pemahaman mereka adalah sebuah penyakit kerasukan setan yang dalam isitilah mereka disebut saki bugi’ atau penyakit yang berasal dari pantai. Dalam pemahaman orang tua dulu biring bonde’ diartikan sebagai pinggir pantai.

Selain berfungsi untuk menyembuhkan penyakit, tulali bondek juga berfungsi sebagai alat yang digunakan untuk melaksanakan suatu upacara pelambean. Ritual pelambean merupakan suatu acara ucapan syukur masyarakat adat Indona Sesenapadang yang berisi doa dan harapan yang merupakan ungkapan hati yang mutlak harus dilakukan (samaya).

4.    Tumpuan Batu

Tumpuan Batu adalah salah satu situs bersejarah di wilayah keadatan Indona Sesenapadang tepatnya di Sepang (Desa Lisuan Ada’). Tumpuan batu berfungsi sebagai tempat membuat sumpah para hakim tetua adat ketika akan memutus suatu perkara atau masalah. Didalam isi sumpah tersebut berisi yaitu siapapun yang berbuat tidak adil dalam memutus suatu perkara maka perutnya akan seperti batu. Dalam ritual tersebut para tetua adat yang akan bertindak sebagai hakim dalam suatu perkara bersama-sama meletakkan kakinya pada batu tersebut.

5.    Batu Membali

Batu membali adalah sejenis batu yang dipercaya oleh masyarakat sekitar sebagai seorang manusia yang berubah bentuk menjadi batu. Konon ceritanya ada seorang laki-laki pemalas yang bernama Paembonan. Kerjanya setiap hari kebanyakan tidur sehingga jarang sekali membantu orang tuanya. Suatu waktu ketika bulan purnama tiba, Paembonan si pemalas ini tetap tidur sekalipun diingatkan orang tuanya agar segera bangun karna dalam kepercayaan mereka pada saat bulan purnama tiba tak baik jika seseorang tertidur. Tiba saatnya ketika orang tuanya membangunkan, ternyata Paembonan si pemalas bentuknya sudah berubah menjadi batu.

Dalam kepercayaan masyarakat sekitar, mereka percaya bahwa batu membali memiliki tanda-tanda gaib. Selain batu ini beranak (batu ke-anak) batu ini juga sering dipercaya memberi tanda ketika ada orang yang akan meninggal (umpellei padang). Konon ceritanya ketika batu ini menghadap ke barat maka dipercaya memberi tanda ada orang yang akan meninggal disekitaran kampung tersebut. Sementara ketika ada batu disampingnya yang dipercaya sebagai anaknya maka memberi tanda bahwa disekitar kampung tersebut akan ada anak yang lahir.


BUSANA DAN AKSESORIS

1.    Sejarah Talana Toraya (Celana Toraja)

Pada suatu waktu seorang taruk adat (To ke Indo) meninggal di Toraja, kemudian memanggil berbagai daerah keadatan termasuk “To ke Indo” didaerah bagian barat yang dalam istilah mereka di sebut “To Kalambunan” untuk ikut dalam acara “Paramisi” sebuah acara sabung ayam yang dilakukan didalam suatu pesta kematian orang Toraja. Pada waktu itu to ke indo di kalambunan membawa seekor ayam dengan jenis “Sippaga Ro’de”. Ketika masuk didalam arena sabung ayam tersebut, ayam dari to ke indo dikalambunan mendapat lawan dari to ke indo di Toraja. Kemudian mereka sepakat bahwa taruhan didalam sabung ayam tersebut adalah “Pakka” atau seluruh rakyatnya dari masing-masing to ke indo.

Ternyata setelah ayam tersebut berkelahi, maka yang keluar sebagai pemenang adalah sippaga ro’de’ milik to ke indo dari kalambunan. Sebagai bentuk tanggungjawab dari to ke indo dari Toraja yang dikalah maka dia menyerahkan semua pakka atau rakyatnya dengan syarat tidak menyisakan seorangpun. Namun karna tidak mungkin rakyat tersebut dibawah semuanya maka kemudian to ke indo dari Kalambunan meminta imbalan lain yaitu pakain adat yang digunakan oleh orang Toraja tersebut mulai dari kepala sampai di ujung kaki. Itulah sebabnya celana adat yang digunakan oleh masyarakat adat Mamasa pada umumnya dikenal dengan istilah “Talana Toraya”, bukan “Talana Mamasa”.

2.    Pakain Tradisional

Jenis pakaian tradisional yang digunakan masyarakat adat Indona Sesenapadang ada 3 jenis bayu (baju). Ketiga jenis tersebut adalah bayu pamiring, bayu ampire, dan bayu pongko’. Jenis baju ini adalah pakaian tradisonal masyarakat adat Indona Sesenapadang yang dapat digunakan oleh masyarakat biasa apabila kerabat keluarganya yang sudah meninggal dipakaikan baju tersebut pada saat dikuburkan, dalam istilah mereka disebut denganmi nabawa tomateta. Adapun orang mati yang menjadi ukuran minimal ritual acaranya dibalado atau dituntun pitu, dimana ritual ini mempersyaratkan minimal jumlah ekor kerbau yang harus dipotong.


SILSILA PEMANGKU DAN PERANGKAT ADAT

Orang pertama yang mendiami wilayah Indona Sesenapadang sekaligus sebagai pemangku adat pertama adalah nenek Pasa’buan. Dalam sejarah Indona Sesenapadang pelantikan pemangku adat secara sah sudah dilakukan sebanyak XVI kali sampai sekarang, yaitu:

±    Pemangku Adat I                : Patana’                            

±    Pemangku Adat II               : Sanda Padang

±    Pemangku Adat III             : A’tan

±    Pemangku Adat IV              : Ne’Bue

±    Pemangku Adat V               : Ne’Paillin

±    Pemangku Adat VI             : Sandaboro

±    Pemangku Adat VII : Tasik Dawa                  

±    Pemangku Adat VIII           : Karaeng

±    Pemangku Adat IX              : Sondok Langi’

±    Pemangku Adat X               : Bongga Bulawan

±    Pemangku Adat XI              : Pua Bonga

±    Pemangku Adat XII : Lemba’ Langi’

±    Pemangku Adat XIII           : Matasak                     

±    Pemangku Adat XIV            : Arruan Saratu’

±    Pemangku Adat XV             : Bongga Tiboyong

±    Pemangku Adat XVI            : Ir. Thimotius Sambolayuk


Sementara itu perangkat adat yang bertugas sebagai pelaksana pemerintahan adat Indona Sesenapadang sebanyak 15 perangkat adat. Adapun ke-15 perangkat adat tersebut adalah:

1.    To Keada’ (Pemangku Adat) sebagai kepala pemerintahan adat

2.    Bali Ada’ sebagai wakil pemerintahan adat

3.    Pebatta-Battanna Ada’ sebagai pemikir dan perumus keadatan ketika terjadi suatu masalah.

4.    Pangngulu Bassinna Ada’ sebagai panglima perang atau keamanan

5.    So’bok sebagai pengatur bidang pertanian

6.    To Makakanna Ada’ To Urriwa Sarakka Bulawan sebagai bendahara

7.    Pessulewasanna Ada’ sebagai mata-mata atau intel

8.    To Ma’kada Lembang sebagai juru bicara atau Humas

9.    To Ma’kada Barata sebagai pemimpin dalam acara rambu tuka’

10. Toburake adalah imam perempuan yang bertugas sebagai pemimpin ritual didalam acara ucapan syukur masyarakat adat.

11. To Ma’gandang

12. To Mebalun Bulawan berfungsi memasang asesoris pada “balun” orang mati yang diallun.  

13. Pande Bulawan

14. Pande Bassi    

15. Tome’


Narasumber

©    Deppagoga’

©    Maccuran

©    Demas Bongga

©    Bulawan                      

©    Daud L Dettumanan

©    Yakub Gayang                    

©    Paulus Dessiama

©    Sarce Sambo Bentoen

Tim Editor

©    Bongga Tiboyong

©    Ir. Thimotius Sambolayuk   

©    Pua Bonga, ST

©    Robert Luther, S. Ip

©    Palullungan, ST

Tim Penulis                                          

©    Robert Luther, S. Ip

©    Yustianto Tallulembang, S.Sos., M.Si

©    Nobertus Maluang