Lompat ke isi

Mitigasi bencana

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 9 Desember 2020 09.24 oleh JumadilM (bicara | kontrib) (menambah teks dan referensi)

MItigasi bencana adalah segala upaya untuk mengurangi risiko bencana. Program mitigasi bencana dapat dilakukan melalui embangunan fisik maupun peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.[1]

Konsep dasar

Analisis risiko

Analisis risiko merupakan kegiatan untuk memperkirakan banyaknya risiko bahaya yang dapat ditimbulkan oleh individu, populasi, properti, atau lingkungan. Bahasan utama dalam analisis risiko meliputi ruang lingkup bahaya, identifikasi bahaya, evaluasi kerentanan risiko, identifikasi konsekuensi dan jumlah risiko yang timbul. Penaksiran risiko sangat ditentukan oleh faktor bahaya dan kerentanan. Bahaya memungkinkan terjadinya kerugian secara kebendaan dan kejiwaan, sedangkan kerentanan merupakan tingkatan dari bahaya yang timbul. Risiko dianalisis sebagai produk dari kemungkinan terjadinya bahaya dan tingkat pengulangan bahaya.[2]

Mitigasi

Mitigasi merupakan usaha yang dilakukan untuk mengurangi risiko dari sesuatu. Strategi yang digunakan untuk mengurangai risiko ada empat yaitu menghindari risiko, mengurangi risiko, pengalihan risiko, dan penyimpanan risiko. Risiko dapat dihindari dengan mengubah bahaya yang dapat timbul menjadi sesuatu yang berguna. Pengalihan risiko dilakukan dengan mengatasi kerentanan terhadap kerusakan dan gangguan. Pengalihan risiko dilakukan dengan memastikan pengubahan bahaya yang berpengaruh secara keuangan terhadap individu dan masyarakat. Sedangkan penyimpanan risiko merupakan usaha untuk menyiapkan keuangan untuk mengganti kerugian akibat adanya bahaya yang akan terjadi.[3]

Mitigasi dapat dibedakan menjadi mitigasi struktural dan mitigasi nonstruktural. Miitgasi struktural adalah upaya untuk menghindari kerugian akibat bahaya yang timbul dengan cara melakukan pembangunan secara fisik. Pembangunan berkaitan dengan teknik konstruksi infrastuktur yang memiliki daya tahan dalam memberikan perlindungan terhadap bahaya. Adapun mitigasi nonstruktural merupakan upaya untuk menghindari kerugian akibat bahaya yang yang timbul dengan cara pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan dilakukan dengan pembuatan kebijakan, meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya, serta mengembangkan pengetahuan akan bahaya. Selain itu, pemberdayaan masyarakat juga dilakukan dengan menggunakan metode partisipasi masyarakat dalam pencegahan kerusakan, gangguan dan bahaya.[3]

Jenis-jenis

Mitigasi bencana banjir

Identifikasi kerawanan banjir

Identifikasi kerawanan banjir dipilah antara identifikasi daerah rawan terkena banjir (kebanjiran) dan daerah pemasok air banjir atau potensi air banjir. Hal ini penting untuk difahami agar memudahkan cara identifikasi sumber bencana secara sistematis sehingga diperoleh teknik pengendalian yang efektif dan efisien. Untuk membantu identifikasi banjir digunakan formula banjir dalam buku Sidik Cepat Degradasi Sub DAS (Paimin, et al., 2006) seperti disajikan dalam Lampiran 1.A. Dalam formula banjir tersebut dipilah antara faktor (parameter) alami (sulit dikelola), dan faktor manajemen (mudah dikelola). Setiap parameter diberi bobot yang berbeda, sesuai dengan pertimbangan perannya dalam proses banjir, kemudian diklasifikasi dalam 5 (lima) kategori dengan diberi skor 1 – 5.[4]

Tingkat kerawanan daerah yang terkena banjir (kebanjiran) diidentifikasi dari karakter wilayahnya seperti bentuk lahan, lereng kiri-kanan sungai, meandering, pebendungan alami, dan adanya bangunan pengendali banjir. Bentuk lahan (landform) dari sistem lahan seperti dataran aluvial, lembah aluvial, kelokan sungai, dan rawa-rawa merupakan daerah yang rentan terkena banjir karena merupakan daerah rendah atau cekungan dengan lereng <2%. Data bentuk lahan dapat diperoleh pada peta sistem lahan dari RePPProT (Regional Physical Planning Program for Transmigration). Di lapangan, ciri-ciri daerah yang rentan kebanjiran adalah adanya bangunan tanggul di kiri-kanan sungai sebagai manifestasi bentuk manajemen pengurangan banjir. Keberadaan meandering atau sungai yang berkelok-kelok atau bentuk seperti tapal kuda berpotensi untuk menghambat kecepatan aliran sungai sehingga mengidentifikasikan daerah rentan kebanjiran. Tingkat meandering diukur dengan nilai sinusitas (P) yakni nisbah panjang sungai sesuai kelokan dengan panjang sungai secara horizontal yang berupa garis lurus dalam satuan peta.[4]

Pada daerah pertemuan dua sungai bisa terjadi pertemuan aliran arus air yang mengakibatkan adanya perlambatan atau penahanan aliran air sehingga elevasi air pada daerah pertemuan tersebut bertambah melebihi tanggul palung sungainya sehingga menggenangi daerah sekitar. Apabila sungai kecil bertemu dengan sungai yang lebih besar sering terjadi penahanan aliran air oleh aliran air sungai besar atau bahkan aliran air sungai besar masuk ke dalam sungai yang lebih kecil (back water) sehingga daya tampung palung sungai kecil tidak muat dan mengakibatkan banjir di sekitarnya. Proses banjir juga terjadi pada daerah muara sungai akibat aliran balik oleh adanya penahanan aliran air sungai dari air laut pasang. Demikian juga pada tempat penyempitan palung sungai, adanya aliran air yang terhambat menjadikan daerah hulu titik tersebut rawan kebanjiran.[5]

Besarnya pasokan air banjir diidentifikasi dari besarnya curah hujan (sebagai masukan sistem DAS) dan karakteristik daerah tangkapan air (catchment area). Tingkat ancaman hujan terhadap besarnya banjir tergantung dari hujan harian maksimum yang merata terjadi pada daerah tangkapan air tersebut. Sedangkan kerakteristik daerah tangkapan air dipilah antara parameter penyusun alami (relatif sulit dikelola) dan penyusun manajemen (mudah dikelola). Parameter atau faktor alami yang mempengaruhi air banjir dari daerah tangkapan air (DTA) adalah bentuk DAS, gradien sungai, kerapatan drainase, dan lereng ratarata DAS; sedangkan faktor manajemen adalah penggunaan/penutupan lahan. Kondisi hutan merupakan salah satu unsur dari manajemen penutupan lahan yang berpengaruh terhadap banjir. Banjir besar terjadi apabila air hujan cukup tinggi dan jatuh tersebar merata di seluruh daerah tangkapan air, kemudian berubah menjadi limpasan permukaan yang terkumpul secara cepat pada suatu titik keluaran (outlet). Faktor alami daerah tangkapan air merupakan faktor yang mempengaruhi kecepatan limpasan permukaan dari seluruh daerah tangkapapan air untuk bisa terkumpul secara bersama-sama di titik keluaran. Kategori parameter dan skor dalam Lampiran 1.A (skor 1 - 5) merupakan cerminan dari tingkat kecepatan limpasan permukaan tersebut bisa terkumpul (terakumulasi) secara kualitatif. Teknik identifikasi tingkat kerawanan banjir DAS secara skematis diuraikan pada Gambar 1. Kerawanan banjir dibedakan antara daerah rawan terkena banjir (kebanjiran) dan daerah pemasok air banjir (DTA), sehingga identifikasi dimulai dari daerah yang rawan kebanjiran, baru kemudian pada daerah tangkapan air pemasok air banjirnya.[6]

Teknik pengendalian banjir

Teknik pengendalian banjir harus dilakukan secara komprehensip pada daerah yang rawan terkena banjir dan daerah pemasok air banjir. Prinsip dasar pengendalian daerah kebanjiran secara teknis dilakukan dengan meningkatkan dimensi palung sungai sehingga aliran air yang lewat tidak melimpah keluar dari palung sungai. Seperti pada Lampiran 1.A, manajemen yang bisa dilakukan adalah dengan membuat tanggul sungai yang memadai serta membuat waduk atau tandon air untuk mengurangi banjir puncak. Untuk memenuhi kapasitas tampung palung sungai, upaya lain yang bisa dilakukan seperti menambah saluran pembuangan air dengan saluran sudetan (banjir kanal atau floodway). Disamping itu, pengetatan larangan penggunaan lahan di bantaran sungai untuk bangunan, apalagi di badan sungai juga diperlukan, serta larangan pembuangan sampah ke sungai atau saluran drainase. Berdasarkan KepPres No. 32/1990 dan PP No. 47/1997, sempadan sungai yang harus merupakan kawasan lindung adalah lebar minimum dari bibir kiri-kanan sungai ke arah darat yang berada : - di luar pemukiman : 100 m - anak sungai : 50 m - daerah pemukiman : 10 – 15 m - bertanggul (dari tepi luar tanggul) : 5 m [7]

Teknik pengendalian banjir di daerah kebanjiran umumnya dilakukan oleh Departemen Pekerjaan Umum beserta institusi vertikalnya. Sedangkan teknik pengendalian banjir di daerah tangkapan air bertumpu pada prinsip penurunan koefisien limpasan (C) melalui teknik konservasi tanah dan air, yakni : (1) upaya meningkatkan resapan air hujan yang masuk ke dalam tanah, (2) dan mengendalikan limpasan air permukaan pada pola aliran yang aman. Bentuk teknik yang diaplikasikan dapat berupa teknik sipil, vegetatif, kimiawi, maupun kombinasi dari ketiganya, sesuai dengan jenis penggunaan lahan dan karakteristik tapak (site) setempat. Semua upaya tersebut sangat terkait dengan kemampuan tanah/lahan dalam mengendalikan air hujan untuk bisa masuk ke dalam bumi, termasuk vegetasi/hutan yang ada di atasnya. Jenis tanaman hutan yang sama dimana yang satu tumbuh di atas lapisan tanah tebal dan satunya lagi di atas lapisan tanah tipis, akan memiliki dampak yang berbeda dalam mengendalikan limpasan air permukaan atau banjir.[7]

Teknik peringatan dini bencana banjir

Peringatan dini bencana banjir dapat dilakukan secara berurutan mulai dari hulu hingga hilir. Seperti yang terjadi di Besuki, Jawa Timur, banjir dimulai dari daerah tangkapan air < 5.000 ha dan secara berturut-turut membanjiri daerahdaerah di hilirnya. Apabila sejak dari hulu sudah ada peringatan maka daerah ilir akan lebih siap menghadapi sehingga kerugian dapat dikurangi. Pada daerah hulu peringatan dini dapat dilakukan dengan cara : a. Menempatkan pengukur hujan di hulu serta menyiapkan akses komunikasi ke wilayah di hilirnya, seperti kentongan. Apabila dalam sehari besarnya curah hujan sudah mencapai 100 mm dan masih terlihat hujan turun cukup lama dan mungkin deras (terutama malam hari) maka masyarakat sekitar daerah rawan banjir harus sudah sia mengungsi atau pindah ke tempat yang lebih tinggi. Informasi ini harus dikirimkan ke daerah rawan kebanjiran di hilirnya. b. Identifikasi jenis material yg terbawa arus banjir. Jika banyak material non tanah terangkut aliran maka cenderung akan terjadi banjir besar. Banyaknya material non tanah (ranting dan batang pohon) yang terangkut dapat menunjukkan besarnya kekuatan air yang mengangkutnya. Dengan demikian bila material yang terangkut tersebut banyak, maka volume air yang membawanya juga banyak sehingga dapat diprediksi akan adanya banjir besar. c. Melihat dan mengamati kondisi awan dan lamanya hujan. Bila terlihat awan yang sangat tebal dan hujan yang terus-menerus, terutama jika beberapa hari terjadi turun hujan berurutan.[8]

Peringatan dini di hulu tersebut secara berurutan di teruskan ke hilir secara sistematis. Di daerah yang lebih ke hilir, peringatan dini dapat lebih disempurnakan dengan tambahan sesuai dengan perkembangan teknologi setempat antara lain: a. Penggunaan sistem telemetri (pengamatan jarak jauh dan tepat sungai secara sistematis dan berurutan sesuai dengan pola sungai dari daerah hulu sampai hilir. Peralatan lapangan tersebut terhubung secara langsung via satelit dengan stasiun monitoring banjir di kantor. Dengan demikian kejadian yang ada di lapangan pada waktu yang bersamaan dapat langsung diketahui oleh stasiun pengendali (kantor) untuk kemudian diinformasikan ke bagian hilir yang rawan kebanjiran. b. Komunikasi via telepon (radio komunikasi). Petugas-petugas pengamat di lapangan dengan segera menginformasikan kejadian di lapangan via radio komunikasi maupun telepon kepada posko-posko banjir yang sudah ditunjuk. c. Akses telepon dan SMS setiap warga ke Posko Pengendalian Banjir secara baik dan lancar.[9]

Mitigasi bencana tanah longsor

Identifikasi kerawanan tanah longsor

Tanah longsor (landslide) adalah bentuk erosi (pemindahan massa ttanah) yang pengangkutan atau pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat secara tiba-tiba dalam volume yang besar (sekaligus). Tanah longsor terjadi jika dipenuhi 3 keadaan, yaitu: (1) lereng cukup curam, (2) terdapat bidang peluncur yang kedap air dibawah permukaan tanah, dan (3) terdapat cukup air dalam tanah di atas lapisan kedap (bidang luncur) sehingga tanah jenuh air. Untuk mengidentifikasi daerah yang rentan tanah longsor digunakan formula kerentanan tanah longsor (Paimin et.al., 2006), seperti pada Lampiran 2.A. Faktor alami penyusun formula tersebut adalah : (1) hujan harian kumulatif 3 hari berurutan, (2) lereng lahan, (3) geologi/batuan, (4) keberadaan sesar/patahan/gawir, (5) kedalaman tanah sampai lapisan kedap; sedangkan faktor manajemen meliputi : (1) penggunaan lahan, (2) infrastruktur, dan (3) kepadatan pemukiman. Masing-masing parameter diberi bobot serta diklasikasikan dalam 5 (lima) bersaran dengan kategori nilai dan skor seperti pada Lampiran 2.A. Jumlah hasil kali bobot dan skor dibagi 100 merupakan nilai yang menunjukkan tingkat kerentanan/kerawanan unit peta/lahan terhadap tanah longsor, dengan diklasifikasi seperti pada banjir (BAB II.A).[10]

Teknik pengendalian tanah longsor

Berdasarkan pengalaman lapangan, proses tanah longsor bisa dipilah dalam tiga tingkatan yakni: (1) massa tanah sebagian terbesar telah meluncur ke bawah (longsor), (2) massa tanah bergeser sehingga menimbulkan rekahan/retak (rayapan), dan (3) massa tanah belum bergerak tetapi memiliki potensi longsor tinggi (potensial longsor). Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada daerah longsor maupun rawan longsor adalah sebagai berikut: - Slope reshaping lereng terjal (pembentukan lereng lahan menjadi lebih landai) pada daerah yang potensial longsor. - Penguatan lereng terjal dengan bronjong kawat pada kaki lereng. - Penutupan rekahan/retakan tanah dengan segera karena pada musim penghujan rekahan bisa diisi oleh air hujan yang masuk ke dalam tanah sehingga menjenuhi tanah di atas lapisan kedap. - Bangunan rumah dari konstruksi kayu (semi permanen) lebih tahan terhadap retakan tanah dibanding dengan bangunan pasangan batu/bata pada lahan yang masih akan bergerak. Teknik pengendalian tanah longsor metode vegetatif harus dipilahkan antara bagian kaki, bagian tengah, dan bagian atas lereng. Stabilisasi tanah diutamakan pada kaki lereng, baik dengan tanaman (vegetatif) maupun bangunan. Persyaratan vegetasi untuk pengendalian tanah longsor antara lain: jenis tanaman memiliki sifat perakaran dalam (mencapai batuan), perakaran rapat dan mengikat agregat tanah, dan bobot biomassanya ringan. Pada lahan yang rawan longsor, kerapatan tanaman beda antara bagian kaki lereng (paling rapat = standar kerapatan tanaman), tengah (agak jarang = ½ standar) dan atas (jarang = ¼ standar). Kerapatan yang jarang diisi dengan tanaman rumput dan atau tanaman penutup tanah (cover crop) dengan drainase baik, seperti pola agroforestry. Pada bagian tengah dan atas lereng diupayakan perbaikan sistim drainase (internal dan eksternal) yang baik sehingga air yang masuk ke dalam tanah tidak terlalu besar, agar tingkat kejenuhan air pada tanah yang berada di atas lapisan kedap (bidang gelincir) bisa dikurangi bebannya. Upaya pengendalian tanah longsor metode teknik sipil antara lain berupa pengurugan/penutupan rekahan, reshaping lereng, bronjong kawat, perbaikan drainase, baik drainase permukaan seperti saluran pembuangan air (waterway) maupun drainase bawah tanah. Untuk mengurangi aliran air (drainase) bawah tanah dilakukan dengan cara mengalirkan air secara horizontal melalui terowongan air seperti paritan (trench) dan sulingan (pipa perforasi). Arahan teknik pengendalian tanah longsor dalam berbagai tingkatan kelongsoran dan penggunaan lahan dapat diringkas dalam matrik Tabel 2.[11]

Pendekatan pengendalian tanah longsor berbeda dengan pengendalian erosi permukaan, bahkan bertolak belakang. Pada pengendalian tanah longsor diupayakan agar air tidak terlalu banyak masuk ke dalam tanah yang bisa menjenuhi ruang antara lapisan kedap air dan lapisan tanah, sedangkan pada pengendalian erosi permukaan air hujan diupayakan masuk ke dalam tanah sebanyak mungkin sehingga energi pengikisan dan pengangkutan partikel tanah oleh limpasan permukaan dapat diminimalkan Dengan demikian tindakan mitigasi tanah longsor harus lebih hati-hati apabila pada tempat yang sama juga mengalami degradasi akibat erosi permukaan (rill and interrill erosion). Pengendalian erosi permukaan mengupayakan agar air hujan dimasukkan ke dalam tanah sebanyak mungkin, sebaliknya pengendalian tanah longsor dilakukan dengan memperkecil air hujan yang masuk ke dalam tanah sehingga tidak menjenuhi lapisan tanah yang berada di atas batuan kedap air.[12]

Peirngatan dini tanah longsor

Teknik peringatan dini dalam memitigasi tanah longsor secara umum dapat diketahui sebagai berikut (disesuaikan dengan jenis potensi tanah longsor yang ada): a. Adanya retakan-retakan tanah pada lahan (pertanian, hutan, kebun, pemukiman) dan atau jalan yang cenderung semakin besar, dengan mudah bisa dilihat secara visual. b. Adanya penggelembungan/amblesan pada jalan aspal - terlihat secara visual. c. Pemasangan penakar hujan di sekitar daerah rawan tanah longsor. Apabila curah hujan kumulatif secara berurutan selama 2 hari elebihi 200 mm sedangkan hari ke-3 masih nampak telihat akan terjadi hujan maka masyarakat harus waspada. d. Adanya rembesan air pada kaki lereng, tebing jalan, tebing halaman rumah (sebelumnya belum pernah terjadi renbesan) atau aliran rembesannya (debit) lebih besar dari sebelumnya. e. Adanya pohon yang posisinya condong kearah bawah bukit. f. Adanya perubahan muka air sumur (pada musim kemarau air sumur kering, pada musim penghujan air sumur penuh). g. Adanya perubahan penutupan lahan (dari hutan ke non-hutan) pada lahan berlereng curam dan kedalaman lapisan tanah sedang. h. Adanya pemotongan tebing untuk jalan dan atau perumahan pada lahan berlereng curam dan lapisan tanah dalam.[13]

Mitigasi bencana gempa bumi

Mitigasi bencana tsunami

Mitigasi bencana tsunami struktural

Upaya struktural dalam menangani masalah bencana tsunami adalah upaya teknis yang bertujuan untuk meredam/mengurangi energi gelombang tsunami yang menjalar ke kawasan pantai. Mengingat tsunami menjalar secara frontal dengan arah tegak lurus terhadap bidang subduksi, sedangkan secara garis besar teluk-teluk dan pelabuhan-pelabuhan yang potensial terhadap bahaya tsunami (yaitu yang mengandung langsung ke zona subduksi) dapat ditetapkan, dan trayek penjalaran tsunami ke teluk-teluk atau pelabuhan-pelabuhan tersebut dapat diperkirakan.[14] Berdasarkan pemahaman atas mekanisme terjadinya tsunami, karakteristik gelombang tsunami, inventarisasi dan identifikasi kerusakan struktur bangunan, maka upaya struktural tersebut dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu: 1. Alami, seperti penanaman green belt (huran pantai atau mangrove), di sepanjang kawasan pantai dan perlindungan terumbu karang. 2. Buatan, a) pembangunan breakwater, seawall, pemecah gelombang sejajar pantai untuk menahan tsunami, b) memperkuat desain bangunan serta infrastruktur lainnya dengan kaidah teknik bangunan tahan bencana tsunami dan tata ruang akrab bencana, dengan mengembangkan beberapa insentif, antara lain: • Retrofitting: agar kondisi bangunan permukiman memenuhi kaidah teknik bangunan tahan tsunami, • Relokasi: salah satu aspek yang menyebabkan daerah rentan bencana adalah kepadatan permukiman yang cukup tinggi sehingga tidak ada ruang publik yang dapat dipergunakan untuk evakuasi serta terbatasnya mobilitas masyarakat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah memindahkan sebagian pemukiman ke lokasi lain, dan menata kembali pemukiman yang ada yang mengacu kepada konsep kawasan pemukiman yang akrab bencana.[15]

Mitigasi bencana tsunami nonstruktural

Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun upaya lainnya. Upaya non struktural tersebut meliputi antara lain : 1. peraturan perundangan yang mengatur tentang bencana alam, 2. kebijakan tentang tata guna lahan / tata ruang/ zonasi kawasan pantai yang aman bencana, 3. kebijakan tentang standarisasi bangunan (pemukiman maupun bangunan lainnya) serta infrastruktur sarana dan prasarana, 4. mikrozonasi daerah rawan bencana dalam skala lokal, 5. pembuatan Peta Potensi Bencana Tsunami, Peta Tingkat.[16]

Kerentanan dan Peta Tingkat Ketahanan, seingga dapat didesain komplek pemukiman “akrab bencana” yang memperhatikan beberapa aspek : a. bangunan permukiman tahan terhadap bencana tsunami, b. mobilitas dan akses masyarakat pada saat terjadi bencana, c. ruang fasilitas umum untuk keperluan evakuasi, dan d. aspek sosial ekonomi masyarakat yang sebagian besar kegiatan perekonomiannya tergantung pada hasil dan budidaya kawasan pantai. 6. kebijakan tentang eksplorasi dan kegiatan perekonomian masyarakat kawasan pantai, 7. pelatihan dan simulasi mitigasi bencana tsunami, 8. penyuluhan dan sosialisasi upaya mitigasi bencana tsunami, dan 9. pengembangan sistem peringatan dini adanya bahaya tsunami.[17]

Mitigasi bencana erosi pantai

Upaya mitigasi bencana erosi memerlukan biaya yang cukup besar, baik dalam proses pembangunan maupun dalam operasional serta pemeliharaannya. Untuk itu pelibatan masyarakat serta dunia usaha yang mengelola kawasan pantai untuk ikut serta dalam upaya mitigasi bencana erosi, khususnya dalam operasional dan pemeliharaan, sangat diperlukan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa untuk menjaga kontinuitas aktivitas kawasan pantai diperlukan suatu proses yang seimbang disepanjang garis pantai. Di lain pihak aktivitas tersebut dapat juga mengakibatkan ketidakseimbangan pada proses pantai.[18]

Mitigasi bencana erosi pantai struktural

Upaya struktural dalam menangani masalah bencana erosi adalah upaya teknis yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan proses transpor sedimen di sepanjang garis pantai melalui upaya antara mengurangi/menahan energi gelombang yang mencapai garis pantai, memperkuat struktur geologi garis pantai, maupun menambah suplai sedimen. Upaya mitigasi struktural tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu : 1. Secara alami, seperti penanaman green belt (hutan pantai atau mangrove), penguatan gumuk pasir dengan vegetasi dan lain-lain. 2. Secara buatan, seperti pembangunan dinding penahan gelombang, pembangunan groin dan lain-lain. Upaya struktural mitigasi dengan cara buatan tersebut perlu direncanakan secara cermat karena dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pola dan karakteristik gelombang yang dalam jangka panjang mungkin dapat mengakibatkan terjadinya erosi di tempat lain.

Mitigasi bencana erosi pantai nonstruktural

Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun upaya lainnya. Upaya mitigasi bencana erosi non struktural adalah sebagai berikut : 1. peraturan perundangan yang mengatur tentang bencana alam, 2. pembuatan standarisasi dan metoda perlindungan pantai, 3. penyusunan sempadan garis pantai, . pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Erosi Pantai.[19]

Sistem peringatan dini bencana erosi merupakan suatu informasi yang menggambarkan terjadinya erosi pantai yang disebabkan oleh interaksi antara gelombang dengan daratan di sepanjang garis pantai. Beberapa informasi penting dalam sistem peringatan dini tersebut adalah lokasi terjadinya erosi serta tingkat erosinya, faktor dominan penyebab erosi, kondisi topografi dan geologi, serta aktivitas manusia yang mempercepat terjadinya erosi pantai.[20]

Mitigasi bencana badai

Mitigasi bencana paras muka air laut

Mitigasi bencana kekeringan

Referensi

  1. ^ Hermon, Dedi (2012). Mitigasi Bencana Hidrometeorologi: Banjir, Longsor, Ekologi, Degradasi Wlan, Puting Beliung, Kekeringan (PDF). Padang: UNP Press. hlm. 23. ISBN 978-602-8819-52-7. 
  2. ^ Kumalawati dan Angriani 2018, hlm. 6.
  3. ^ a b Kumalawati dan Angriani 2018, hlm. 7.
  4. ^ a b Paimin,, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 5.
  5. ^ Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 5-6.
  6. ^ Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 6.
  7. ^ a b Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 19.
  8. ^ Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 23.
  9. ^ Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 23-24.
  10. ^ Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 14.
  11. ^ Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 20.
  12. ^ Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 21.
  13. ^ Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 24.
  14. ^ Direktorat Jenderal Pesisir 2005, hlm. 27-28.
  15. ^ Direktorat Jenderal Pesisir 2005, hlm. 28.
  16. ^ Direktorat Jenderal Pesisir 2005, hlm. 29.
  17. ^ Direktorat Jenderal Pesisir 2005, hlm. 29-30.
  18. ^ Direktorat Jenderal Pesisir 2005, hlm. 19.
  19. ^ Direktorat Jenderal Pesisir 2005, hlm. 20.
  20. ^ Direktorat Jenderal Pesisir 2005, hlm. 20-21.

Daftar pustaka

  1. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (2005). Pedoman Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (edisi ke-2). Jakarta: Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan. ISBN 979-3556-18-8. 
  2. Kumalawati, R., dan Angraini, P. (2018). Mitigasi Bencana: Studi Kasus Banjir di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (PDF). Yogyakarta: Penerbit Ombak. 
  3. Paimin, Sukresno, dan Pramono, I. B. (2009). Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor. Balikpapan: Tropenbos International Indonesia Programme. ISBN 978-979-3145-46-4.