Lompat ke isi

Takzir

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 11 Desember 2020 12.44 oleh Bangjoker999 (bicara | kontrib) (Tambah sasa)

Takzir adalah hukuman yang dijatuhkan atas dasar (kebijakan bukan kebijaksanaan karena bukan Pancasila) kebijakan hakim itu sendiri karena tidak terdapat dalam Alquran dan hadis. Sedangkan secara istilah, takzir ialah hukuman yang diberikan kepada pelaku dosa-dosa yang tidak diatur dalam hudud atau aturan. Takzir diberlakukan terhadap pelaku dosa sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan sekalipun tidak dijelaskan bentuk hukumannya baik dalam Al-Qur'an dan hadis, sehingga hal tersebut ditentukan oleh penguasa yang berwenang untuk memberikan hukumannya bukan Zholim.

Pandangan Imam Mazhab

Dalam suatu riwayat bahwa Umar bin Khattab r.a. menakzirkan dan memberi pelajaran terhadap seseorang dengan mencukur rambut, mengasingkan dan memukul pelakunya. Pernah pula beliau membakar kedai-kedai penjual khamar dan membakar suatu desa yang menjadi tenpat penjualan khamar. Takzir dalam perkara yang disyariatkan adalah takzir yang wajib menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad rahimahumullah,[1] sedangkan menurut Imam Syafii hal tersebut tidak wajib karena akan menimbulkan tindakan yang tidak berkeadilan.

Bentuk-Bentuk Takzir Penguasa

Takzir pada hakikatnya adalah sebuah proses pendidikan. Kendati masuk dalam lingkup pidana Islam, tidaklah dimaknai sebagai proses pembalasan apa lagi penyiksaan. Lebih tepat takzir dipahami sebagai proses penyadaran. Dalam melakukan proses penyadaran tersebut para ulama telah merumuskan setidaknya dua bentuk hukuman yang dapat diterapkan. Pertama, melalui perkataan seperti mencegah, mencela, dan menasihati. Kedua, takzir juga dapat dilakukan dengan perbuatan, seperti memukul, mencambuk, menahan di dalam penjara, mengikat, dan bisa juga dibunuh kendatipun masalah ini masih diperdebatkan.[2]

Contoh

Mengingat takzir diberlakukan untuk pelanggaran yang tidak diatur dalam Al-Qur'an dan Hadis, seperti halnya koruptor. Maka, untuk sanksi yang dijatuhkan menyesuaikan dengan kehendak penguasa. Hukuman pencurian tidak dapat dijadikan rujukan untuk menghukum koruptor.[3] Demikian pula kejahatan-kejahatan lain sehingga penguasa dituntut untuk objektif tanpa membandingkan dengan kejahatan lain sebagai rujukan penjatuhan hukuman.

Rujukan

  1. ^ Sa’id Abdul ‘Adhim, Kafarah Penghapus Dosa, Terj. Abu Najiyah Muhaimin bin Subaidi, Malang: Cahaya Tauhid Press, hlm. 76
  2. ^ Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari`at dalam Wacana dan Agenda, Jakarta: Gema Insani Pers, 2003, hlm 118-119
  3. ^ ‘Ashmāwī, Muḥammad Sa‘īd (2004). Nalar kritis syari'ah. PT LKiS Pelangi Aksara. ISBN 9789793381336.