Balai Soedjatmoko
artikel ini tidak memiliki pranala ke artikel lain. |
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Oktober 2020. |
Balai Soedjatmoko adalah tempat pertunjukan seni dan budaya yang terletak di Jalan Slamet Riyadi, Sriwedari, Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah. Balai Soedjatmoko berdiri sejak tahun 2000. Sebelum menjadi tempat seni dan budaya, awalnya tempat tersebut merupakan rumah dinas dari dokter pribadi Paku Buwono X bernama Dr. Saleh Mangoendiningrat. Lalu setelah itu, tempat tersebut dialihkan fungsinya menjadi kantor Kompas dan akhirnya pihak Bentara Budaya mengelolanya sejak Gramedia berdiri pada tahun 2003. Sampai saat ini pihak Bentara Budaya mempelopori kegiatan kesenian dengan memanfaatkan ruang-ruang yang bukan milik pemerintah di Surakarta.
Deskripsi
Balai Soedjatmoko yang pada awalnya merupakan rumah dinas dari Dr. Saleh Mangundiningrat bersama keluarganya ini didirikan pada tahun 2000. Balai ini berlokasi dekat dengan toko buku Gramedia Solo di Jalan Brigjend Slamet Riyadi, kelurahan Sriwedari, kecamatan Laweyan yang berjarak 13 km dari Bandara Adi Sumarmo.[1] Selain itu, lokasi tempat berdirinya balai ini juga berdekatan dengan Taman Sriwedari, Museum Radya Pustaka, Museum Batik Danar Hadi, dan Rumah Dinas Walikota Surakarta. Hingga saat ini bangunan Balai Soedjatmoko atau bekas rumah Dr. Saleh dikelilingi oleh bangunan toko buku Gramedia yang terletak tepat di sebelah kanan bangunan dan sudah berdiri sejak tahun 2003. Terdapat juga kantor radio kecil yang berjarak hanya beberapa meter dari bangunan balai. Bentuk atap dan posisi bangunan dari balai ini tergolong unik karena terlihat seperti beberapa rumah yang menyatu atau berdempetan dan menghadap ke beberapa arah yang berbeda. Beberapa bagian dari bangunan ini juga masih menggunakan pintu dan jendela tempo dulu.
Bangunan balai tersebut dahulunya memiliki beberapa kamar yang terletak di bagian sampingnya dan sempat digunakan sebagai tempat tinggal beberapa kerabat dari Dr. Saleh. Selain itu, terdapat sebuah ruang yang terletak di sebelah barat dekat pintu masuk ke toko Gramedia saat ini, pada awalnya merupakan ruang bersalin. Sedangkan ruang bagian depan balai sebelah timur dulunya merupakan ruangan praktik dan kantor Dr. Saleh. Setelah beberapa kali terjadi perpindahan kepemilikan dan perubahan fungsi, balai ini sekarang digunakan untuk menampilkan berbagai acara atau kegiatan seni budaya[1] yang dapat menampung hingga 200 pengunjung. Balai Soedjatmoko kini memiliki berbagai fasilitas penunjang kegiatan kreatif seperti panggung pertunjukan, alat musik, dan ruang diskusi untuk melangsungkan berbagai acara atau pertunjukan yang didukung oleh banyak kelompok dan komunitas.[2]
Sejarah
Awalnya, sebelum diubah menjadi balai Soedjatmoko, tempat ini merupakan rumah dinas dokter pribadi Sultan Paku Buwono X dan Paku Buwono XI, dan beliau bernama Dr. Saleh Mangundininigrat. Dr. Saleh bersama istri dan keempat anaknya antara lain Poppy Saleh, Soedjatmoko, Miriam Saleh, dan Nugroho Wisnumurti tinggal di rumah tersebut. Sampai akhirnya, semua putra putri Dr. Saleh pindah dan tidak ada yang tinggal di Solo.
Poppy Saleh yang mempunyai suami yaitu Sutan Sjahrir, seorang Perdana Menteri Indonesia, harus rela ikut dengan suaminya. Begitu juga dengan Miriam Saleh yang mengikuti suaminya yang merupakan Direktur Freeport Indonesia, Ali Budiarjo. Ali juga merupakan mantan Sekretaris Kementerian Penerangan Indonesia.
Pada tahun 1968 adalah puncak karier Soedjatmoko. Beliau menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Ameria Serikat pada tahun 1968-1971. Sementara itu, Nugroho Wisnumurti menjadi diplomat dan Dubes RI untuk PBB pada tahun 1992-1997, mengikuti jejak kakaknya, Soedjatmoko. Menurut Asa M. Sawega, salah seorang kurator di Balai Soedjatmoko, mengatakan bahwa rumah Dr. Saleh sempat beberapa kali berpindah kepemilikan sebelum dibeli Kompas Gramedia. Beliau juga berkata bahwa rumah tersebut juga pernah digunakan menjadi pabrik kain batik dan rumah makan.
Pemilihan Nama "Soedjatmoko"
Pemilihan nama Balai tersebut merupakan penghargaan kepada Soedjatmoko atas segala prestasi dan pencapaiannya. Presiden Direktur Kompas Gramedia, Jakob Oetama yang mengilhami nama balai tersebut menjadi Balai Soedjatmoko. Dengan begitu, diharapkan generasi masa depan dapat mengikuti jejak Soedjatmoko.
Menurut Asa, Jakob Oetama memerintahkan Kompas Gramedia untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut mengenai sosok Soedjatmoko yang saat itu belum banyak diketahui khalayak publik. Soedjatmoko merupakan salah seorang cendekiawan terkemuka di Indonesia bahkan di dunia. Beliau pernah diberi tugas untuk menerbitkan majalah Het Inzicht (Pemahaman ke Dalam) dengan kakak iparnya, Sutan Sjahrir.
Selama tujuh tahun, dimulai dari tahun 1947, Soedjatmoko mengikuti korps diplomat Indonesia dalam proses perundingan kedaulatan terhadap Belanda di Perserikatan Bangsa Bangsa. Pemerintah pusat mempercayai Soedjatmoko untuk menjadi Duta Besar RI di Washington DC dalam kurun tiga tahun, dimulai pada tahun 1968 pada masa orde baru. Lalu, beliau melanjutkan jabatannya menjadi Penasihat Ahli Bidang Sosial Budaya Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam kurun waktu 9 tahun, tepatnya pada tahun 1971-1980.
Soedjatmoko meraih penghargaan di puncak karirnya dari masyarakat internasional yang disebut dengan penghargaan Magsaysay pada tahun 1978. Beliau juga diberi kepercayaan untuk menjadi rektor di Universitas PBB di Tokyo, Jepang. Oleh karena itu, keluarga dan kerabat sangat menghargai nama Soedjatmoko untuk balai seni dan budaya tersebut.
Tokoh Penting
Soedjatmoko Mangoediningrat lahir di kota Sawahlunto, Sumatra Barat pada 10 Januari 1922. Soedjatmoko merupakan seorang diplomat, politikus, dan intelektual. Beliau merupakan putra kedua dari empat bersaudara, dan ayahnya yaitu Dr Saleh Mangoendiningrat merupakan dokter pribadi dari Paku Buwono X dan Paku Buwono XI. Saat berusia dua tahun, Soedjatmoko bersama keluarganya pindah ke Belanda karena ayahnya mendapatkan beasiswa untuk belajar di sana selama lima tahun. Setelah kembali ke Indonesia, Soedjatmoko melanjutkan sekolahnya di suatu sekolah dasar di Manado, Sulawesi Utara.
Soedjatmoko lalu bersekolah di HBS Surabaya sampai lulus pada tahun 1940. Beliau kemudian melanjutkan pendidikannya di sekolah kedokteran di Batavia (sekarang Jakarta). Namun pada tahun 1943, pada masa pendudukan Jepang, beliau dikeluarkan dari sekolah kedokteran karena kekerabatannya dengan Sutan Sjahrir. Setelah dikeluarkan, Soedjatmoko kemudian pindah ke Surakarta. Di sana, beliau membaca tentang sejarah Barat dan ilmu politik yang memicu ketertarikannya dengan sosialisme. Setelah kemerdekaan Indonesia, Soedjatmoko diminta menjadi Wakil Kepala Bagian Pers Asing di Kementerian Penerangan, pada saat itu Sutan Sjahrir (kakak iparnya) yang menjadi Perdana Menteri.
Pada tahun 1947, Sutan Sjahrir mengirim Soedjatmoko ke New York sebagai anggota delegasi pengamat Indonesia di PBB. Ketika kembali ke Indonesia, Soedjatmoko kemudian bergabung dengan PSI pada tahun 1955, dan terpilih sebagai anggota Konstituante pada tahun yang sama. Soedjatmoko bertugas dalam Konstituante hingga badan itu dibubarkan pada tahun 1959. Soedjatmoko dan Presiden Soekarno yang awalnya mempunyai hubungan baik, tidak lagi sejalan karena cara memerintah Soekarno yang semakin otoriter. Mengetahui situasi dirinya yang mungkin terancam, beliau kembali ke Amerika Serikat.
Setelah Soeharto diangkat menjadi Presiden Indonesia menggantikan Soekarno pada tahun 1965, Soedjatmoko kembali ke Indonesia untuk mengabdi lagi kepada negara. Pada tahun 1968, beliau menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat hingga tahun 1971. Soedjatmoko kembali ke Indonesia pada tahun 1971. Setibanya di Indonesia, ia menjadi Penasihat Khusus Urusan Budaya dan Sosial untuk Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Pada tahun 1974, hubungannya dengan pemerintahan Soeharto memburuk dikarenakan tuduhan merencanakan peristiwa Malari. Pada masa pemerintahan Orde Baru, Soedjatmoko termasuk salah seorang yang sangat kritis terhadap kebijakan ekonomi pemerintah waktu itu.
Pada tahun 1980, Soedjatmoko pindah ke Tokyo, Jepang. Pada bulan September, beliau mulai berjabat sebagai rektor Universitas Perserikatan Bangsa Bangsa, menggantikan James M. Hester. Di universitas tersebut, Soedjatmoko menjadi rektor hingga tahun 1987. Soedjatmoko meninggal karena serangan jantung pada tanggal 21 Desember 1989 saat tengah menyampaikan kuliahnya di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Artikel ini tidak memiliki kategori atau memiliki terlalu sedikit kategori. Bantulah dengan menambahi kategori yang sesuai. Lihat artikel yang sejenis untuk menentukan apa kategori yang sesuai. Tolong bantu Wikipedia untuk menambahkan kategori. Tag ini diberikan pada Oktober 2020. |
- ^ a b bentarabudaya. "Balai Soedjatmoko Solo". Bentara Budaya (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-09-16.
- ^ "Balai Soedjatmoko". Dinas Pariwisata Solo. Diakses tanggal 2020-09-16.