Lompat ke isi

Artidjo Alkostar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 9 Maret 2021 09.12 oleh David Wadie Fisher-Freberg (bicara | kontrib) (hapus suntingan hiperbolis)

Artidjo Alkostar
Lahir(1948-05-22)22 Mei 1948
Indonesia Kabupaten Situbondo, Jawa Timur
Meninggal28 Februari 2021(2021-02-28) (umur 72)
Indonesia Jakarta
KebangsaanIndonesia Indonesia
AlmamaterUniversitas Islam Indonesia
Universitas Northwestern
PekerjaanAdvokat, Hakim Agung, Dosen
Suami/istriSri Widyaningsih

Artidjo Alkostar (22 Mei 1948 – 28 Februari 2021) adalah seorang ahli hukum Indonesia. Ia merupakan mantan Hakim Agung sekaligus Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI yang mendapat banyak sorotan atas keputusan dan pernyataan perbedaan pendapatnya dalam banyak kasus besar atau dikenal dalam dunia hukum sebagai dissenting opinion. Sebelum wafat, ia menjabat sebagai anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2019-2023.[1]

Namanya terangkat ketika ia memperberat vonis Angelina Sondakh dari 4 tahun penjara menjadi 12 tahun dalam kasus korupsi proyek wisma atlet di Palembang.[2]

Latar Belakang

Kehidupan awal dan pendidikan

Artidjo Alkostar lahir di Situbondo, Jawa Timur. Ayah dan ibunya berasal dari Sumenep, Madura. Ia menamatkan pendidikan SMA di Asem Bagus, Situbondo. Artidjo meraih gelar sarjana hukum (S.H.) di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia pada tahun 1976 dan magister (LL.M.) di Universitas Northwestern, Chicago, Amerika Serikat pada tahun 2002.[3][4] Di Northwestern, Artidjo menulis disertasi mengenai pengadilan hak asasi manusia dalam sistem peradilan di Indonesia.[5] Ia juga pernah menempuh pelatihan pengacara hak asasi manusia di Universitas Columbia selama enam bulan.[3][6]

Karier

Artidjo sebagai Anggota Dewan Pengawas KPK

Karier Artidjo Alkostar di bidang hukum dimulai pada tahun 1976. Awalnya, ia menjadi tenaga pengajar di FH UII Yogyakarta. Pada tahun 1981, ia menjadi bagian dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, masing-masing menjadi wakil direktur (1981-1983) dan direktur (1983-1989).[3] Pada saat yang sama, ia bekerja selama dua tahun di Human Right Watch divisi Asia di New York. Sepulang dari Amerika, ia mendirikan kantor hukum Artidjo Alkostar and Associates hingga tahun 2000. Selanjutnya, pada tahun 2000 ia terpilih sebagai Hakim Agung Republik Indonesia.

Ketika masih sebagai pengacara, Artidjo tercatat sering menangani perkara berisiko.[7] Ia pernah menjadi penasihat hukum kasus Komando Jihad, kasus penembakan gali atau bromocorah di Yogyakarta, kasus Santa Cruz (Timor Timur), kasus pembunuhan wartawan Bernas Muhammad Syafruddin (Udin), dan ketua tim pembela gugatan Kecurangan Pemilu 1997 di Pamekasan, Madura.[7]

Kehidupan Pribadi

Artidjo menikah dengan Sri Widyaningsih pada 1998 atau 1999.[8]

Pada awalnya, Artidjo tidak pernah berniat untuk berkarir di dunia hukum dan justru bermaksud mengambil jurusan eksakta dan masuk Fakultas Pertanian. Sayangnya, pendaftaran untuk fakultas pertanian sudah ditutup sehingga ia mendaftar di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia untuk mengisi waktu sampai pembukaan pendaftaran di tahun depan. Setelah setahun berlalu, ternyata Artidjo merasa betah di Fakultas Hukum dan hilang minat untuk mendaftar di Fakultas Pertanian.[8]

Menurut Artidjo, kualitas manusia terletak pada pola pikir dan substasi perbuatan yang dilakukan seseorang untuk masyarakat, bangsa dan negara.[9] Ia juga pernah mengatakan bahwa seorang hakim harus lebih pintar dari pembuat Undang-Undang dan koruptor.[7]

Artidjo juga pernah mengeluarkan beberapa buku, diantaranya berjudul "Artidjo Alkostar Titian Keikhlasan, Berkhidmat untuk Keadilan," "Dimensi Filosofis Ilmu Hukum dan hukum Pidana (70 Tahun Artidjo Alkostar Mengabdi Kepada Bangsa dan Negara)," dan "Alkostar Sebuah Biografi yang ditulis oleh Puguh Windrawan."[10]

Mahkamah Agung

Artidjo Alkostar mengawali kariernya sebagai hakim agung pada tahun 2000, dan pensiun pada 22 Mei 2018. Sepanjang 18 tahun mengabdi, ia telah menyelesaikan sebanyak 19.708 berkas perkara di Mahkamah Agung.[11] Berbagai kasus besar telah ia tangani, seperti kasus proyek pusat olahraga Hambalang, suap impor daging, dan suap ketua Mahkamah Konstitusi.[12]

Kiprah Artidjo sebagai hakim agung terkemuka sebab ia berani berbeda pendapat dengan majelis hakim lain pada perkara mantan Presiden Soeharto dan skandal Bank Bali dengan terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra. Pada kasus Djoko Tjandra, ia menyimpulkan terdakwa bersalah dan dihukum 20 tahun meski dua hakim agung lain membebaskannya. Putusan kasus ini memperkenalkan dissenting opinion dari Artidjo yang membuat namanya kian mencuat. Menurutnya, melalui dissenting opinion tersebut ia berharap orang tidak menganggapnya sebagai pecundang, karena adanya dukungan kepada pendapatnya.[7] Sembari berkelakar, ia menambahkan adanya kemajuan dari dirinya, sebab ketika jadi pengacara ia kerap kalah dalam menangani kasus karena tidak mau memberi suap kepada hakim dan jaksa.[7]

Sebagai Hakim Agung, ia kerap memberi putusan kasasi dengan tambahan masa hukuman dalam kasus korupsi. Oleh karena itu, koruptor rajin mencabut perkaranya ketika mengetahui Artidjo yang akan menangani perkaranya.[13]

Kematian

Artidjo meninggal dunia pada Minggu, 28 Februari 2021 di Jakarta.[14] Komplikasi penyakit paru-paru, jantung dan ginjal diyakini menjadi penyebab beliau wafat. Komplikasi ini dikatakan telah lama dideritanya. Penyakit COVID-19 bukan termasuk salah satu penyebab kematian beliau.[15]

Referensi

  1. ^ Ihsanuddin (27 Januari 2020). "Dilantik jadi Dewas KPK, Syamsuddin dan Artidjo Datangi Istana". Kompas.com. Diakses tanggal 28 Februari 2021. 
  2. ^ Rita, Susana (28 November 2013). "Artidjo Alkostar: Tak Ada Satu Profesi Pun Berada di Atas Hukum". News. KOMPAS.com. Diakses tanggal 18 Desember 2013. 
  3. ^ a b c Prastiwi, Devira (2019-12-20). "Profil Artidjo Alkostar, Mantan Hakim Agung yang Jadi Dewan Pengawas KPK". Liputan6.com. Diakses tanggal 2020-05-31. 
  4. ^ Christina Malau, Maria (2019-12-20). "Profil Artidjo Alkostar, Anggota Dewas KPK yang Ditakuti Koruptor saat Menjabat Hakim Agung". iNews.ID. Diakses tanggal 2020-05-31. 
  5. ^ Alkostar, Artidjo (2004). Pengadilan HAM, Indonesia, dan peradaban / Artidjo Alkostar. Yogyakarta: Pusham UII. ISBN 9793457031. 
  6. ^ Saputra, Andi (29 Mei 2018). "Sisi Lain Artidjo: Tak Pernah Cuti dan Patah Hati ke Gadis New York". detik.com. Diakses tanggal 28 Februari 2021. 
  7. ^ a b c d e Media, Kompas Cyber (2021-02-28). "Tutup Usia, Ini Profil Artidjo Alkostar, Mantan Hakim Agung yang Ditakuti Koruptor Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2021-03-08. 
  8. ^ a b "Artidjo Alkostar: Hakim Agung yang Melawan Arus". hukumonline.com (dalam bahasa Indonesia). 2003-09-11. Diakses tanggal 2021-03-08. 
  9. ^ Saputra, Andi. "Hakim Agung: Pak Artidjo Tetap Hidup Bersahaja Seperti Orang Desa". detiknews. Diakses tanggal 2021-03-08. 
  10. ^ Media, Kompas Cyber (2021-02-28). "Tutup Usia, Ini Profil Artidjo Alkostar, Mantan Hakim Agung yang Ditakuti Koruptor Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2021-03-08. 
  11. ^ Sukmana, Yoga (31 Mei 2018). "Artidjo Alkostar, 18 Tahun, 19.000 Perkara, dan Urus Kambing..." KOMPAS.com. Diakses tanggal 2020-05-31. 
  12. ^ Mardani (10 Juni 2015). "Putusan-putusan Hakim Agung Artidjo bikin koruptor 'sekarat'". merdeka.com. Diakses tanggal 2020-05-31. 
  13. ^ Media, Kompas Cyber (2018-05-31). "Artidjo Alkostar, 18 Tahun, 19.000 Perkara, dan Urus Kambing..." KOMPAS.com. Diakses tanggal 2021-03-08. 
  14. ^ "Anggota Dewas KPK Artidjo Alkostar Meninggal Dunia". detik.com. 28 Februari 2021. Diakses tanggal 28 Februari 2021. 
  15. ^ Teresia, Ananda (28 Februari 2021). "Mahfud MD: Artidjo Meninggal Karena Komplikasi Jantung, Paru-paru, Ginjal". kumparan.com. Diakses tanggal 2021-03-02. 

Pranala luar