Lompat ke isi

Dampak pandemi COVID-19 terhadap seni dan warisan budaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pandemi COVID-19 berdampak signifikan pada industri seni dan warisan budaya. Keberlangsungan lembaga seni/budaya dan nasib pekerjanya saat ini terpengaruh oleh krisis kesehatan yang terjadi di seluruh dunia dan kondisi yang tidak menentu. Sembari tetap menjalankan misinya menyediakan akses publik ke warisan budaya, mereka juga harus merespon perubahan yang terjadi secara tiba-tiba, mulai dari pergeseran model bisnis hingga bagaimana menjamin keamanan koleksi dan keselamatan pekerja.[1]

Sebagian besar institusi budaya di seluruh dunia menutup situs fisik mereka sejak Maret 2020 sampai waktu yang belum ditentukan. Museum dan pusat seni/budaya lainnya dikategorikan sebagai layanan non esensial sehingga harus berhenti seluruh kegiatan operasionalnya.[2] Pameran, pertunjukan, dan seluruh kegiatan kunjungan, juga harus ditunda atau dibatalkan. Untuk tetap dapat menjangkau masyarakat, banyak dari mereka yang akhirnya memaksimalkan penggunaan platform daring. Inisiatif ini juga didorong oleh fenomena kenaikan jumlah kunjungan virtual selama masa pandemi.[2] Hak akses terhadap peninggalan budaya sendiri merupakan salah satu hak asasi manusia sebagaimana yang tercantum dalam Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia PBB 1948.[3]

Penutupan dan pembatalan kegiatan

Penutupan institusi seni dan budaya yang terdiri atas galeri, perpustakaan, lembaga arsip, dan museum (sering disingkat menjadi GLAM) terjadi sejak awal 2020. Diawali oleh Tiongkok, lalu meluas ke negara-negara Asia Timur di sekitarnya, dan akhirnya ke negara-negara lain di seluruh dunia. Selain sektor GLAM, bioskop, pertunjukan orkestra, konser, kebun binatang, festival musik dan seni menjadi sejumlah industri yang menyusul mengalami penutupan dan pembatalan kegiatan. Bersama dengan industri kreatif, bidang seni dan budaya menjadi sektor yang cukup terpukul oleh pandemi. Tindakan pencegahan, seperti pembatasan sosial, larangan perjalanan, dan larangan berkumpul memaksa institusi seni/budaya untuk menutup sementara seluruh kegiatan kunjungan, pameran, dan perkantoran.[4]

Laporan Deloitte Access Economics menyebutkan bahwa kerugian akibat pandemi pada industri seni dan rekreasi di Queensland, Australia, mencapai angka 6 miliar dolar Australia, menjadikannya industri paling terdampak kedua setelah sektor penginapan dan makanan minuman.[4] Di Inggris, penutupan institusi budaya berdampak pada penutupan area-area rekreasi di sekitar gedung, termasuk taman dan kebun. Seluruh kegiatan perawatan dan pembangunan gedung juga harus terhenti, sehingga mengakibatkan kerugian bagi pengembang dan kontraktor.[5] Selain itu, badan donor juga melakukan pemotongan anggaran untuk mendukung lembaga budaya yang mengalami kesulitan finansial. Hal ini berimbas pada penutupan skema hibah terbuka yang akhirnya menghambat upaya perawatan dan perbaikan koleksi dan situs budaya.[5]

Perubahan

Selama pandemi, lembaga GLAM banyak yang mencoba memaksimalkan penggunaan media daring untuk dapat menjangkau masyarakat. Sebagai efek pandemi, masyarakat di Italia (salah satu negara di Eropa yang paling terdampak pandemi)[6] mencoba menemukan kenyamanan dan ketenangan dari benda seni. Hal ini mendorong peningkatan jumlah kunjungan daring di museum-museum di Italia.[2] Namun demikian, transformasi dari fisik ke digital juga menghadapi sejumlah tantangan. Mulai dari isu-isu teknis, seperti ketersediaan laptop dan perangkat pendukung lainnya untuk bekerja dari rumah, hingga masalah ketrampilan digital, misalnya bagaimana membangun komunikasi efektif dengan audiensi secara daring.[6] Institusi seni/budaya yang di Eropa yang relatif besar dan mapan, serta telah memiliki platform kaya, seperti British Library dan Rijksmuseum, berperan menjadi contoh bagi lembaga yang lain, antara lain inisiasi kunjungan virtual dan pengembangan koleksi digital.[7]

Daftar referensi

  1. ^ Feldman, Kaywin (2020-09-09). "Leading the NATIONAL GALLERY of ART during COVID-19". Museum Management and Curatorship. 0 (0): 1–6. doi:10.1080/09647775.2020.1790152. ISSN 0964-7775. 
  2. ^ a b c Agostino, Deborah; Arnaboldi, Michela; Lampis, Antonio (2020-07-03). "Italian state museums during the COVID-19 crisis: from onsite closure to online openness". Museum Management and Curatorship. 35 (4): 362–372. doi:10.1080/09647775.2020.1790029. ISSN 0964-7775. 
  3. ^ Silverman, Helaine; Ruggles, D. Fairchild (2007). Silverman, Helaine; Ruggles, D. Fairchild, ed. Cultural Heritage and Human Rights (dalam bahasa Inggris). New York, NY: Springer. hlm. 3–29. doi:10.1007/978-0-387-71313-7_1. ISBN 978-0-387-71313-7. 
  4. ^ a b Flew, Terry; Kirkwood, Katherine (2021-02-01). "The impact of COVID-19 on cultural tourism: art, culture and communication in four regional sites of Queensland, Australia". Media International Australia (dalam bahasa Inggris). 178 (1): 16–20. doi:10.1177/1329878X20952529. ISSN 1329-878X. 
  5. ^ a b Guest, Kate (2021-01-02). "Heritage and the Pandemic: An Early Response to the Restrictions of COVID-19 by the Heritage Sector in England". The Historic Environment: Policy & Practice. 12 (1): 4–18. doi:10.1080/17567505.2020.1864113. ISSN 1756-7505. 
  6. ^ a b Potts, Timothy (2020-05-03). "The J. Paul Getty Museum during the coronavirus crisis". Museum Management and Curatorship. 35 (3): 217–220. doi:10.1080/09647775.2020.1762360. ISSN 0964-7775. 
  7. ^ Marques, Lénia; Giolo, Guilherme (2020-10-01). "Cultural leisure in the time of COVID-19: impressions from the Netherlands". World Leisure Journal. 62 (4): 344–348. doi:10.1080/16078055.2020.1825256. ISSN 1607-8055.