Lompat ke isi

Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa dr. Saryanto
Lambang TNI AU
Dibentuk1965
NegaraIndonesia
CabangTNI Angkatan Udara
Situs webwww.lakesprasaryanto.org

Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (atau Lakespra dr. Saryanto) adalah lembaga milik TNI Angkatan Udara (TNI-AU), bagian dari Dinas Kesehatan TNI Angkatan Udara. Meski demikian, LAKESPRA tidak hanya mengurusi masalah-masalah Kesehatan Penerbang TNI-AU saja. Melainkan menangani kesehatan penerbangan sipil disamping menjadi rujukan ilmiah seluruh masyarakat penerbangan termasuk kajian masalah kesehatan di bidang Antariksa.[1]

Nama lengkap lembaga ini adalah Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa Dr. Saryanto, di mana Dr. Saryanto adalah tokoh pendiri lembaga ini pada tahun 1965. Lembaga ini terletak di jalan MT. Haryono, Kav.41, Jakarta Selatan. Berupa bangunan bergaya lama berbentuk segi delapan. Di depan bangunan itu terdapat sebuah pesawat DC-3 Dakota.

Fasilitas yang dimiliki serta proses pengujian bagi penerbang

Dilihat dari udara, Lakespra Dr. Saryanto ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian depan adalah bangunan yang dipakai untuk kepentingan "aerofisiologi" dan bagian belakang digunakan untuk "aeroklinik". Bangunan bagian belakang itulah yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat banyak guna kepentingan pemeriksaan rutin kesehatannya dengan sarana dan prasarana serta tenaga ahli yang memadai. Selain masyarakat, fasilitas ini digunakan juga oleh sebagian pejabat pemerintahan Indonesia guna memeriksa kesehatannya.

Bangunan bagian depan, bagian aerofisiologi adalah bagian yang khusus digunakan untuk awak pesawat militer maupin sipil. Meski bangunannya adalah bangunan lama dengan gaya tahun 1960-an dengan bentuk segi delapan namun peralatan yang dimilikinya dapat digunakan untuk penelitian, medis dan kesehatan para awak pesawat hingga mencapai ketinggian lebih dari 50.000 kaki bahkan menjangkau masa depan. Disinilah para calon penerbang, awak pesawat, pilot, penerjun bebas, calon pendaki gunung dan antariksawan diuji dan dilihat kemampuannya. Yang pasti, mereka tidak bisa lolos dari kenyataan kondisi fisik yang dimiliki untuk menghadapi dampak fisiologis penerbangan atau ketinggian. Karena fasilitas ini termasuk yang terlengkap khususnya di kawasan Asia Tenggara atau dikalangan negara-negara ASEAN, banyak pula penerbang-penerbang negara lain baik sipil dan militer yang juga ikut memanfaatkan lembaga ini khususnya melalui hubungan persahabatan antar negara. Sebagai contoh, Malaysia mengirimkan calon antariksawan-nya di lembaga ini guna menguji kemampuan fisik dan kesehatan mereka dalam program Angkasawan-nya.

Untuk menguji para penerbang, maupun kalangan yang nantinya akan berdinas atau bekerja ataupun bepergian di kawasan ketinggian ekstrem maupun antariksawan, mereka melakukan ILA atau Indoktrinasi dan Latihan Aerofisiologi. Dan untuk mengetahui kemampuan seseorang dalam menghadapi ketinggian di mana kadar oksigen, tekanan dan suhu yang semakin rendah, digunakan hypobaric/altitude chamber, yakni sebuah ruangan yang bisa disimulasikan pada suatu ketinggian yang diinginkan. Untuk pengujian, umumnya ketinggian yang digunakan adalah 18.000 kaki atau sekitar 5.486 meter. Pada ketinggian itu, kadar oksigen sudah sangat tipis dan tekanan udara hanya 380 mmHg, dengan suhu mencapai minus (-) 20,7 derajat Celcius, jauh dibawah dinginnya es. Seseorang akan mengalami pengaruh kedaan itu antara lain hypoxia, kekurangan oksigen, tidak bisa berpikir sempurna atau bahkan pingsan.

Dalam pengujian di ruang altitude chamber ini tampak jelas keadaan seseorang yang nantinya berada di kawasan dengan ketinggian yang memiliki kondisi ekstrem. Ketika seseorang berada dalam ruangan ini, yang diberi kondisi ketinggian 18.000 kaki, disana peserta aka diuji dengan menggunakan persoalan matematika sederhana seperti penjumlahan dan pengurangan seperti halnya 2+2, 4+1,5-3 dan sebagainya. Disana banyak dari peserta yang tidak dapat menjawabnya dengan benar. Umumnya peserta yang demikian adalah calon-calon penerbang yang mengikuti seleksi masuk baik penerbang sipil maupun militer. Selain pengujian di atas, para calon penerbang ini menjalani pemeriksaan-pemeriksaan dengan teliti dan diberi pengetahuan tentang masalah-masalah dalam kondisi ketinggian atau melawan gaya gravitasi. Dan sebenarnya prosedur maupun pemeriksaan serta pelatihan seperti itu tidak hanya diberikan kepada calon penerbang, mereka yang sudah menekuni profesinya tersebut juga dikirim ke Lakespra untuk melakukan konsultasi psikiatri penerbangan, khususnya lagi bagi mereka yang mengalami kecelakaan penerbangan atau masalah dalam penerbangannya.

Bagi penerbang, terlebih lagi penerbang pesawat tempur, mereka harus melakukan ILA enam bulan sekali. Mereka menjalani uji rutin kesiapan fisiknya terhadap pengaruh-pengaruh gaya gravitasi, pengaruh kurangnya oksigen sampai penggunaan kursi lontar. Selain itu, mereka diuji dengan alat-alat yang dimiliki Lakespra antara lain Human Centrifuge, Basic Orientation Trainer, Night Vision Trainer, Osy Fault Trainer, Positivr-Pressure-Breathing, dan Ejection Seat Trainer.

Dalam uji meloncat dari pesawat tempur dengan kursi lontar misalnya, untuk melakukan simulasi ketika pesawat mengalami kerusakan di udara, tidak bisa dilatihkan dengan secara nyata seperti halnya terjun payung. Untuk itu, Lakespra menyediakan sebuah kursi lontar tiruan untuk digunakan sebagai latihan. Bila kursi lontar sebenarnya digerakkan oleh sebuah roket yang dipasang di bawah kursi penerbang. Maka kursi lontar tiruan di Lakespra digerakkan oleh tekanan gas. Meskipun demikian, dalam latihan harus dilakukan dengan teliti dan hati-hati karena memiliki bahaya yang cukup besar. Bila kurang hati-hati, tulang belakang peserta bisa patah.

Lembaga Penelitian, Pengembangan dan Pendidikan

Sebagai lembaga yang mengurusi kesehatan penerbangan dan ruang angkasa, Lakespra Dr. Saryanti juga melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan. Kegiatannya antara lain dengan mengadakan Journal Reading, temu ilmiah, simposium, penelitian pengaruh kekurangan oksigen, hypoxia, pengaruh terhadap penglihatan, intelegensia, sistem aliran darah/jantung, penelitian kondisi tulang leher bagi calon-calon penerbang pesawat tempur modern, serta penelitian mengenai gigi-geligi dan banyak lagi.

Sebagai contoh, kondisi panjang-pendeknya tulang leher bagi para penerbang. Tidak hanya pada petinju yang memiliki leher pendek seperti halnya petinju kelas berat Mike Tyson pada dekade 1990-an, yang dikatakan atau dianggap paling ideal, maka bagi penerbang tempur, leher pendek juga memiliki pengaruh terhadap fisiknya. Menurut penelitian, penerbang yang memiliki leher pendek memiliki daya ketahanan yang lebih daripada penerbang lain, terhadap pengaruh gaya gravitasi dan tipe penerbang seperti ini jarang sekali mengalami "black out", gelap pandang pada saat melakukan atau terjadi manuver berat dalam penerbangannya.

Selain itu, Lakespra juga mengadakan program pendidikan yang berkaitan dengan kesehatan penerbangan dan antariksa. Kegiatannya antara lain sekolah perawat udara, sekolah kesehatan penerbangan dan ruang angkasa (Sekespra), pelatihan para dokter umum, dokter gigi, psikolog atau insinyur baik sipil maupun militer untuk menjadi dokter penerbangan (Flight Surgeon). Ada juga program pasca sarjana (S-2) yang diselenggarakan oleh lembaga ini.

Kepala

  • dr. Saryanto] (1965)
  • Marsma TNI dr. Mariono Reksoprodjo, SpOG, Sp.KP. (2008)
  • Marsma TNI dr. Hari Haksono, Sp.THT-KL.,SpKP. (2012)
  • Marsma TNI dr. Asrunsyah Nasution, Sp.Pd.Sp.Kp (2012-2015)
  • Marsma TNI dr. Ign Totok Sukamto, MH.Kes, Sp.KP. (2015-2016)
  • Marsma TNI dr. Moch. Soewandi, Sp.M., Sp.KP. (2016-2017)
  • Marsma TNI Dr. dr. Isdwiranto I., Sp.BS., Sp.KP. (2017-2018)
  • Marsma TNI dr. Krismono Irwanto, MH. Kes. (2018-2018)
  • Marsma TNI dr. Ferdik Sukma Wahyudin, Sp.S., M.Kes. (2018-2021)
  • Marsma TNI dr. Swasono R. (2021-Sekarang)

Referensi

  • Majalah Angkasa No.5 Februari Tahun II 1992.