Lompat ke isi

Mapasilaga tedong

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 30 April 2021 00.13 oleh Marwans24 (bicara | kontrib) (Menambah teks dan referensi)

Mapasilaga tedong atau lebih dikenal dengan Tedong Silaga merupakan salah satu tradisi unik dari daerah Toraja. Tradisi ini rutin dilakukan pada saat upacara pemakaman orang yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, biasa disebut Rambu Solo'. Acara Mapasilaga Tedong ini dilakukan sebelum upacara adat di mulai.[1]

Proses upacara

Adu kerbau ini dilakukan sebelum upacara adat Rambu Solo dilakukan. Kerbau yang diadu bukanlah kerbau sembarangan. Jenis kerbau yang istimewa adalah kerbau bule (Tedong Bonga) atau kerbau albino. Kerbau pilihan ini masuk dalam kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) dan hanya ditemukan di Tana Toraja. Di antara jenis terbaik adalah tedong salepo, yaitu kerbau yang memiliki bercak hitam di punggung. Ada juga jenis lontong boke, yaitu kerbau yang memiliki punggung berwarna hitam. Namun, jenis yang paling sering dijumpai dalam ritual Mapasilaga Tedong adalah tedong pudu. Jenis kerbau berkulit legam ini dipilih karena mudah dilatih dan harganya tidak semahal kerbau lain. Beberapa jenis kerbau yang digunakan untuk aduan ini sangat mahal harganya, terlebih kerbau yang sering menang yang harganya bisa mencapai ratusan juta hingga 1 miliar rupiah. Bagi masyarakat Toraja, kerbau menduduki posisi sangat penting dan menjadi salah satu simbol prestise dan kemakmuran.[2]

Puluhan kerbau yang akan diadu dibariskan di lapangan tempat upacara akan dilaksanakan. Kerbau-kerbau yang akan diadu tersebut kemudian diarak dengan didahului oleh tim pengusung gong, pembawa umbul-umbul, dan sejumlah wanita dari keluarga yang berduka ke lapangan yang berlokasi di rante (pemakaman). Pada saat barisan kerbau meninggalkan lokasi, musik pengiring akan dimainkan. Irama musik tradisional tersebut berasal dari sejumlah wanita yang menumbuk padi pada lesung secara bergantian. Sebelum adu kerbau dimulai, panitia menyerahkan daging babi yang sudah dibakar, rokok, dan air nira yang sudah difermentasi (tuak), kepada pemandu kerbau dan para tamu. Arena adu kerbau harus ditempatkan di sebuah sawah yang luas dan berlumpur atau direrumputan. Tradisi ini dimulai dengan dua kerbau yang diadu dan menghantamkan tanduk masing-masing ke tanduk lawannya dan saling menjatuhkan satu sama lain. Kerbau yang dinyatakan kalah adalah kerbau yang berlari dari arena Mapasilaga Tedong. Selain itu, ada juga prosesi pemotongan kerbau ala Toraja. Prosesi ini adalah menebasan kepala Kerbau dengan sebuah Parang yang dilakukan dalam sekali tebasan saja.[2]

Walaupun upacara adat ini terbilang sangat mahal, tradisi ini tetap dilakukan setiap tahunnya karena berkaitan dengan upacara Rambu Solo.[3]

Tujuan

Dalam kegiatan ini pun sebenarnya dalam tatanan adat, kegiatan ma'pasilaga diadakan sebagai kegiatan selingan atau hiburan bagi keluarga dan kerabat.[4]


Salah satu ritual yang menjadi fenomena 10 tahun terakhir ini adalah kegiatan ma'pasilaga tedong (adu kerbau). Ini adalah salah satu ritual atau kegiatan yang dilakukan di awal sebelum acara paling inti, yaitu menerima tamu dan pemakaman dilakukan.[5]


Salah satu masalah terbesar yang menyebabkan terjadi konlik keluarga dengan gereja adalah diadakannya kegiatan ma'pasilaga tedong (adu kerbau). Melanjutkan penjelasan di atas, ma'pasilaga tedong (adu kerbau) ini sebenarnya kelanjutan dari proses ma'pasa'/ma'tammu tedong. Kerbaukerbau yang telah ditunjukkan kepada orang banyak kemudian digiring oleh para gembalanya ke sawah atau dataran ratadi sekitarnya, di situlah adu kerbau dilakukan. Sebagai catatan, adu kerbau hanya diikuti oleh kerbau milik anak atau kerabat dari orang yang hendak dimakamkan, dan kerbau tersebut biasanya akan dikorbankan dalam pelaksanaan upacara pemakaman.[6]


Ritual ma'pasilaga tedong atau adu kerbau adalah ritual yang dikonstruksi oleh pelakunya melampaui waktu, pengaruh bahwa ritual ini hanya boleh dilakukan golongan kaum bangsawan, bahkan makna awal ma'pasilaga tedong yang menjadi sebuah permainan kaum gembala (golongan bawah) mampu dikonstruksi menjadi permainan kelas atas yang mendatangkan keuntungan.[7]


Dalam rambu solo’ memiliki beberapa rangkaian kegiatan, salah satunya yaitu Ma’pasilaga Tedong (adu kerbau). Adapun kerbau yg di adu biasanya berasal dari jenis Tedong Pudu, yang kulit dan tubuhnya berwarna hitam tanpa corak. Kerbau-kerbau yang menjadi kurban Upacara Rambu Solo ini, akan diarak keliling desa terlebih dahulu sebagai bentuk penghormatan. Kemudian menjelang sore akan diadakan pertarungan kerbau. Setelah acara tersebut baru kemudian kerbau-kerbau ini disembelih. Daging kerbau-kerbau tersebut kemudian dibagikan kepada orang-orang yang telah membantu proses pelaksanaan Rambu Solo. Namun, dalam Ma’pasilaga tedong banyak nilai-milai yang sudah mengalami pergeseran akibat modernisasi.[8]

Ma’pasilaga tedong merupakan salah satu dari rangkaian upacara Rambu solo’ atau upacara kedukaan. Adapun nilai-nilai serta tujuan awal dari Ma’pasilaga Tedong itu sendiri untuk memberikan hiburan kepada keluarga yang mengalami kedukaan serta meberikan hiburan kepada masyarakat yang telah bergotong royong dalam membuat pondopondok yang nantinya akan ditemapti untuk mengadakan upacara Rambu Solo’ tersebut. Namun seiring dengan modernisasi tujuan asli dari tradisis Ma’pasilaga Tedong itu sendiri mengalami pergeseran. Khususnya di daerah Palawa’ Ma’pasilaga Tedong sudah banyak dilakukan sebagai ajang perjudian bahkan karena Ma’pasilaga Tedong banyak anak-anak muda yang psikologisnya ikut dipengaruhi.[9]

Referensi