Cacak Burung
Cacak burung adalah tanda magis penolak bala yang berbentuk tanda + (positif) yang dikenal dalam budaya tradisional asli Kalimantan seperti suku Banjar, suku Dayak Bukit, suku Dayak Dusun Deyah dan lain-lain. Pada suku Dayak Maanyan yang menganut Kaharingan disebut palang balasangar. Bentuk tanda + juga merupakan penyederhanaan bentuk dari swastika. Menuliskan tanda cacak burung memiliki makna sama seperti halnya menyebutkan kata om swastiastu (Semoga selamat sejahtera atas rahmat Tuhan YME). Menurut versi lain yang beredar di masyarakat, cacak burung adalah bentuk tanda Kain, yaitu tanda yang diberikan Tuhan pada Kain (Qabil) agar dia tidak dibunuh.
Tanda cacak burung biasanya dioleskan pada dahi, dada, telapak tangan, telapak kaki, lipatan tangan dan lipatan kaki untuk mengobati orang yang terkena "kapidaraan" atau "puji liau" dengan memakai kapur dan sirih. Kapidaraan dianggap dapat terjadi karena dikenang atau dipengaruhi oleh arwah orang yang telah meninggal dunia. Pidara dalam bahasa Bukit berarti arwah. Pada suku Bukit tanda "cacak burung" dipakai ketika melaksanakan upacara adat dalam bentuk tarian ritual. Salah satu rumah Banjar dikenal dengan sebutan Rumah Cacak Burung karena bentuk atap bubungan rumah tersebut serta denah rumah ini berbentuk + (tanda tambah), maka dinamakan pula rumah Cacak Burung.[1]
Menurut Catatan Vatikan Menurut Hermogenes Ugang, pada abad ke 17, seorang misionaris Katolik Roma bernama Antonio Ventimiglia pernah datang ke Banjarmasin. Portugis mengirim seorang pastur bernama Antonio Ventigmilia. Penjelajahannya dimulai per tanggal 16 Januari 1688 dari Macau. Pada tanggal 2 Februari 1688, Antonio Ventimiglia tiba di Banjarmasin dengan kapal Potugis (sekutu Sultan Suria Angsa), untuk mengembangkan agama Katolik di udik negeri Banjar di sepanjang sungai Barito dan akhirnya ia meninggal di udik pada tahun 1691. Dengan perjuangan gigih dan ketekunannya hilir-mudik mengarungi sungai besar di Kalimantan dengan perahu yang telah dilengkapi altar untuk mengurbankan Misa, ia berhasil membaptiskan tiga ribu orang Ngaju menjadi Katholik. Pekerjaan dia dipusatkan di daerah hulu Kapuas (Manusup) dan pengaruh pekerjaan dia terasa sampai ke daerah Bukit. Namun, atas perintah Sultan Banjarmasin, Pastor Antonio Ventimiglia kemudian dibunuh. Alasan pembunuhan adalah karena Pastor Ventimiglia sangat mengasihi orang Ngaju, sementara saat itu orang-orang Ngaju mempunyai hubungan yang kurang baik dengan Sultan Surya Alam/Tahliluulah, karena orang Biaju (Ngaju) pendukung Gusti Ranuwijaya penguasa Tanah Dusun-saingannya Sultan Surya Alam/Tahlilullah dalam perdagangan lada. Dengan terbunuhnya Pastor Ventimiglia maka beribu-ribu umat Katholik orang Ngaju yang telah dibaptiskannya, kembali kepada iman asli milik leluhur mereka. Yang tertinggal hanyalah tanda-tanda salib yang pernah dikenalkan oleh Pastor Ventimiglia kepada mereka. Namun tanda salib tersebut telah kehilangan arti yang sebenarnya. Tanda salib hanya menjadi benda fetis (jimat) yang berkhasiat magis sebagai penolak bala yang hingga saat ini terkenal dengan sebutan lapak lampinak dalam bahasa Dayak Ngaju, palang balasangar dalam bahasa Maanyan atau cacak burung dalam bahasa Banjar.