Lompat ke isi

Cinta kasih dalam Hindu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Umat Hindu di India.

Ajaran cinta kasih memang bukanlah monopoli agama tertentu. Paham tersebut juga ada dalam ajaran Hindu. Mencintai dan mengasihi merupakan dua hal yang saling bersinergi. Cinta kasih memang tidak sekadar pemanis bibir semata ketika berbicara tentang harmoni manusia dan alam semesta. Dia memerlukan refleksi yang mendalam dan implementasi nyata dalam ranah kehidupan dengan ketulusan dan juga pengharapan atas pujian. Siapa saja yang telah mencapai tahap ini dapat dipastikan kehidupannya semakin tenteram dan damai. Cinta kasih yang tulus niscaya memberikan dampak fundamental dalam memberikan arti dan makna kehidupan saat ini dan yang akan datang. Dimensi waktu yang lampau, sekarang, dan yang akan datang merupakan perputaran cakra kehidupan yang harus dilalui dengan semangat cinta kasih kepada semua ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa.

Konsep

Raka Putra (Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Bekasi) menguraikan bahwa dalam mengasihi sudah terkandung makna mencintai. Cinta adalah perasaan kepada kesenangan, kesetiaan, dan kepuasan terhadap suatu objek, sedangkan kasih adalah perasaan tulus terhadap suatu objek. Lebih lanjut, Raka menjelaskan jika perbedaan signifikan di antara keduanya terletak dalam kesanggupan dan kemampuan memahami hakikatnya. Sesuatu yang menjadi objek dari cinta kasih adalah semua ciptaan Sang Hyang Widhi. Ciptaan Tuhan dapat digolongkan dalam tingkatan sesuai eksistensi atau kemampuannya, yaitu:[1]

  • Eka pramana adalah makhluk hidup yang hanya memiliki satu aspek kemampuan, berupa bayu (tenaga hidup), seperti halnya tumbuh-tumbuhan;
  • Dwi pramana adalah makhluk hidup yang memiliki dua aspek kemampuan, berupa bayu dan sabda (bicara), seperti halnya binatang;
  • Tri pramana adalah makhluk hidup yang memiliki tiga aspek kemampuan, berupa bayu, sabda, dan idep (pikiran), seperti halnya manusia.[2]

Untuk menghayati lebih mendalam, ajaran cinta kasih dapat diimplementasikan dalam interaksi sosial religius, yaitu antara pawongan (sesama manusia), palemahan (manusia dengan lingkungan), dan parahyangan (manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa). Ketiga hal ini, dikenal dengan istilah Tri Hita Karana. Adapun yang mendasari cinta kasih adalah ajaran yang menyatakan bahwa “aku adalah kamu”. Maknanya lantas dikembangkan lagi menjadi "engkau adalah dia" atau "dia adalah mereka". Inilah sering disebut dengan Tat twam asi yang dinyatakan dalam Kitab Chandogya Upanisad VI. 14. 1.[1]

Berdasarkan Brhadaranyaka Upanisad I. 4. 10. dinyatakan bahwa Aham Brahman Asmi, yang berarti "Aku adalah Brahman atau Tuhan", sedangkan dalam Chandogya Upanisad III. 14. 3. tertera bahwa Sarwam khalu idam Brahman, yang artinya "semua ini adalah Brahman atau Tuhan". Melalui ajaran tersebut, dapat diketahui bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang lepas dari-Nya. Menyadari bahwa asal dan tujuan kembalinya semua yang ada di dunia ini adalah sama, tidak ada satupun di dunia ini yang memiliki kekuatan hukum yang abadi, kecuali Tuhan. Sesuatu yang berbeda hanyalah jasad materi yang sewaktu-waktu bisa berubah atau tidak kekal. Dengan demikian, tidak ada yang harus dibanggakan oleh manusia kepada sesuatu yang mengarah pada rusaknya perdamaian, kerukunan, ketentraman, ketenangan, kebahagiaan, dan kesejahteraan umat manusia di dunia ini?

Sejatinya, dalam ajaran Hindu, kebanggaan sebagai umat manusia yang religius, karena berbudi luhur dan prestasi. Mengekspresikan kebanggaan hendaknya dengan arif dan bijaksana serta menampilkan simpati. Hal ini hendaknya menjadi renungan bagi tumbuhnya spiritualitas, moralitas dalam rangka meningkatkan sraddha kepada Sanghyang Widhi Wasa. Raka memberikan penekanan bahwa: “Percaya kepada tuhan sudah termasuk di dalamnya cinta kasih pada sesama manusia dan cinta kasih kepada alam lingkungan”. Hal ini menandaskan bahwa hakikat percaya pada Sang Pencipta adalah dengan menebarkan cinta kasih kepada sesama dan menjaga lingkungan alam semesta.

Selanjutnya, Raka juga menulis, bahwa untuk mencapai keseimbangan cinta kasih dapat diwujudkan dalam hubungan garis vertical dan horizontal. Terlebih jika hidup di era global dibutuhkan pemikiran yang arif dan bijaksana. Di satu sisi dituntut bersikap rasional, tetapi di sisi lain masih diperlukan curahan emosi spiritual terutama dalam hubungan manusia dengan Tuhan sebagai Maha Pencipta alam semesta beserta isinya.

Jalan terbaik, menurutnya adalah bagaimana mensinergikan emosi spiritual dengan sikap rasional. Dalam hal ini relevansi keseimbangan cinta kasih dengan abad modern lebih difokuskan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia yang memegang teguh nilai-nilai ke-Tuhanan, kemanusiaan, dan kealaman. Keseimbangan ini amat penting bagi terjaganya harmoni kehidupan yang di dalamnya hidup beragam makhluk ciptaan-Nya.

Saling mencintai dan mengasihi satu sama lain dan kepada siapa saja tanpa memandang perbedaan fisik akan memberikan keseimbangan cinta kasih. Dalam Yajur 32. 8 dinyatakan “Sa’atah protasca wibhuh prajasu”. Tuhan terjalin dalam makhluk yang diciptakan. Dari ajaran ini dapat dipahami bahwa Tuhan memanifestasi dalam makhluk yang Ia ciptakan. Oleh karena manusia adalah bagian dari makhluk ciptaan-Nya itu, sewajarnya jika turut aktif dalam menjaga keseimbangan cinta kasih itu. Tulus. Tanpa pamrih. Tanpa melihat bentuk fisik.

Cinta kasih juga harus selalu ada dalam ruang keluarga. Yang sangat menonjol bagi manusia modern mengenai konsep cinta dalam kehidupan berkeluarga dalam Weda adalah keterbukaan. Masalah kehidupan rumah tangga, menurut Raka ialah menciptakan keselarasan dan kesesuaian seperti pada alam sesuai dengan hukum abadi (Rta)

Dalam Atharwa Weda III.30, sebagaimana dikutip oleh Raka, dinyatakan perkataan Pendeta kepada kelompok keluarga:

“Aku membuat engkau bersatu dalam hati, bersatu dalam pikiran, tanpa rasa benci, mempunyai ikatan satu sama lain seperti anak sapi yang baru lahir dari induknya. Agar anak mengikuti Ayahnya dalam kehidupan yang mulia dan sehaluan dengan Ibunya. Agar si istri berbicara yang manis, mengucapkan kata-kata damai kepada suaminya. Agar sesama saudara, laki atau perempuan tidak saling membenci. Agar semua bersatu dan menyatu dalam tujuan yang luhur dan berbicara dengan sopan. Semoga minuman yang engkau minum bersama dan makan makanan bersama.”

Konsep hubungan garis vertikal dan horizontal, menurut Raka, juga berlaku dalam kehidupan keluarga agar mencapai satu tujuan luhur yaitu keharmonisan, ketentraman, kedamaian, dan kebahagiaan bersama. Kebersamaan yang begitu menonjol dalam kehidupan keluarga inti menjadi parameter ke tingkat kehidupan keluarga yang lebih besar dan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Dengan demikian ajaran cinta kasih Hindu mengantarkan manusia ke dalam kehidupan damai, tentram, harmoni, nirkekerasan dan diliputi rasa kepedulian tidak hanya terhadap semua manusia, tapi juga terhadap sesama makhluk hidup di alam semesta.

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ a b Nurcholish, Ahmad; Dja'far, Alamsyah Muhammad (2015). Agama Cinta: Menyelami Samudra Cinta Agama-Agama. Jakarta: Elex Media Komputindo. hlm. 145–150. ISBN 978-602-0265-30-8. 
  2. ^ Sudarsana, I Gede (19 Januari 2002). "Kita Hidup Bukan untuk Kehidupan Ini". Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat. Diakses tanggal 11 Juli 2021. 

Pranala luar