Lompat ke isi

Sistiserkosis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 25 Juli 2021 02.21 oleh RianHS (bicara | kontrib) (Paragraf pembuka)
Sistiserkosis
Pencitraan resonansi magnetik pada orang dengan neurosistiserkosis menunjukkan banyaknya kista dalam otak.
Informasi umum
SpesialisasiPenyakit menular Sunting ini di Wikidata
PenyebabLarva cestoda Taenia

Sistiserkosis (bahasa Inggris: cysticercosis) adalah infeksi jaringan yang disebabkan oleh sistiserkus (larva cacing Taenia) akibat menelan telur cacing. Pada manusia, sistiserkosis disebabkan oleh Taenia solium (cacing pita babi), sedangkan kemampuan T. asiatica dalam menyebabkan sistiserkosis di Asia belum diketahui secara pasti.[1] Dalam tubuh. sistiserkus menginfeksi jaringan otot, kulit, mata, dan sistem saraf pusat. Jika terjadi pada jaringan saraf, infeksinya disebut neurosistiserkosis.[2]

Seseorang bisa saja tidak mengalami gejala klinis atau hanya gejala ringan selama bertahun-tahun. Pada beberapa kasus, terutama di Asia, nodul (benjolan padat) berukuran satu hingga dua sentimeter dapat berkembang di bawah kulit. Setelah beberapa bulan atau tahun, benjolan ini dapat menimbulkan rasa nyeri, menjadi bengkak, dan kemudian hilang. Sementara itu, neurosistiserkosis menimbulkan gejala saraf, yang di negara-negara berkembang, merupakan salah satu penyebab utama epilepsi.[2][3][4]

Sebagai inang perantara Taenia, hewan juga dapat menderita sistiserkosis. Pada babi, sistiserkosis disebabkan oleh T. solium yang larvanya disebut Cysticercus cellulosae, sedangkan sistiserkosis sapi disebabkan oleh T. saginata yang larvanya disebut Cysticercus bovis.[5]

Penyebab dan diagnosis

Biasanya didapat akibat makan makanan atau minum air yang mengandung telur cacing pita. Sayuran mentah merupakan sumber utama.[6] Telur cacing pita berasal dari feces orang yang terinfeksi cacing dewasa, kondisi ini dinamakan taeniasis.[7][8] Taeniasis adalah penyakit yang berbeda dan disebabkan karena memakan sista dari daging babi yang tidak dimasak sampai matang.[6] Orang yang hidup bersama dengan orang yang memiliki cacing pita punya risiko lebih besar untuk tertular cysticercosis.[8] Diagnosis bisa dilakukan dengan aspirasi terhadap sista.[7] Mengambil gambar otak dengan tomografi komputer (CT) atau pencitraan resonansi magnetik (MRI) paling berguna untuk diagnosis penyakit otak. Peningkatan jumlah sel darah putih, disebut eosinophils, di cairan tulang belakang otak dan darah juga digunakan sebagai indikator.[7]

Efek kesehatan

Sistiserkosis menimbulkan gejala dan efek yang beragam sesuai dengan lokasi parasit dalam tubuh.[9] Manusia dapat terjangkit satu sampai ratusan sistiserkus di jaringan tubuh yang berbeda-beda.[9] Sistiserkus pada manusia paling sering ditemukan di otak (disebut neurosistiserkosis), mata, otot dan lapisan bawah kulit.[10]

Pencegahan dan Pengobatan

Infeksi dapat dicegah secara efektif dengan kebersihan pribadi dansanitasi. Termasuk: memasak daging babi sampai matang,toilet layak dan peningkatan akses ke air bersih. Mengobati orang dengan taeniasis adalah penting guna mencegah penularan.[6] Pengobatan penyakit yang tidak memengaruhi sistem saraf mungkin tidak diperlukan.[7] Pengobatan pada orang dengan neurocysticercosis bisa dengan praziquantel atau albendazole. Obat-obatan ini mungkin harus dikonsumsi secara jangka panjang. Steroid, sebagai anti radang selama pengobatan, dan pengobatan anti kejang mungkin juga diperlukan. Terkadang diperlukan tindakan operasi untuk mengangkat sista.[6]

Epidemiologi

Cacing pita babi sangat umum di Asia, Afrika Sub-Sahara, dan Amerika Latin.[7] Di beberapa area diyakini bila lebih dari 25% masyarakatnya telah terinfeksi.[7] Di negara maju hal ini sangat jarang terjadi.[11] Cacing ini menyebabkan 1.200 kematian di seluruh dunia pada tahun 2010, lebih dari 700 jiwa pada tahun 1990.[12] Cysticercosis juga memengaruhi babi dan sapi namun jarang yang menunjukkan gejalanya karena sebagian besar tidak berumur panjang.[6] Penyakit ini muncul di manusia sejak dulu.[11] Ini adalah salah satu penyakit tropis yang diabaikan.[13]

Penyebaran di Indonesia

Di Kabupaten Jayawijaya Papua, Indonesia ditemukan 66,3% (106 orang dari 160 responden) positif menderita taeniasis solium/sistiserkosis selulosae dari babi [14]. Sementara 28,3% orang adalah penderita sistiserkosis yang dapat dilihat dan diraba benjolannya di bawah kulit.[14] Sebanyak 18,6% (30 orang) di antaranya adalah penderita sistiserkosis selulosae yang menunjukkan gejala epilepsi.[14] Dari 257 pasien yang menderita luka bakar di Papua, sebanyak 82,8% menderita epilepsi akibat adanya sistiserkosis pada otak.[14]

Sebanyak 13,5% (10 dari 74 orang) pasien yang mengalami epilepsi di Bali didiagnosa menderita sistiserkosis di otak.[15] Prevalensi taeniasis T. asiatica di Sumatra Utara berkisar 1,9%-20,7%.[10] Kasus T. asiatica di Provinsi ini umumnya disebabkan oleh konsumsi daging babi hutan setengah matang.[10]

Referensi

  1. ^ Simanjuntak, Gindo Mangara (2000). Studi Taeniasis/Cysticercosis di Kabupaten Jayawijaya Propinsi Irian Jaya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi dan Status Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan. 
  2. ^ a b "Taeniasis and cysticercosis". WHO. Diakses tanggal 25 Juli 2021. 
  3. ^ García, Hector H.; Evans, Carlton A.W.; Nash, Theodore E.; Takayanagui, Osvaldo M.; White, A. Clinton; Botero, David; Rajshekhar, Vedantam; Tsang, Victor C.W.; Schantz, Peter M. (2002). "Current Consensus Guidelines for Treatment of Neurocysticercosis". Clinical Microbiology Reviews. 15 (4): 747–756. doi:10.1128/CMR.15.4.747-756.2002. ISSN 0893-8512. 
  4. ^ García, Héctor H; Gonzalez, Armando E.; Evans, Carlton A.W.; Gilman, Robert H. (2003). "Taenia solium cysticercosis". The Lancet. 362 (9383): 547–556. doi:10.1016/S0140-6736(03)14117-7. 
  5. ^ Direktorat Kesehatan Hewan (2014), Manual Penyakit Hewan Mamalia, cetakan ke-2 (PDF), Jakarta: Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia, hlm. 375–383 
  6. ^ a b c d e "Taeniasis/Cysticercosis Fact sheet N°376". World Health Organization. February 2013. Diakses tanggal 18 March 2014. 
  7. ^ a b c d e f García HH, Gonzalez AE, Evans CA, Gilman RH (August 2003). "Taenia solium cysticercosis". Lancet. 362 (9383): 547–56. doi:10.1016/S0140-6736(03)14117-7. PMC 3103219alt=Dapat diakses gratis. PMID 12932389. 
  8. ^ a b "CDC - Cysticercosis". 
  9. ^ a b (Indonesia) Satrija, F. 2005. Helmintologi: Ciri Umum dan Morfologi Helminth. Bogor: Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Hal 1-5
  10. ^ a b c Wandra, T., A. A. Depary, P. Sutisna, S. S. Margono, T. Suroso, M. Okamoto, P. S. Craig, dan A. Ito (2006). "Taeniasis and Cysticercosis in Bali and North Sumatra, Indonesia". Parasitology International. 55: 155–160. doi:10.1016/j.parint.2005.11.024. 
  11. ^ a b Bobes RJ, Fragoso G, Fleury A; et al. (April 2014). "Evolution, molecular epidemiology and perspectives on the research of taeniid parasites with special emphasis on Taeniasolium". Infect. Genet.Evol. 23: 150–60. doi:10.1016/j.meegid.2014.02.005. PMID 24560729. 
  12. ^ Lozano R, Naghavi M, Foreman K; et al. (December 2012). "Global and regional mortality from 235 causes of death for 20 age groups in 1990 and 2010: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2010". Lancet. 380 (9859): 2095–128. doi:10.1016/S0140-6736(12)61728-0. PMID 23245604. 
  13. ^ "Neglected Tropical Diseases". cdc.gov. June 6, 2011. Diakses tanggal 28 November 2014. 
  14. ^ a b c d Simanjuntak, Gindo Mangara. "Studi Taeniasis/Cysticercosis di Kabupaten Jayawijaya Propinsi Irian Jaya" (Pdf). Badan Litbang Kesehatan. Diakses tanggal 2010-05-13. [pranala nonaktif permanen]
  15. ^ Margono, S. S., T. Wandra, dan T. Suroso (2001). "Cysticercosis in Indonesia: Epidemiological Aspects". Southeast Asian J Trop Med Public Health (dalam bahasa English). 32 (2): 79–84. 

Pranala luar

Klasifikasi
Sumber luar