Lompat ke isi

Perbudakan modern

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 29 Juli 2021 07.54 oleh Roihanatul Maziyah (bicara | kontrib) (menambah tulisan)

Perbudakan Modern (Bahasa Inggris: Modern Slavery) merupakan suatu praktik eksploitatif yang menimpa seseorang atau sekelompok akibat adanya ancaman baik fisik maupun nonfisik (re: kekerasan), pemaksaan, penipuan, dan/atau penyalahgunaan kekuasaan.[1] Perbudakan Modern memiliki beragam jenis, diantaranya adalah perdagangan manusia, kerja paksa, bonded labor, eksploitasi seksual, perbudakan domestik, perkawinan paksa, pengambilan organ tubuh ilegal.[2] Laporan dari penelitian bersama yang dilakukan oleh International Labour Organization (ILO), Walk Free Foundation, International Organization for Migration (IOM), dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lainnya seperti Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) memperkirakan bahwa pada tahun 2016 terdapat 40,3 juta orang yang mengalami perbudakan modern, 24,9 juta diantaranya tergolong dalam kategori forced labor atau kerja paksa. Dari 24,9 juta orang yang terjebak dalam kerja paksa tersebut, 16 juta orang diantaranya dieksploitasi di sektor swasta seperti pekerjaan rumah tangga, konstruksi atau pertanian, sedangkan 4,8 juta orang dieksploitasi secara seksual, dan 4 juta orang terjebak dalam kerja paksa yang didukung oleh otoritas negara.[3]

Definisi Perbudakan

Definisi perbudakan tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Perbudakan 1926, yang berbunyi: “the status or condition of a person over whom any or all of the powers attaching to the right of ownership are exercised”,[4]definisi tersebut kemudian diamandemen dengan menambahkan definisi korban perbudakan (budak) melalui Pasal 7(a) Konvensi Tambahan Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, serta Institusi dan Prakik yang serupa dengan Perbudakan (Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery)  bahwa budak adalah ... ‘slave’ means a person in such condition or status”.[5]Kemudian dalam Statuta Roma, perbudakan dikagorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan di bawah Pasal 7 Ayat 2(c) dan didefinisikan dalam Pasal 7 Ayat 2(c) sebagai “the exercise of any or all of the powers attaching to the right of ownership over a person and includes the exercise of such power in the course of trafficking in persons, in particular women and children.”[6]Persamaan dari definisi yang tercantum dalam Konvensi Perbudakan 1926 dan Statuta Roma 1998 adalah adanya “the powers attaching to the right of ownership.”  yang artinya unsur kepemilihan atau ownership  menjadi sine qua non (suatu kondisi yang tidak terelakan adanya) dari segala definisi perbudakan dalam hukum internasional.[7]

Jean Allain, guru besar Fakultas Hukum di Queen’s University of Belfast mengatakan “there has yet to appear a thorough legal analysis of what that term means in international law.”[7]Pernyataan tersebut memiliki impliksi bahwasannya definisi perbudakan masih bersifat ambigu dalam hukum internasional. Faktanya apabila menelisik berbagai macam instrumen hukum internasional yang ada, seringkali tidak ada kesepakatan untuk menyebut perbudakan dengan istilah slavery, enslavement, serfdom, servitude  dan praktik ekspoloitasi lainnya. Contohnya, Pasal 6 (c) Piagam IMT Nuremburg menyebut perbudakan sebagai enslavement,[8] namun dalam Konvensi Perbudakan 1926, perbudakan diistilahkan dengan slavery. Penggunaan istilah lainnya dalam perbudakan juga terjadi dalam kasus Siliadin v. France yang di bawa ke Mahkamah Eropa (European Court)  pada tahun 2005. Dalam kasus tersebut perbudakan diistilahkan dengan servitude dimana anak-anak Togo dipekerjakan secara paksa dengan tidak dibayarkan lebih dari empat tahun, bekerja selama 15 jam sehari dengan tanpa hari libur. Penggunaan servitude dipilih sebab definisi slavery yang tertuang dalam Konvensi Perbudakan 1926 adalah definisi yang merujuk pada praktik perbudakan di masa lampau sehingga kurang relevan apabila digunakan untuk praktik eksploitasi yang terjadi di abas 21.[9]

This definition corresponds to the “classic” meaning of slavery as it was practiced for centuries.  Although the applicant was, in the instant case, clearly deprived of her personal autonomy, the evidence does not suggest that she was held in slavery in the proper sense, in other words that Mr[.] and Mrs[.] B. exercised a genuine right of legal ownership over her, thus reducing her to the status of an “object”.”[9]

            Kemudian dalam kasus perbudakan seksual yang terjadi di Yugoslavia, The Appeal Chamber (para jaksa yang menangani kasus tersebut) menyebut konsep perbudakan yang tertuang dalam Konvensi Perbudakan 1926 sangatlah tradisional sebab hanya merujuk pada praktik chattel slavery di masa lampau. Padahal perbudakan telah berevolusi ke dalam bentuk-bentuk eksploitatif modern lainnya.[10] Pernyataan dari The Appeal Chamber tertuang berikut ini:

“In the case of these various contemporary forms of slavery, the victim is not subject to the exercise of the more extreme rights of ownership associated with “chattel slavery,” but in all cases, as a result of the exercise of any or all of the powers attaching to the right of ownership, there is some destruction of the juridical personality; the destruction is greater in the case of “chattel slavery” but the difference is one of degree.”[10]



Definisi Perbudakan Modern

Manifestasi perbudakan telah berkembang mengikuti perkembangan zaman. Lahirnya istilah baru berupa perbudakan modern mencerminkan adanya transformasi bentuk atas perbudakan tradisional.[11] Perbudakan tradisional erat kaitannya dengan peristiwa Perdagangan Budak Trans-Atlantik (Bahasa Inggris: Trans-Atlantic Slave Trade). Perbudakan Tradisional (Bahasa Inggris: Chattel slavery) merujuk pada kondisi perbudakan di mana seseorang dimiliki layaknya sebuah barang, [12] seperti ternak atau perabotan, dan dapat dijual atau dipindahtangankan kepada orang lain.[13] Praktik perbudakan tradisional telah jarang ditemui pada abad ke-21.[13]

Dalam konteks modern, terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kondisi perbudakan yang dialami oleh individu, diantarannya: (i) tingkat pembatasan hak inheren individu atas kebebasan bergerak (Bahasa Inggris: freedom of movement); (ii) tingkat kendali atas barang-barang pribadi individu; dan (iii) adanya persetujuan afirmatif dan pemahaman penuh tentang sifat hubungan antara para pihak.[13] Belum ada definisi perbudakan modern yang diakui secara internasional, istilah ini digunakan untuk mencakup berbagai praktik eksploitatif termasuk perdagangan manusia, perbudakan, kerja paksa, pekerja anak, pengambilan organ tubuh, dan praktik serupa perbudakan.[14]Penggunaan istilah perbudakan modern sering digunakan oleh berbagai aktor-aktor internasional, termasuk, antara lain, organisasi internasional, Negara, entitas sui generis, seperti Tahta Suci, organisasi non-pemerintah (LSM), kelompok dan jaringan informal, serta cendekiawan dan media massa.[15]

Pada tahun 2015, pemerintah Inggris mengeluarkan Modern Slavery Act, Inggris menjadi negara pertama yang menggunakan istilah perbudakan modern sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri. Penggunaan istilah perbudakan modern sebagai nama dari produk legislasi nasional merupakan yang pertama di dunia karena tidak dicampuradukkan dengan perdagangan manusia, kondisi kerja yang tidak layak, pekerja anak, maupun istilah lainnya.[16]Berdasarkan Modern Slavery Act 2015, pelanggaran perbudakan modern mencakup perbudakan, penghambaan (Bahasa Inggris: servitude), kerja paksa (Bahasa Inggris: forced labor) atau wajib kerja , dan perdagangan manusia (Bahasa Inggris: human trafficking).[14]

Bentuk-Bentuk Perbudakan Modern

Berdasarkan dokumen yang dirilis oleh Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR),[13][17] perbudakan modern terjadi dalam praktik-praktik berikut ini:

Perbudakan Utang atau Debt Bondage

Salah satu bentuk paksaan yang digunakan dalam praktik perbudakan modern adalah dengan menggunakan modus operandi perbudakan utang.[18] Berdasarkan Konvensi Tambahan Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Institusi dan Praktik-Praktik Serupa Perbudakan (Bahasa Inggris: Supplementary Convention to the Abolition of Slavery, the Slave Trade and Institutions and Practices Similar to Slavery), perbudakan utang atau debt bondage didefinisikan sebagai:

"The status or condition arising from a pledge by a debtor of his personal services or of those of a person under his control as security for a debt, if the value of those services as reasonably assessed is not applied towards the liquidation of the debt or the length and nature of those services are not respectively limited and defined"[14] "Status atau kondisi yang timbul dari jaminan oleh debitur atas jasa-jasa pribadinya atau dari orang-orang yang berada di bawah kendalinya sebagai jaminan utang, jika nilai jasa-jasa itu menurut penilaian yang wajar tidak diterapkan terhadap likuidasi utang atau panjang dan sifat layanan tersebut masing-masing tidak dibatasi dan ditentukan"

Di Asia Selatan diperkirakan ada jutaan korban perdagangan manusia yang bekerja untuk melunasi hutang nenek moyang mereka. Yang lain menjadi korban pedagang atau perekrut yang secara tidak sah mengeksploitasi hutang awal yang diasumsikan, disadari atau tidak, sebagai jangka waktu kerja.Para pedagang, agen tenaga kerja, perekrut, dan majikan baik di negara asal maupun negara tujuan dapat berkontribusi pada jeratan hutang dengan membebankan biaya perekrutan pekerja dan tingkat bunga yang terlalu tinggi, sehingga sulit bagi korban praktik perbudakan utang untuk melunasinya. Keadaan seperti itu dapat terjadi dalam konteks pekerjaan temporer atau sementara di mana status hukum pekerja di negara tujuan terikat dengan pemberi kerja sehingga pekerja yang merupakan korban praktik perbudakan utang takut mencari ganti rugi.[18]

Kerja Paksa atau Forced Labor

Pekerja Anak atau Child Labor

Perdagangan Manusia

Perbudakan Seksual

Pernikahan Paksa

Perdagangan Organ Manusia

Regulasi Internasional mengenai Perbudakan dan Bentuk-Bentuk Perbudakan Modern

Perbudakan merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional. Perbudakan memiliki status jus cogens sehingga dilarang dalam hukum kebiasaan internasional dan regulasi internasional (dalam bentuk perjanjian internasional dan instrumen HAM internasional). Perjanjian universal pertama yang melarang perbudakan dan perdagangan budak adalah Konvensi Perbudakan tahun 1926 (The Slavery Convention 1926). Konvensi ini diadopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada 1926 dan berlaku setahun setelahnya. Dalam pembukaan konvensi tersebut, dengan jelas tertulis negara-negara wajib untuk “to prevent and suppress the slave trade, and to prevent forced labour from developing into conditions analogous to slavery” (Konvensi Perbudakan, 1926). Konvensi ini kemudian diperbaharui pada tahun 1956 dengan dirumuskannya Konvensi Tambahan tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Lembaga dan Praktik yang mirip dengan Perbudakan (the Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery) (Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights, 2002).

Larangan perbudakan juga tertuang dalam instrumen utama HAM internasional, yaitu Universal Declaration of Human Rights 1948 (UDHR), International Covenant on Civil and Political Rights 1966 (ICCPR), dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966 (ICESCR). Dalam UDHR, larangan terhadap perbudakan terdapat dalam Pasal 4 yang berbunyi “No one shall be held in slavery or servitude; slavery and the slave trade shall be prohibited in all their forms”. Sedangkan dalam ICCPR terutama dalam Pasal 8 Ayat 2 disebutkan bahwa “No one shall be required to perform forced or compulsory labour”. Ayat tersebut secara tidak langsung membahas tentang kerja paksa, eksploitasi dan perdagangan manusia dengan menekankan hak pekerja untuk mendapatkan remunerasi yang adil (Justice et al., 2011). ICCPR juga menyebut larangan perbudakan dan segala praktik yang berkaitan dengannya adalah hak non- derogable, yang berarti hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun (International Covenant on Civil and Political Rights, 1966). Instrumen HAM internasional selanjutnya yang secara implisit melarang praktik perbudakan adalah ICESCR, terutama dalam Pasal 7 yang berbunyi “The State Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to the enjoyment of just and favourable conditions of work which ensure, in particular: (a) Remuneration... ;(b) Safe and healthy working condition; (c) Equal opportunity... ; (d)... reasonable limitation of working hours” (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, 1966).

Perbudakan modern dalam bentuk kerja paksa juga diatur dalam Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, atau secara singkat disebut dengan Protokol Palermo. Protokol ini dimaksudkan untuk melengkapi United Nations Convention against Transnational Organised Crime 2000. Dalam Protokol Palermo Pasal 3 disebutkan keterkaitan antara kerja paksa dengan perdagangan manusia,

“ ‘Trafficking in persons’ shall mean the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs.”

Pasal tersebut berarti, perdagangan manusia merupakan aktivitas “perekrutan, pengangkutan, [atau] pemindahan” seseorang. Aktivitas tersebut dapat mengarah pada kerja paksa, yang berarti tidak semua korban kerja paksa adalah korban dari perdagangan manusia. Kegiatan 'pemindahan’ akan tergolong sebagai perdagangan manusia ketika terdapat ancaman kekerasan atau bentuk-bentuk paksaan lainnya seperti "penyalahgunaan kekuasaan atau memanfaatkan kondisi ketidakberdayaan korban" yang mengarah pada eksploitasi. Salah satu bentuk eksploitasi adalah kerja paksa (Sylwester, 2014).

ILO sebagai organisasi yang berfokus pada isu-isu ketenagakerjaan, telah mengadopsi beberapa konvensi (terbuka untuk ditandatangani dan diratifikasi oleh negara) yang membahas tentang kerja paksa dan bentuk-bentuk eksploitasi manusia lainnya. Konvensi ILO tersebut antara lain: International Labour Organisation Forced Labour Convention 1930 (No 29); International Labour Organisation Abolition of Forced Labour Convention 1957 (No 105; Equal Remuneration Convention; Discrimination (Employment and Occupation) Convention; Employement Policy Convention; Convention concerning Occupational Safety and the Working Environmentt; dan Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families) (University of Minnesota Human Rights Library, tanpa tahun). Pada tahun 2014, ILO mengadopsi Protokol Tambahan yang berkaitan dengan Forced Labour Convention, 1930 (No. 29). Protokol tersebut dimaksudkan untuk memperkuat kerangka hukum internasional dalam menghapuskan kerja paksa dengan menciptakan kewajiban baru bagi negara untuk mencegah terjadinya kerja paksa, melindungi korban dan untuk menyediakan akses remedy atau pemulihan, seperti kompensasi atas kerugian material dan fisik (Justice et al., 2011).

Kasus Perbudakan Modern di Industri Perikanan Thailand

Kasus Perbudakan Modern di Benjina, Indonesia

Kasus Perbudakan Seksual "Comfort Women"

Kasus Pekerja Anak di Bangladesh

Referensi

  1. ^ Nations, United. "International Day for the Abolition of Slavery". United Nations (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-28. 
  2. ^ "The horrors of modern slavery, in numbers". World Economic Forum (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-28. 
  3. ^ "Forced labour, modern slavery and human trafficking (Forced labour, modern slavery and human trafficking)". www.ilo.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-28. 
  4. ^ United Nations (1953) . Slavery Convention, signed at Geneva on 25 September 1926 and amended by the Protocol: Signatories and Parties . New York: United Nations. Diambil dari https://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=XVIII2&chapter=18&lang=en
  5. ^ Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade and Institutions and Practices Similar to Slavery, Final Act and Supplementary Convention, art. 1, U.N. Doc. E/CONF.24/23
  6. ^ Statuta Roma (1998). Diakses dari https://www.icc-cpi.int/nr/rdonlyres/ea9aeff7-5752-4f84-be94-0a655eb30e16/0/rome_statute_english.pdf
  7. ^ a b Allain, J (tanpa tahun).  The Definition of Slavery in International Law.  Belfast: Bristh Academy.
  8. ^ Charter of the International Military Tribunal Nuremburg (1945). Diakses dari http://www.un.org/en/genocideprevention/documents/atrocitycrimes/Doc.2_Charter%20of%20IMT%201945.pdf
  9. ^ a b Siliadin v. France, App. No. 73316/01 (2005), diakses dari http://cmiskp.echr.coe.int/tkp197/search.asp?skin=hudoc-en (search “Siliadin”).
  10. ^ a b Prosecutor v. Kunarac, Case Nos. IT-96-23 &-IT-96-23/1-A, Judgment, 118
  11. ^ Nations, United. "International Day for the Abolition of Slavery". United Nations (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-28. 
  12. ^ "Definition of CHATTEL SLAVERY". www.merriam-webster.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-28. 
  13. ^ a b c d David Weissbrodt and Anti-Slavery International (2002). "Abolishing Slavery and its Contemporary Forms" (PDF). Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights. Diakses tanggal 28 Juli 2021. 
  14. ^ a b c Parliament of Australia. "Defining and measuring modern slavery". Diakses tanggal 28 Juli 2021. 
  15. ^ Policy Department for External Relations, Directorate General for External Policies of the Union (Desember 2018). "Contemporary forms of slavery" (PDF). Diakses tanggal 28 Juli 2021.  line feed character di |title= pada posisi 19 (bantuan)
  16. ^ Broad, R., & Turnbull, N. (2019). "From Human Trafficking to Modern Slavery: The Development of Anti-Trafficking Policy in the UK". European Journal on Criminal Policy and Research: 119–133. doi:https://doi.org/10.1007/s10610-018-9375-4 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  17. ^ Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights. "The Human Faces of Modern Slavery" (PDF). Diakses tanggal 29 Juli 2021. 
  18. ^ a b "What is Modern Slavery?". United States Department of State (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-29.